Part 4. Mulai berbohong
***
Sarapan pagi ini Matun memasak udang asam manis. Setelah mengambilkan sarapan suaminya Ia duduk tepat di samping Hadi, memerhatikan laki-laki yang telah menjadi imamnya bertahun-tahun ini sehingga mereka memiliki dua anak.
"Bang," panggil Matun. Sedangkan Hadi hanya menjawab dengan gumaman saja.
"Perempuan yang Abang bonceng kapan lalu beneran adik teman Abang?" tanya Matun pelan.
Tangan Hadi yang akan menyuapkan sesendok nasi urung kala mendengar pertanyaan istrinya.
Hadi menghela napas dalam, ia menurunkan kembali tangannya dengan menatap Matun jengah. "Kemarin, kan Abang sudah jelasin sama kamu. Kok ditanyain lagi?"
Matun menggigit bibir bawahnya. "Kemarin ...." perempuan beranak dua itu tampak ragu untuk mengatakan lebih lanjut.
"Apa?" tanya Hadi dengan suara sedikit tinggi sehingga mengejutkan Matun. "Cepat katakan."
"Munik bilang Abang ngakunya saudara Abang." Kekehan Hadi terdengar, membuat Matun menjadi bingung. "Kok Abang malah ketawa?"
"Sengaja," ucap Hadi. "Abang memang sengaja bilang begitu sama Munik. Soalnya Abang tahu bagaimana lemesnya perempuan itu kalau lagi gosip."
Hadi berdecak dengan menggelengkan kepala. "Kamu sendiri yang bilang kalau Munik adalah ratu gosip. Tapi kenapa kamu masih menanggapi ucapan dia?"
Matun meneguk ludah kasar, apa yang diucapkan suaminya benar juga. Melihat istrinya yang termenung Hadi kembali melanjutkan sarapannya dengan semangat.
"Ya sudahlah. Abang berangkat dulu. Keburu telat nanti." Hadi mengulurkan tangannya yang segera diterima oleh Matun. Seperti biasa perempuan itu akan mencium punggung tangan suaminya.
***
Hadi membanting tubuhnya pada kursi di ruang tamu milik Reta. Sebelum masuk kerja pagi tadi Hadi memang mengirimkan pesan pada Reta untuk pulang ke rumah saat istirahat tiba karena ada yang ingin diucapkan.Sigap, Reta mengiyakan ucapan Hadi. Perempuan itu pulang setengah jam sebelum waktunya pekerja pabrik istirahat, biarkan warung ditunggu oleh anak buahnya.
"Dasar perempuan mulut ember," ucap Hadi yang merasa jengkel dengan biang gosip bernama Munik.
Reta datang dengan segelas es teh di tangan. Ia duduk di sebelah laki-laki kurus itu. "Minum dulu, Bang tehnya."
Hadi mengambil alih gelas itu dan meneguknya hingga tinggal separuh. Rasa-rasanya es teh itu tindak dapat perasaan panas akibat kemarahannya pada Munik.
Tangan Reta terulur memegang bahu Hadi. "Ada apa, sih, Bang?" tanyanya pelan. "Kok kayaknya Abang lagi marah? Tumben juga ngajakin Reta ketemuan di rumah. Biasanya juga, Abang langsung ke warung
Hadi menggeleng. "Enggak bisa. Untuk saat ini Abang nggak bisa temuin kamu di warung."
Reta mengerutkan keningnya. "Kenapa, Bang?"
Hadi menoleh. "Kamu ingat perempuan gendut yang bertemu kita kapan lalu di warung soto depan?" Hadi menunjuk ke satu arah seolah di sanalah tempat yang ia maksud.
Reta mengangguk. "Abang kira dengan mengatakan kalau kamu saudara Abang dia bakalan diem. Nggak tahunya dia malah tanya sama istri Abang," jelasnya dengan nada jengkel.
Mata Reta melotot. "Terus. Istri Abang bagaimana?"
"Ya dia tanya lagi sama Abang. Padahal kapan lalu pas waktu dia lihat kita Abang udah jelasin sama dia kalau kamu ini adik temen Abang. Dan dia percaya. Tapi gara-gara si Munik ini dia tanya lagi." Kedua tangan Hadi mengepal seolah ingin melayangkan tinju pada orang yang sudah membuat harinya buruk.
"Istri Abang pasti curiga."
"Iya jelas. Tapi untung Abang bisa meyakinkannya kembali."
Reta menghela napas dalam. "Untung saja, Bang. Kalau tidak, bisa bahaya kita."
Hadi mengangguk, membenarkan ucapan itu. "Sepertinya untuk waktu dekat kita jangan sering-sering ketemu dulu.
Wajah Reta cemberut seketika. "Abang ih. Kok gitu sih? Kalau aku kangen bagaimana?"
Hadi meletakkan gelas di atas meja, ia mengikis jarak duduk di antara mereka. Kedua tangannya memegang bahu Reta dan mengelusnya pelan. "Sayang," panggilnya lembut.
"Ini hanya untuk sementara. Sampai Perempuan di rumah itu nggak curiga lagi. Biar kita juga aman," bujuk Hadi. Namun, Reta masih membuang muka dari dirinya.
"Gini aja deh. Nanti kalau Abang udah gajian, Abang beliin kamu emas. Bagaimana?" Jangan ditanya bagaimana respon Reta ketika mendengar tawaran itu.
Perempuan berpakaian minim itu menoleh dengan senyuman, bahkan bibir tebal yang berhiaskan lipstik merah tidak dapat menutupi deretan giginya.
"Bener ya, Bang?" tanyanya dengan nada manja.
Hadi tersenyum, laki-laki itu mengangguk. "Iya."
Reta segera menghambur ke pelukan Hadi. "Ah, Abang. Terima kasih."
"Apa, sih yang enggak buat kamu?" Hadi tersenyum lebar sembari memeluk tubuh montok milik Reta. Bola matanya melirik sebentar ke arah jam dinding. Masih kurang setengah jam lebih untuk kembali ke pabrik.
"Reta, Sayang," panggilnya.
"Iya, Bang."
"Kita wik wik, yuk."
***
Matun dan Sugi sedang duduk santai di teras rumah Sugi. Keduanya sama-sama menjaga anak mereka yang kecil.
Sugi melirik sekilas Matun yang tampak termenung. "Kamu kenapa, Tun?" tanya Sugi. Ia mengarahkan roti ke mulut sang anak.
Matun mendongak, terbubarkan dari lamunannya. Ia hanya tersenyum, dan Sugi pun tidak ingin memaksa. Hingga dia teringat sesuatu. "Tun," panggilnya.
Matun kembali menatap sang kakak ipar. "Mbak mau tanya soal perempuan yang kita lihat beberapa waktu lalu yang dibonceng suamimu."
Matun tersenyum. "Bang Hadi bilang dia adik temennya. Katanya waktu itu minta antar Bang Hadi soalnya kakaknya nggak bisa ninggalin istrinya yang lagi hamil tua," jelas Matun sesuai apa yang dikatakan suaminya.
Sugi mengangguk. Akan tetapi, sesuatu masih mengganjal di hatinya. Masih diingat bagaimana Munik berucap mengenai perempuan itu.
"Mmm ... kemarin aku dan Niswa ketemu Munik di warung. Katanya, Hadi bilang kalau perempuan itu saudaranya." Sugi pelan menjelaskan apa yang ia tahu.
Matun masih tersenyum. "Itu Bang Hadi sengaja lakukan karena tahu Munik suka sekali sebar gosip, Mbak. Dan terbukti sekarang Munik mengatakannya sama semua orang."
Sugi mengangguk. "Iya juga, sih. Mana heboh banget kemarin waktu tanya sama aku dan Niswa."
"Wah. Asyik kumpul nih." Suara seseorang membuat atensi mereka teralihkan.
"Eh, Mbak Kasiati. Iya, Mbak. Duduk santai sambil ngemong," ucap Sugi. "Sini, Mbak gabung."
Ibu Kasiati mengangguk, lalu duduk di dekat tiang. "Libur kerja, Mbak?"
Ibu Kasiati mengangguk. "Iya, Mbak. Kemarin minta jemput suami karena pusing. Hari ini suruh di rumah dulu. Kalau nggak, jangan kerja sekalian katanya," jelas Kasiati dengan sedikit terkikik.
"Wah. Suaminya perhatian."
"Mbak Sugi bisa saja."
Tidak lama, suara motor berhenti terdengar, terlihat Munik turun dengan tergesa-gesa. "Mbak Matun," panggilnya.
Seperti biasa, setelah duduk Munik akan selalu terengah-engah akibat jalannya yang terlalu cepat dengan keadaan badan yang sebesar itu.
"Santai saja, Mbak Munik. Jangan kayak orang kesurupan begitu jalannya," ucap Ibu Kaisati dengan sedikit menahan senyum.
"Saya ... ya begini ... Mbak Kasiati kalau ... sudah kepo. Nggak bisa di ... tahan. Apalagi kalau ... beritanya ... yang ... hot," ucap Munik dengan napas putus-putus.
"Jangan terlalu hot, Mbak. Nanti kebakar loh," timpal Sugi yang membuat semuanya tertawa.
Munik hanya melirik sinis. Lalu tatapannya berubah penuh senyuman ke arah Matun yang masih mengajak Rio bercanda.
"Mbak Matun," panggil Munik setelah dirasa napasnya sudah teratur. Perempuan tambun itu mendekatkan duduk ke arah Matun.
Matun menoleh. "Iya, Mbak."
"Suami Mbak itu perhatian sekali, ya sama saudaranya." Matun melirik kakak iparnya sebentar lalu kembali memandang Munik.
"Memangnya kenapa, Mbak?" tanya Ibu Kasiati.
"Lah, iya. Orang waktunya istirahat saja, dia masih mau mengantar saudaranya mencari pekerjaan," jelasnya. "Tadi saya ketemu lagi sama Bang Hadi dan saudaranya."
Munik mengambil sesuatu dari saku celana kainnya. Kalau dilihat-lihat, celana itu tampak kekecilan tetapi dipaksakan saat memakai oleh si pemiliknya.
Tidak lama, sebuah ponsel berada di tangannya. "Tadi saya juga sempet mengambil poto mereka loh, Mbak." Terjawab sudah maksud Munik yang mengambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Ini dia." Munik menyodorkan ponselnya di mana di dalam layar terdapat sebuah gambar seorang laki-laki dan perempuan yang sedang berboncengan.
Matun, Sugi dan Kasiati melihat ke dalam ponsel Munik. Tiba-tiba saja tangan Kasiati terangkat menunjuk layar.
"Ini, kan Minjem. Janda gatel desa sebelah."
Part 5. Buah Bibir***Matun duduk di sebuah dengklek kayu di dapurnya, menghadap ke barat dengan pintu dapur yang terbuka menampilkan kebun belakang milik sang kakak.Matanya terasa kosong, pikirannya berkelana ke mana-mana. Apalagi saat mengingat kembali pembicaraan tadi siang di depan rumah kakaknya.Masih diingat jelas setiap penjelasan yang diberikan Ibu Kasiati meninggalkan rasa sakit yang teramat dalam di hatinya."Ini, kan Mijem. Janda gatel desa sebelah." Semua orang yang ada di sana menatap Ibu Kasiati secara bersamaan.Tidak terkecuali Munik yang biang gosip. Lihatlah wajahnya sekarang. Sebuah senyum entah apa artinya terpatri di sana.Melihat tiga wajah di depannya membuat Ibu Kasiati menjadi tidak enak, apalagi pada Matun yang memandang dirinya sendu."Coba deh lihat sini lagi saya pastiin. Nanti saya asal ngomong lagi." Ibu Kasiati mendekati Munik kembali, menatap layar ponsel dengan kening mengerut beberapa kali.
7. Beli Perhiasan***Hadi mengetuk pintu kosan milik Reta. Di minggu pagi ini ia memutuskan untuk mengunjungi kekasihnya itu di tempat tinggalnya.Kekasih.Ya. Dia saat ini sudah gamblang menyebut Reta sebagai kekasihnya. Toh Matun sudah tahu ini.Satu dua kali ketukan belum ada sahutan. Ketukan keempat terdengar seseorang berteriak dari dalam. "Sebentar!" Itu Reta. Senyum Hadi pun terbit begitu saja.Tidak lama, pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dengan rambut basah yang hanya berbalut handuk sebatas dada dan di atas lutut bagian bawah. Melihat itu Hadi bersiul sembari menelisik tubuh sang kekasih dari atas sampai bawah.Sedangkan Reta yang melihat keberadaan Hadi di depan pintu kosannya tentu saja merasa terkejut. "Bang Hadi?" panggilnya."Hai, Sayang.""Masuk-masuk, Bang." Kosan Reta adalah tipikal kos-kosan yang bebas aturan. Laki-laki dan perempuan boleh menghuninya atau sekedar mengunjungi teman di sini.
7. Jangan Bertemu Dulu***Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini. Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib. "Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium. "Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji. "Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa. Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya. Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus
8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."
9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka
10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg