Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?
"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan.
"Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?"
"Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam.
"Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"
Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Prolog. ***"Wah. Uang Abang banyak sekali." Perempuan yang memakai dress di atas lutut berwarna merah menyala itu menatap takjub tumpukan uang di atas meja. Seorang laki-laki yang duduk di samping perempuan itu tersenyum bangga. "Iya, dong, Reta Sayang." "Mana warnanya biru dan merah semua lagi. Nggak ada yang ijo," ucapnya centil. Tangannya memegang tumpukan uang itu lalu mengipaskannya pada wajah. Reta menatap laki-laki di sampingnya. "Abang dapat dari mana uang sebanyak ini?" Mengembuskan asap rokok yang baru dihisapnya ia menjawab, "Mertua Abang baru saja tanahnya kena pelebaran jalan tol. Baru cair tua Bangka itu dan dapat banyak uang." "Kok bisa, Bang? Yang dapat uang, kan mertua Abang?" Laki-laki itu memang mempunyai seorang istri, bahkan dua orang anak. Akan tetapi kelakuannya masih suka keluar dengan
Part 1. Parfum Wanita *** Jam menunjukkan pukul empat. Para pekerja pabrik berbondong-bondong keluar karena sudah waktunya pulang. Termasuk Hadi yang saat ini tengah mengambil motor di parkiran. Sebelum menyalakan mesin motor, ia memeriksa penampilannya pada kaca spion. Sedikit membentuk rambutnya menyerupai jambul ala penyanyi beken Syahrini. "We, Di. Ayo pulang!" Seorang teman menepuk pundaknya, membuat Hadi berjingkat karena terkejut. Hadi menoleh. "Nanti dulu. Mau ngopi dululah." Teman Hadi yang bernama Fairuz itu menggeleng. "Kau ini, pulang kerja bukannya ke rumah nemuin anak istri malah keluyuran. Ngopi di rumah, kan lebih enak. Gratis pula." Hadi mengibaskan tangannya di depan wajah. "Halah. Kau, kan memang suami takut istri," ejek Hadi. "Eh, denger, ya. Kita sebagai laki-laki juga berhak memanjakan diri di luar. Bagaimana? Ikut tidak?" Fairuz menggeleng. Tahu betul apa yang dimaksud Hadi dengan memanjak