Prolog.
***Part 1. Parfum Wanita *** Jam menunjukkan pukul empat. Para pekerja pabrik berbondong-bondong keluar karena sudah waktunya pulang. Termasuk Hadi yang saat ini tengah mengambil motor di parkiran. Sebelum menyalakan mesin motor, ia memeriksa penampilannya pada kaca spion. Sedikit membentuk rambutnya menyerupai jambul ala penyanyi beken Syahrini. "We, Di. Ayo pulang!" Seorang teman menepuk pundaknya, membuat Hadi berjingkat karena terkejut. Hadi menoleh. "Nanti dulu. Mau ngopi dululah." Teman Hadi yang bernama Fairuz itu menggeleng. "Kau ini, pulang kerja bukannya ke rumah nemuin anak istri malah keluyuran. Ngopi di rumah, kan lebih enak. Gratis pula." Hadi mengibaskan tangannya di depan wajah. "Halah. Kau, kan memang suami takut istri," ejek Hadi. "Eh, denger, ya. Kita sebagai laki-laki juga berhak memanjakan diri di luar. Bagaimana? Ikut tidak?" Fairuz menggeleng. Tahu betul apa yang dimaksud Hadi dengan memanjak
Part 2. Formalitas *** "Rio, Sayang," panggil seseorang saat Matun mengajak anak bungsunya bermain di depan rumah. "Main apa, Sayang? Hem?" "Main mobil-mobilan, Tante." Sugi. Kakak ipar Matun datang dengan anak perempuannya. Dalam keluarga Makijan, semua rumah anaknya baris dan saling berdempetan. Dari arah selatan adalah rumahnya, ke utara di sampingnya rumah sang kakak yang bernama Tami, sebelahnya lagi rumah Niswa. Ketiga bangunan itu saling berdempetan. Sebelah utara rumah Niswa ada gang kecil sebagai akses ke belakang di mana orang tua mereka tinggal. Sebelah utara gang kecil itu adalah rumah kakak laki-laki Matun yang bernama Fidun, anak kedua dari Makijan dan suami dari sugi. Matun masih mempunyai kakak perempuan lain, namanya Maria yang kini tinggal bersama suaminya di desa sebelah. Ia juga masih mempunyai adik laki-laki yang bernama Eko—belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua mereka. Sug
Part 3. Makan seadanya***Azan subuh berkumandang, semua orang berbondong-bondong ke masjid untuk berjamaah. Sugi, setelah menunaikan salat subuh di rumah, ia pun mengambil uang secukupnya lalu pergi ke warung untuk berbelanja.Bersama adik iparnya Niswa yang juga kebetulan baru keluar dari rumah mereka berangkat. Tidak terlalu jauh. Sebelum sampai di warung, keduanya saling berpandangan kala mendengar suara seseorang yang sudah heboh pagi buta ini."Bukannya itu suara Munik ya, Nis?" tanya Sugi dengan kening mengerut.Nissa mengangguk. "Iya, Mbak. Ngapain ya dia belanja sampe di sini? Padahal di sana, kan juga ada yang jual sayur? Mana kelihatannya heboh banget lagi.""Tahu tuh." Pasalnya, seseorang yang bernama Munik itu berbeda lokasi tinggal dengan mereka. Ibaratnya Sugi dan Niswa di gang satu, maka Munik berada di gang sembilan. Sangat jauh."Pasti ada apa-apa nih, Mbak. Kalau nggak, ngapain itu orang lemes belanja sampe di sini p
Part 4. Mulai berbohong***Sarapan pagi ini Matun memasak udang asam manis. Setelah mengambilkan sarapan suaminya Ia duduk tepat di samping Hadi, memerhatikan laki-laki yang telah menjadi imamnya bertahun-tahun ini sehingga mereka memiliki dua anak."Bang," panggil Matun. Sedangkan Hadi hanya menjawab dengan gumaman saja."Perempuan yang Abang bonceng kapan lalu beneran adik teman Abang?" tanya Matun pelan.Tangan Hadi yang akan menyuapkan sesendok nasi urung kala mendengar pertanyaan istrinya.Hadi menghela napas dalam, ia menurunkan kembali tangannya dengan menatap Matun jengah. "Kemarin, kan Abang sudah jelasin sama kamu. Kok ditanyain lagi?"Matun menggigit bibir bawahnya. "Kemarin ...." perempuan beranak dua itu tampak ragu untuk mengatakan lebih lanjut."Apa?" tanya Hadi dengan suara sedikit tinggi sehingga mengejutkan Matun. "Cepat katakan.""Munik bilang Abang ngakunya saudara Abang." Kekehan Hadi terdengar, mem
Part 5. Buah Bibir***Matun duduk di sebuah dengklek kayu di dapurnya, menghadap ke barat dengan pintu dapur yang terbuka menampilkan kebun belakang milik sang kakak.Matanya terasa kosong, pikirannya berkelana ke mana-mana. Apalagi saat mengingat kembali pembicaraan tadi siang di depan rumah kakaknya.Masih diingat jelas setiap penjelasan yang diberikan Ibu Kasiati meninggalkan rasa sakit yang teramat dalam di hatinya."Ini, kan Mijem. Janda gatel desa sebelah." Semua orang yang ada di sana menatap Ibu Kasiati secara bersamaan.Tidak terkecuali Munik yang biang gosip. Lihatlah wajahnya sekarang. Sebuah senyum entah apa artinya terpatri di sana.Melihat tiga wajah di depannya membuat Ibu Kasiati menjadi tidak enak, apalagi pada Matun yang memandang dirinya sendu."Coba deh lihat sini lagi saya pastiin. Nanti saya asal ngomong lagi." Ibu Kasiati mendekati Munik kembali, menatap layar ponsel dengan kening mengerut beberapa kali.
7. Beli Perhiasan***Hadi mengetuk pintu kosan milik Reta. Di minggu pagi ini ia memutuskan untuk mengunjungi kekasihnya itu di tempat tinggalnya.Kekasih.Ya. Dia saat ini sudah gamblang menyebut Reta sebagai kekasihnya. Toh Matun sudah tahu ini.Satu dua kali ketukan belum ada sahutan. Ketukan keempat terdengar seseorang berteriak dari dalam. "Sebentar!" Itu Reta. Senyum Hadi pun terbit begitu saja.Tidak lama, pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dengan rambut basah yang hanya berbalut handuk sebatas dada dan di atas lutut bagian bawah. Melihat itu Hadi bersiul sembari menelisik tubuh sang kekasih dari atas sampai bawah.Sedangkan Reta yang melihat keberadaan Hadi di depan pintu kosannya tentu saja merasa terkejut. "Bang Hadi?" panggilnya."Hai, Sayang.""Masuk-masuk, Bang." Kosan Reta adalah tipikal kos-kosan yang bebas aturan. Laki-laki dan perempuan boleh menghuninya atau sekedar mengunjungi teman di sini.
7. Jangan Bertemu Dulu***Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini. Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib. "Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium. "Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji. "Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa. Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya. Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus
8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."