Part 3. Makan seadanya
***
Azan subuh berkumandang, semua orang berbondong-bondong ke masjid untuk berjamaah. Sugi, setelah menunaikan salat subuh di rumah, ia pun mengambil uang secukupnya lalu pergi ke warung untuk berbelanja.Bersama adik iparnya Niswa yang juga kebetulan baru keluar dari rumah mereka berangkat. Tidak terlalu jauh. Sebelum sampai di warung, keduanya saling berpandangan kala mendengar suara seseorang yang sudah heboh pagi buta ini.
"Bukannya itu suara Munik ya, Nis?" tanya Sugi dengan kening mengerut.
Nissa mengangguk. "Iya, Mbak. Ngapain ya dia belanja sampe di sini? Padahal di sana, kan juga ada yang jual sayur? Mana kelihatannya heboh banget lagi."
"Tahu tuh." Pasalnya, seseorang yang bernama Munik itu berbeda lokasi tinggal dengan mereka. Ibaratnya Sugi dan Niswa di gang satu, maka Munik berada di gang sembilan. Sangat jauh.
"Pasti ada apa-apa nih, Mbak. Kalau nggak, ngapain itu orang lemes belanja sampe di sini pagi-pagi." Yang dikatakan Niswa masuk akal. Pasalnya di setiap gang itu ada penjual sayurnya, tetapi kenapa Munik yang tinggalnya di gang sembilan bisa belanja di gang satu?
"Hmm ... kalau bukan untuk gibah, ya biasanya karena hutang di warung sana udah numpuk."
Nissa memandang Kakak iparnya tanpa kedip. Sesaat kemudian Sugi menyadari sesuatu. "Astagfirulloh. Pagi-pagi sudah suudzon," ucapnya sembari mengelus dada.
Niswa terkekeh. "Ya udah deh, Mbak. Kita langsung belanja aja. Keburu siang nanti."
Sugi mengangguk. "He'em." Keduanya kembali melanjutkan langkah. Baru saja mereka menginjak pelataran rumah pedagang sayur itu, suara Munik menyambut keduanya.
"Eh, ada Mbak Sugi dan Mbak Niswa. Kebetulan," ucap Munik keras dan heboh.
Sontak saja hal itu membuat langkah Sugi dan Niswa kembali terhenti. Keduanya mendongak lalu meneliti seisi warung di mana pandangan semua orang tertuju pada mereka.
Kakak dan adik ipar itu saling berpandangan, menampakkan raut kebingungan. Namun, perempuan tambun bernama Munik itu mendekat.
"Lah ... kenapa malah diam di sini? Ya ayo kalau mau belanja." Memberikan sedikit senyum, Niswa dan Sugi mendekati jajaran sayuran yang akan mereka beli hari ini.
Munik yang tiba-tiba mendekat membuat Sugi dan Niswa saling melirik satu sama lain.
"Oh, iya Mbak Sugi. Itu saudaranya Hadi sejak kapan datang ke sini? Terus, sampai kapan mau menginap di sini?" tanya Munik tiba-tiba.
Sugi menoleh. "Saudara?" tanyanya dengan kening terlipat. Pasalnya dia tidak mengerti apa yang dimaksud Munik dengan saudara Hadi yang menginap.
Munik mengangguk. "Iya. Saudara Hadi yang cantik dan bahenol itu," lanjut Munik. Tangan perempuan tambun itu masih memilah sayur.
"Eh tapi, ya. Saya saranin deh, Mbak Sugi. Kalau di sini jangan seperti itu pakaiannya. Kasihan anak-anak kalau melihat yang kayak begituan."
Sugi menatap Niswa yang malah mendapat gelengan dari adik iparnya itu. Pertanda bahwa Niswa pun juga tidak tahu.
"Eh, Mbak Sugi. Ditanya kok malah bengong. Itu saudara Hadi memangnya mau ngapain ke sini? Kok tumben?"
Sugi tersenyum. "Aduh. Kalau itu saya nggak tahu ya, Mbak Munik. Kalau Mbak Munik pengen tahu, ya tanya saja sama orangnya langsung," jawab Sugi mencari aman.
"Loh. Kok bisa sih Mbak Sugi nggak tahu? Dia, kan saudara ipar Embak." Dari nada suara Munik sudah berubah. Mungkin merasa jengkel karena tidak mendapat jawaban pasti.
"Lah. Mau gimana lagi Mbak Munik? Orang saya memang tidak tahu. Kalau saya nggak tahu dan bilang tahu, Mbak pasti nanyanya nggak bakal berhenti di situ saja? Terus saya mau jawab apa? Asal begitu? Sama saja saya memberi informasi yang tidak benar dong. Nanti jatuhnya fitnah loh," jelas Sugi panjang lebar. Ia melampiaskan kekesalan pada biang gosip ini dengan petuah.
Meskipun ia tahu kalau itu tidak akan berhasil, yang penting Munik tidak lagi bertanya padanya. Benar saja. Perempuan itu terdiam seketika. Meski Sugi melihat betul kekesalan dengan gerakan tangan yang sedikit kasar saat memilih sayuran, ia tidak peduli.
Setelahnya, semua berbelanja sesuai urutan. Sugi dan Niswa pulang bersama. "Mbak. Maksudnya si Munik itu apa, sih? Saudaranya Hadi?"
"Mbak juga nggak tahu," jawab Sugi. Sesaat kemudian ia teringat sesuatu. "Tapi, kalau didengar dari ciri-ciri yang disebutkan si Munik. Perempuan yang dimaksud seperti orang yang kemarin kami temui di jalan."
"Maksudnya?"
"Kemarin Mbak ngajak Matun beli bakso, di sana kita nggak sengaja lihat suaminya Matun boncengan sama perempuan. Pakaiannya memang minim. Cantik, sih. Cantik bedak."
"Lah terus itu siapa, Mbak?"
"Udah dibilang Embak nggak tahu, kok. Setelah melihat itu Matun ngajak pulang. Setelahnya nggak tahu lagi soalnya Embak belum tanya."
"Kita tanya aja kali ya, Mbak sama Katun?" usul Niswa.
"Jangan. Jangan campuri urusan mereka. Kalau Matun bicara sendiri, baru kita dengarkan. Biar bagaimanapun, meski Marun saudara kita, itu urusan pribadi mereka antara suami istri. Kita nggak berhak ikut campur." Niswa mengangguk menyetujui ucapan kakak iparnya. Memang begitu adanya.
"Mbak masuk duluan, ya."
"Iya, Mbak."
***
Matun sedang memakaikan pakaian pada Rio putra bungsunya. Hari ini pekerjaan cukup mudah ditangani. Rio yang tidur nyenyak membuat ia leluasa menyelesaikan semuanya.
Tepat setelah ia membersihkan diri, Rio terbangun yang membuat dirinya segera memandikan sang anak.
Memutuskan melepas penat, Matun mengajak Rio untuk jalan-jalan di sekitar rumah.
Matun mendatangi rumah Yuti karena terlihat di sana ada beberapa ibu-ibu yang sedang berkumpul. Pasti sedang bergosip. "Lebih baik aku ikut kumpul bersama mereka."
Matun menggendong Rio, ia memutuskan ikut berkumpul karena tahu jika kumpulan ibu-ibu itu pasti menggosipkan ibu lainnya yang tidak ikut berkumpul. Tidak ingin menjadi buah bibir, Matun pun lebih baik bergabung.
"Eh, Matun. Sini, Tun," ucap si pemilik rumah—Yuti. Di sana juga ada Ibu Kasiati, Ibu Juwani, dan Ibu Ponera.
Matun bergabung dengan menggelar gendongan sewek agar ia bisa meletakkan Rio di bawah.
"Eh, Tun. Katanya ada saudara Hadi yang menginap di rumah kamu? Bener?" Ibu Ponera bertanya pelan pada Matun.
Matun melipat keningnya bingung. "Kata siapa, Bu?"
"Kat Munik tadi di warung belanja. Katanya kemarin dia ketemu suami kamu sama perempuan bahenol. Pas ditanya katanya dia saudaranya dari Lamongan."
Mendengar penjelasan itu entah kenapa hati Matun menjadi gelisah. Pasalnya, kemarin ia juga melihat sang suami bersama perempuan lain yang katanya adik dari temannya. Apa yang dimaksud adalah orang yang sama?
Tapi, kenapa mengaku sebagai saudara?
Di saat yang sama, terlihat Munik mengendarai motor dari arah selatan. "Itu Munik," ucap Juwani. Tangannya terangkat untuk memanggil Munik. "Munik. Sini!"
Munik yang asyik berkendara menoleh ke asal suara. Senyumnya mengembang ketika melihat kumpulan ibu-ibu itu. Apalagi saat tatapannya menangkap keberadaan Matun di mana ia masih kepo dengan perempuan yang kemarin ia lihat bersama suami Matun.
Menstandarkan motor, Munik sedikit mengangkat dasternya dan berjalan cepat ke arah kumpulan itu. "Mbak Matun," panggilnya.
Langkah tergesa terlihat jelas, ketika sampai di samping Matun, ia langsung terduduk dengan napas tersengal. "Buru-buru amat, Nik."
Munik nyengir. "Eh, iya lupa. Saya mau tanya Mbak Matun. Itu saudara suamimu cakep bener. Sejak kapan dia di sini?"
"Saudara siapa, sih Mbak Munik?" tanya Matun bingung.
“Ya saudaranya suami Embak lah. Siapa lagi?” ucap Munik. Sedangkan Matun masih merasa bingung.
Sesaat kemudian Munik menyadari sesuatu. "Ah, iya. Sebentar." Perempuan tambun itu kali ini tidak lupa membawa ponselnya, segera meraih benda pipih itu dari saku dasternya.
Membuka aplikasi folder foto dan membukanya, mencari gambar yang kemarin sempat ia ambil. "Ini nih, Mbak. Katanya ini saudaranya Bang Hadi."
Matun menatap ponsel yang disodorkan Munik. Matanya membulat seketika saat ia melihat sosok perempuan di sana.
Dugaannya benar. Perempuan di dalam gambar adalah perempuan yang sama dengan yang ia lihat kemarin saat di bonceng suaminya.
Tapi, kenapa Munik mengatakan perempuan ini adalah saudara suaminya? Matun menatap perempuan di sampingnya.
"Mbak Munik kata siapa dia saudara suami saya?"
Wajah Munik terlihat terkejut. "Loh. Bang Hadi sendiri yang bilang kalau itu saudaranya. Jadi benar atau bukan ini sebenarnya?"
Matun tersenyum. "Iya. Saudara suami saya. Dia di sini mencari kerja. Trus sekarang ngekos di dekat jalan raya depan." Ya. Itulah jawaban Matun.
Ia menghindari pertanyaan lain yang akan didapat jika ia menjawab bahwa perempuan dalam gambar bukan saudara suaminya. Ia juga tidak ingin membuat nama suaminya terlihat jelek di mata orang lain sebelum ia mendapat jawaban langsung.
Part 4. Mulai berbohong***Sarapan pagi ini Matun memasak udang asam manis. Setelah mengambilkan sarapan suaminya Ia duduk tepat di samping Hadi, memerhatikan laki-laki yang telah menjadi imamnya bertahun-tahun ini sehingga mereka memiliki dua anak."Bang," panggil Matun. Sedangkan Hadi hanya menjawab dengan gumaman saja."Perempuan yang Abang bonceng kapan lalu beneran adik teman Abang?" tanya Matun pelan.Tangan Hadi yang akan menyuapkan sesendok nasi urung kala mendengar pertanyaan istrinya.Hadi menghela napas dalam, ia menurunkan kembali tangannya dengan menatap Matun jengah. "Kemarin, kan Abang sudah jelasin sama kamu. Kok ditanyain lagi?"Matun menggigit bibir bawahnya. "Kemarin ...." perempuan beranak dua itu tampak ragu untuk mengatakan lebih lanjut."Apa?" tanya Hadi dengan suara sedikit tinggi sehingga mengejutkan Matun. "Cepat katakan.""Munik bilang Abang ngakunya saudara Abang." Kekehan Hadi terdengar, mem
Part 5. Buah Bibir***Matun duduk di sebuah dengklek kayu di dapurnya, menghadap ke barat dengan pintu dapur yang terbuka menampilkan kebun belakang milik sang kakak.Matanya terasa kosong, pikirannya berkelana ke mana-mana. Apalagi saat mengingat kembali pembicaraan tadi siang di depan rumah kakaknya.Masih diingat jelas setiap penjelasan yang diberikan Ibu Kasiati meninggalkan rasa sakit yang teramat dalam di hatinya."Ini, kan Mijem. Janda gatel desa sebelah." Semua orang yang ada di sana menatap Ibu Kasiati secara bersamaan.Tidak terkecuali Munik yang biang gosip. Lihatlah wajahnya sekarang. Sebuah senyum entah apa artinya terpatri di sana.Melihat tiga wajah di depannya membuat Ibu Kasiati menjadi tidak enak, apalagi pada Matun yang memandang dirinya sendu."Coba deh lihat sini lagi saya pastiin. Nanti saya asal ngomong lagi." Ibu Kasiati mendekati Munik kembali, menatap layar ponsel dengan kening mengerut beberapa kali.
7. Beli Perhiasan***Hadi mengetuk pintu kosan milik Reta. Di minggu pagi ini ia memutuskan untuk mengunjungi kekasihnya itu di tempat tinggalnya.Kekasih.Ya. Dia saat ini sudah gamblang menyebut Reta sebagai kekasihnya. Toh Matun sudah tahu ini.Satu dua kali ketukan belum ada sahutan. Ketukan keempat terdengar seseorang berteriak dari dalam. "Sebentar!" Itu Reta. Senyum Hadi pun terbit begitu saja.Tidak lama, pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dengan rambut basah yang hanya berbalut handuk sebatas dada dan di atas lutut bagian bawah. Melihat itu Hadi bersiul sembari menelisik tubuh sang kekasih dari atas sampai bawah.Sedangkan Reta yang melihat keberadaan Hadi di depan pintu kosannya tentu saja merasa terkejut. "Bang Hadi?" panggilnya."Hai, Sayang.""Masuk-masuk, Bang." Kosan Reta adalah tipikal kos-kosan yang bebas aturan. Laki-laki dan perempuan boleh menghuninya atau sekedar mengunjungi teman di sini.
7. Jangan Bertemu Dulu***Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini. Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib. "Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium. "Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji. "Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa. Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya. Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus
8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."
9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka
10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg