Home / Rumah Tangga / Suami Tampan Tapi Pelit / Bab 6 : Rahasia yang terungkap

Share

Bab 6 : Rahasia yang terungkap

last update Last Updated: 2025-01-08 19:59:22

Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan.

"Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar.

Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?"

Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan.

Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya.

"Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang membersihkan rak buku.

"Iya, Bu. Saya lupa mematikannya," jawab Luna pelan sambil buru-buru mematikan lampu.

Beberapa saat kemudian, Bu Ratna kembali dengan teguran baru. "Kamu masak apa tadi? Kok minyaknya banyak sekali? Kamu nggak tahu minyak goreng itu mahal sekarang?"

Luna hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya ingin berteriak. Ia merasa semua yang ia lakukan salah di mata ibu mertuanya.

Malam harinya, saat Bu Ratna sudah masuk ke kamar tamu, Luna duduk di ruang makan sambil menatap buku catatannya. Ia merasa hampa, seolah-olah semua usaha untuk memperbaiki hidupnya tidak ada artinya.

Pikirannya kembali ke masa lalu, saat ia masih gadis dan penuh semangat. Ia ingat bagaimana ia dulu bermimpi menjadi seorang penulis terkenal, seseorang yang karyanya bisa menginspirasi banyak orang. Tapi sekarang, mimpi itu terasa begitu jauh.

Ardi masuk ke ruang makan dan duduk di depannya. "Luna, aku tahu kamu merasa nggak nyaman dengan Ibu di sini. Tapi tolong, jangan bikin masalah. Aku nggak mau Ibu merasa nggak dihormati."

Luna menatap suaminya dengan mata yang penuh air mata. "Mas, aku nggak pernah bermaksud nggak menghormati Ibu. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup seperti ini. Aku merasa terjebak."

Ardi menghela napas. "Luna, aku cuma minta kamu bertahan. Ibu nggak akan tinggal di sini selamanya."

Luna ingin menjawab, tapi ia tahu percuma. Ardi selalu membela ibunya, tidak peduli seberapa besar pengorbanan yang harus Luna lakukan.

Malam itu, Luna memutuskan untuk menulis lagi. Ia menuangkan semua perasaannya ke dalam cerita pendek tentang seorang wanita yang terjebak dalam pernikahan yang membatasi dirinya. Ia menulis tanpa henti, seolah-olah kata-kata itu adalah pelarian dari kenyataan yang menyesakkan.

Ketika ia selesai, ia merasa sedikit lega. Menulis adalah satu-satunya cara untuk mengingatkan dirinya bahwa ia masih memiliki suara, meskipun suara itu sering kali tidak didengar oleh orang-orang di sekitarnya.

Namun, Luna tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus melarikan diri ke dalam tulisan. Ia harus menghadapi kenyataan dan menemukan cara untuk memperjuangkan dirinya sendiri, bahkan jika itu berarti harus melawan suami dan ibu mertuanya.

Dalam hati, Luna berjanji bahwa ia tidak akan menyerah. Karena ia tahu, di balik semua kesulitan ini, ada harapan untuk kebahagiaan yang lebih besar.

*

*

*

Hari-hari berlalu dengan suasana rumah yang semakin menyesakkan. Kehadiran Bu Ratna membuat Luna merasa tidak pernah benar-benar memiliki tempat di rumahnya sendiri. Ardi pun semakin sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan.

Luna mencoba menepis rasa curiga yang mulai muncul. Ia berpikir, mungkin Ardi memang benar-benar sibuk. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa. Ponsel Ardi selalu dalam mode senyap dan tidak pernah jauh dari genggamannya, bahkan saat tidur.

Suatu malam, ketika Ardi tertidur pulas, Luna tidak sengaja melihat layar ponsel suaminya menyala. Ada pesan masuk dari seseorang yang bernama "Maya". Pesannya singkat: "Aku kangen, sayang. Jangan lupa besok kita ketemu, ya."

Dada Luna terasa sesak. Ia menatap ponsel itu dengan tangan gemetar, berusaha memahami apa yang baru saja ia lihat. Ia ingin membangunkan Ardi dan menuntut penjelasan, tapi sesuatu menahannya. Ia memilih untuk menunggu hingga ia memiliki bukti yang lebih jelas.

Keesokan harinya, Luna mencoba bersikap seperti biasa, meskipun hatinya penuh dengan pertanyaan. Ia memutuskan untuk mengawasi Ardi dengan lebih cermat.

Saat Ardi mengatakan bahwa ia akan menghadiri rapat di luar kantor, Luna merasa ini adalah kesempatan untuk mencari tahu. Ia diam-diam mengikuti suaminya. Dengan jantung berdegup kencang, ia melihat Ardi berhenti di sebuah kafe kecil di pinggir kota.

Luna memperhatikan dari kejauhan. Tak lama kemudian, seorang wanita cantik dengan gaun merah masuk ke kafe dan duduk di meja yang sama dengan Ardi. Mereka terlihat akrab, berbicara dengan penuh tawa.

Air mata Luna mengalir tanpa henti. Ia merasa dunia seolah runtuh di hadapannya. Wanita itu pasti Maya, orang yang mengirim pesan tadi malam.

Setelah beberapa saat, Ardi dan Maya keluar dari kafe. Luna mengikuti mereka dengan hati-hati. Mereka masuk ke sebuah hotel kecil di dekat situ. Luna tidak bisa lagi menahan emosinya. Ia merasa tubuhnya gemetar, antara marah, kecewa, dan hancur.

Luna pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia ingin segera menghadapi Ardi, tapi ia juga takut dengan apa yang akan terjadi.

Malam itu, saat Ardi pulang, Luna sudah menunggunya di ruang tamu. Wajahnya dingin, tanpa senyuman seperti biasanya.

"Mas, aku mau bicara," kata Luna dengan nada tegas.

Ardi mengangguk pelan. "Ada apa?"

Luna mengambil napas dalam-dalam, lalu berkata, "Siapa Maya?"

Wajah Ardi langsung berubah. Ia terdiam, tidak tahu harus berkata apa. "Luna, aku bisa jelaskan," katanya akhirnya.

"Jelaskan apa, Mas? Aku sudah lihat semuanya. Aku lihat kamu bertemu dia di kafe. Aku lihat kamu masuk hotel bersamanya. Apa lagi yang perlu dijelaskan?" Luna menahan tangisnya.

Ardi menunduk, tidak bisa membalas tatapan Luna. "Luna, aku nggak bermaksud menyakitimu. Aku hanya... aku merasa tertekan. Kamu selalu mengeluh, dan aku merasa nggak dihargai."

Luna tertawa sinis. "Jadi ini salahku, Mas? Karena aku mengeluh, kamu merasa berhak untuk selingkuh?"

"Luna, aku nggak tahu harus gimana. Aku cuma..." Ardi berhenti berbicara, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.

Luna berdiri, menatap suaminya dengan mata penuh air mata. "Mas, aku sudah berusaha bertahan. Aku sudah berusaha mengerti kamu, bahkan saat kamu dan Ibumu membuat hidupku seperti neraka. Tapi ini? Ini terlalu jauh."

Ardi mencoba mendekati Luna, tapi ia mundur. "Jangan sentuh aku, Mas. Aku butuh waktu untuk berpikir."

Malam itu, Luna mengunci diri di kamar. Ia tahu bahwa pernikahannya berada di ujung tanduk. Tapi kali ini, ia tidak akan tinggal diam. Ia tidak akan membiarkan dirinya terus-menerus disakiti.

Dalam hatinya, Luna tahu bahwa ia harus mengambil keputusan besar. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa keputusan itu harus berdasarkan kebahagiaannya sendiri, bukan demi mempertahankan sesuatu yang sudah hancur.

Related chapters

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

    Last Updated : 2025-01-24
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

    Last Updated : 2025-01-25
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

    Last Updated : 2025-01-26
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

    Last Updated : 2025-01-27
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 1 : Awal yang Manis

    Luna memandangi cermin di kamarnya, memastikan riasannya sempurna sebelum Ardi pulang dari kantor. Ia selalu ingin terlihat cantik di depan suaminya, pria tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan wajah yang seperti aktor film dan sikapnya yang tenang, Ardi adalah impian banyak wanita. Namun, Luna-lah yang berhasil memenangkan hatinya. Mereka menikah dua tahun lalu, dan sejak itu, kehidupan Luna berubah drastis. Ardi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mahal, dan karisma yang sulit dilawan. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki Ardi: kelapangan hati untuk berbagi. Luna mulai menyadari sifat pelit suaminya beberapa bulan setelah mereka menikah. Awalnya, ia menganggap itu sebagai kebiasaan Ardi yang hemat dan bijak. Namun, semakin lama, kebiasaan itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Luna merasa terkungkung. Hari ini, Luna memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya. Ia ingin membahas sesuatu

    Last Updated : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 2 : Kumpul bersama teman

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran. Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam. “Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi. “Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas. Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka

    Last Updated : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

    Last Updated : 2025-01-07
  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

    Last Updated : 2025-01-07

Latest chapter

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 10 : Langkah yang Berat

    ***** Pagi itu, Luna berdiri di depan apartemennya, koper besar di sisi kanan dan tas ransel di punggungnya. Tak ada keraguan lagi, hari ini ia akan meninggalkan kota yang menyimpan begitu banyak kenangan—baik dan buruk. Rina datang untuk mengantarnya ke stasiun. "Aku bangga sama kamu, Lu. Kamu berani mengambil keputusan besar ini." Luna tersenyum, meski hatinya terasa berat. "Aku cuma berharap aku nggak salah langkah, Rin. Kadang aku masih merasa takut." Rina menggenggam tangan Luna. "Ketakutan itu wajar, tapi kamu sudah memilih jalan yang benar. Kamu nggak lagi terjebak di masa lalu. Ini hidupmu, Luna. Jalani dengan bangga." --- Di perjalanan menuju stasiun, ponsel Luna bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ardi. "Luna, aku dengar kamu mau pindah. Aku nggak tahu apakah aku punya hak untuk bicara, tapi aku cuma mau bilang... aku bangga sama kamu. Aku harap kamu bahagia di sana. Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku." Mata Luna berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia tah

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 9 : Jalan Berbeda

    ***** Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Ardi. Usahanya untuk berubah terasa seperti mendaki gunung yang terjal. Ia mulai menghadiri sesi konseling daring tentang hubungan dan introspeksi diri. Setiap kali ia mendengar cerita orang lain, ia merasa semakin sadar betapa banyak kesalahan yang telah ia lakukan terhadap Luna. Namun, di tengah usaha itu, rasa ragu terus menghantuinya. Ia bertanya-tanya apakah Luna akan pernah memaafkannya atau bahkan mau memberinya kesempatan kedua. --- Suatu sore, Ardi memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia butuh udara segar untuk meredakan pikirannya yang penuh dengan rasa bersalah dan kebingungan. Saat ia sedang duduk di bangku taman, ia melihat sosok yang familiar. Luna. Luna sedang duduk di bawah pohon besar, membaca buku sambil menikmati angin sore. Ardi merasa jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka akan bertemu Luna di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mendekatinya. Namun, langkahnya terhenti beberapa meter sebelum

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 8 : Cahaya di Tengah Gelap

    *****Hari-hari Luna kini penuh dengan rutinitas baru. Bangun pagi, menyelesaikan artikel untuk klien, mengirimkan email, dan sesekali berdiskusi dengan editor lewat panggilan video. Ia merasa hidupnya mulai menemukan ritme baru. Namun, di sela-sela kesibukannya, rasa sepi kerap menghampiri.Sore itu, Luna duduk di teras rumah Rina, menatap langit yang mulai memerah. Di tangannya, ada secangkir teh hangat. Rina keluar membawakan sepiring kue."Kamu kelihatan capek, Lu," kata Rina sambil duduk di sampingnya.Luna tersenyum tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku senang. Akhirnya aku bisa menghasilkan uang sendiri lagi."Rina mengangguk. "Aku bangga sama kamu. Tapi ingat, jangan terlalu keras sama dirimu sendiri. Kamu juga butuh waktu untuk istirahat."Luna menghela napas. "Kadang aku merasa takut, Rin. Takut kalau semua ini nggak cukup. Takut kalau aku nggak bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang Ardi."Rina menggenggam tangan Luna. "Kamu sudah melangkah sejauh ini, Lu. Jangan biarkan rasa t

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 7 : Menjemput Harapan Baru

    **** Luna menghabiskan malam itu dengan pikiran yang tidak tenang. Ia duduk di meja kerjanya, menatap kosong ke layar laptop. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Ia mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang terus menghantuinya: Haruskah aku bertahan atau pergi? Keesokan paginya, Luna bangun dengan mata sembab. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghindari konfrontasi ini lebih lama lagi. Ketika ia keluar dari kamar, Ardi sudah duduk di meja makan bersama Bu Ratna. "Luna, kenapa wajahmu seperti itu? Jangan-jangan kamu habis menangis semalaman? Istri kok lemah begitu," komentar Bu Ratna dengan nada menyindir. Luna tidak menjawab. Ia hanya duduk diam sambil menuangkan teh ke cangkirnya. "Luna," panggil Ardi pelan, mencoba mengajaknya bicara. Namun sebelum Ardi bisa melanjutkan, Luna memotong. "Mas, aku ingin bicara empat mata. Sekarang." Bu Ratna langsung menatap mereka dengan curiga. "Ada apa ini? Kalau ada masalah, aku juga berhak tahu. Aku ibunya Ardi." Luna

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 6 : Rahasia yang terungkap

    Kata-kata Ardi membuat Luna terdiam. Ia menatap suaminya dengan rasa kecewa yang sulit disembunyikan. "Mas, ini bukan soal menghormati. Aku tetap istri Mas, aku tetap melakukan tugasku di rumah. Tapi aku juga punya hak untuk berkembang," jawab Luna dengan suara bergetar. Ardi menggeleng pelan. "Aku nggak mau ribut, Luna. Tapi coba pikirkan lagi, apa yang lebih penting: pekerjaanmu atau keharmonisan keluarga kita?" Luna merasa seolah ia ditikam dari belakang. Ia tahu bahwa keharmonisan yang dimaksud Ardi hanyalah tentang memenuhi ekspektasi Bu Ratna, bukan tentang kebahagiaan mereka sebagai pasangan. Hari itu, Luna menjalani aktivitasnya dengan hati yang berat. Kehadiran Bu Ratna di rumah membuatnya merasa seperti berada di bawah pengawasan ketat. Setiap langkah yang ia ambil, setiap keputusan kecil yang ia buat, selalu dikomentari oleh ibu mertuanya. "Luna, kenapa lampu di ruang tamu masih nyala siang-siang begini? Listrik itu mahal, tahu!" tegur Bu Ratna saat Luna sedang

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 5 : Awal dari Perubahan

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan yang berbeda. Percakapannya dengan Ardi semalam terus terngiang di pikirannya. Kata-kata suaminya, "Kalau kamu merasa nggak bahagia, aku nggak bisa memaksa kamu untuk tetap di sini," terdengar seperti ancaman sekaligus tantangan. Luna menghela napas panjang. Ia tahu ia harus mulai mengambil langkah untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpedulian suaminya. Hari itu, Luna memutuskan untuk mengunjungi temannya, Rina. Rina adalah salah satu dari sedikit orang yang selalu mendukungnya tanpa syarat. "Rin, aku butuh bantuanmu," kata Luna begitu ia tiba di rumah Rina. Rina yang sedang membuat teh di dapur menoleh dengan wajah khawatir. "Luna, kamu kelihatan capek. Ada apa? Cerita aja." Luna duduk di kursi dapur dan mulai menceritakan semuanya—dari sikap Ardi yang pelit hingga perasaannya yang semakin tertekan. Rina mendengarkan dengan serius, tanpa menyela sedikit pun. "Luna," kata Rina akhirnya, "kamu nggak bis

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 4 : Kejolak Hati

    Keesokan paginya, Luna bangun dengan perasaan yang campur aduk. Suasana villa yang damai membuatnya merasa nyaman, namun pikirannya terus memikirkan apa yang menunggunya di rumah. Teman-temannya masih tertidur, jadi Luna memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar villa, menikmati udara pagi yang segar. Saat ia duduk di bawah pohon besar di dekat taman, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Ardi masuk. “Luna, kamu sudah bangun? Jangan lupa, jangan terlalu lama di sana. Pulanglah sebelum malam.” Pesan itu membuat Luna merasa seperti sedang diingatkan bahwa kebebasannya hanyalah sementara. Ia membalas pesan itu dengan singkat. “Iya, Mas. Aku nggak akan lama.” Setelah sarapan bersama teman-temannya, Luna membantu membereskan villa. Ia merasa bersyukur memiliki momen ini, meskipun singkat. Sebelum berpisah, Rina mendekatinya. “Luna, aku senang kamu bisa datang. Tapi aku harap ini bukan terakhir kalinya kita kumpul. Kamu harus lebih sering keluar dari rutinitasmu,” kata Rina s

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 3 : Luka di Balik Cinta

    Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Luna tetap mencoba menjadi istri yang baik, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, sambil sesekali menyisipkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, ia merasa seperti berjalan di atas tali tipis, takut salah langkah yang bisa memicu pertengkaran dengan Ardi. Pagi itu, Luna sedang membereskan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Rina masuk. “Luna, aku ada kabar baik! Minggu depan kita mau adain reuni kecil-kecilan di villa salah satu teman kita. Kamu harus ikut, ya. Ini bakal seru banget!” Luna membaca pesan itu dengan campuran perasaan. Ia ingin sekali ikut, tapi ia tahu bahwa meminta izin pada Ardi untuk pergi selama akhir pekan akan menjadi tantangan besar. Ketika Ardi pulang malam itu, Luna memutuskan untuk membicarakannya. Ia menyajikan makan malam seperti biasa, berusaha menciptakan suasana yang nyaman sebelum mengutarakan keinginannya. “Mas, aku dapat kabar dari teman-teman. Mereka mau adain reuni kecil

  • Suami Tampan Tapi Pelit   Bab 2 : Kumpul bersama teman

    Pagi itu, Luna bangun dengan perasaan campur aduk. Ia memutuskan untuk tetap pergi ke acara bersama teman-temannya, meski tahu Ardi mungkin akan keberatan. Sambil menyiapkan sarapan, ia mencoba mencari cara untuk membicarakannya lagi tanpa memicu pertengkaran. Ardi muncul di dapur dengan kemeja kerja yang rapi. Ia tampak tenang, seperti biasa, dan Luna merasa sedikit lega karena suasana tidak seburuk yang ia bayangkan setelah percakapan mereka semalam. “Mas, sarapannya sudah siap,” kata Luna sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja. Ardi duduk dan mulai makan tanpa banyak bicara. Luna menunggu beberapa saat sebelum mencoba membuka topik lagi. “Mas, soal acara teman-temanku malam ini... aku tetap mau pergi. Aku butuh waktu untuk bersosialisasi juga,” kata Luna dengan suara lembut, namun tegas. Ardi meletakkan sendoknya, menatap Luna dengan serius. “Luna, aku sudah bilang, kan? Buat apa pergi ke kafe kalau itu hanya menghabiskan uang? Kalau mereka benar-benar temanmu, mereka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status