Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.
Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.
Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah.
"Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu.
"Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu.
"Sudah
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Prolog. ***"Wah. Uang Abang banyak sekali." Perempuan yang memakai dress di atas lutut berwarna merah menyala itu menatap takjub tumpukan uang di atas meja. Seorang laki-laki yang duduk di samping perempuan itu tersenyum bangga. "Iya, dong, Reta Sayang." "Mana warnanya biru dan merah semua lagi. Nggak ada yang ijo," ucapnya centil. Tangannya memegang tumpukan uang itu lalu mengipaskannya pada wajah. Reta menatap laki-laki di sampingnya. "Abang dapat dari mana uang sebanyak ini?" Mengembuskan asap rokok yang baru dihisapnya ia menjawab, "Mertua Abang baru saja tanahnya kena pelebaran jalan tol. Baru cair tua Bangka itu dan dapat banyak uang." "Kok bisa, Bang? Yang dapat uang, kan mertua Abang?" Laki-laki itu memang mempunyai seorang istri, bahkan dua orang anak. Akan tetapi kelakuannya masih suka keluar dengan
Part 1. Parfum Wanita *** Jam menunjukkan pukul empat. Para pekerja pabrik berbondong-bondong keluar karena sudah waktunya pulang. Termasuk Hadi yang saat ini tengah mengambil motor di parkiran. Sebelum menyalakan mesin motor, ia memeriksa penampilannya pada kaca spion. Sedikit membentuk rambutnya menyerupai jambul ala penyanyi beken Syahrini. "We, Di. Ayo pulang!" Seorang teman menepuk pundaknya, membuat Hadi berjingkat karena terkejut. Hadi menoleh. "Nanti dulu. Mau ngopi dululah." Teman Hadi yang bernama Fairuz itu menggeleng. "Kau ini, pulang kerja bukannya ke rumah nemuin anak istri malah keluyuran. Ngopi di rumah, kan lebih enak. Gratis pula." Hadi mengibaskan tangannya di depan wajah. "Halah. Kau, kan memang suami takut istri," ejek Hadi. "Eh, denger, ya. Kita sebagai laki-laki juga berhak memanjakan diri di luar. Bagaimana? Ikut tidak?" Fairuz menggeleng. Tahu betul apa yang dimaksud Hadi dengan memanjak
Part 2. Formalitas *** "Rio, Sayang," panggil seseorang saat Matun mengajak anak bungsunya bermain di depan rumah. "Main apa, Sayang? Hem?" "Main mobil-mobilan, Tante." Sugi. Kakak ipar Matun datang dengan anak perempuannya. Dalam keluarga Makijan, semua rumah anaknya baris dan saling berdempetan. Dari arah selatan adalah rumahnya, ke utara di sampingnya rumah sang kakak yang bernama Tami, sebelahnya lagi rumah Niswa. Ketiga bangunan itu saling berdempetan. Sebelah utara rumah Niswa ada gang kecil sebagai akses ke belakang di mana orang tua mereka tinggal. Sebelah utara gang kecil itu adalah rumah kakak laki-laki Matun yang bernama Fidun, anak kedua dari Makijan dan suami dari sugi. Matun masih mempunyai kakak perempuan lain, namanya Maria yang kini tinggal bersama suaminya di desa sebelah. Ia juga masih mempunyai adik laki-laki yang bernama Eko—belum menikah dan masih tinggal bersama orang tua mereka. Sug
Part 3. Makan seadanya***Azan subuh berkumandang, semua orang berbondong-bondong ke masjid untuk berjamaah. Sugi, setelah menunaikan salat subuh di rumah, ia pun mengambil uang secukupnya lalu pergi ke warung untuk berbelanja.Bersama adik iparnya Niswa yang juga kebetulan baru keluar dari rumah mereka berangkat. Tidak terlalu jauh. Sebelum sampai di warung, keduanya saling berpandangan kala mendengar suara seseorang yang sudah heboh pagi buta ini."Bukannya itu suara Munik ya, Nis?" tanya Sugi dengan kening mengerut.Nissa mengangguk. "Iya, Mbak. Ngapain ya dia belanja sampe di sini? Padahal di sana, kan juga ada yang jual sayur? Mana kelihatannya heboh banget lagi.""Tahu tuh." Pasalnya, seseorang yang bernama Munik itu berbeda lokasi tinggal dengan mereka. Ibaratnya Sugi dan Niswa di gang satu, maka Munik berada di gang sembilan. Sangat jauh."Pasti ada apa-apa nih, Mbak. Kalau nggak, ngapain itu orang lemes belanja sampe di sini p
Part 4. Mulai berbohong***Sarapan pagi ini Matun memasak udang asam manis. Setelah mengambilkan sarapan suaminya Ia duduk tepat di samping Hadi, memerhatikan laki-laki yang telah menjadi imamnya bertahun-tahun ini sehingga mereka memiliki dua anak."Bang," panggil Matun. Sedangkan Hadi hanya menjawab dengan gumaman saja."Perempuan yang Abang bonceng kapan lalu beneran adik teman Abang?" tanya Matun pelan.Tangan Hadi yang akan menyuapkan sesendok nasi urung kala mendengar pertanyaan istrinya.Hadi menghela napas dalam, ia menurunkan kembali tangannya dengan menatap Matun jengah. "Kemarin, kan Abang sudah jelasin sama kamu. Kok ditanyain lagi?"Matun menggigit bibir bawahnya. "Kemarin ...." perempuan beranak dua itu tampak ragu untuk mengatakan lebih lanjut."Apa?" tanya Hadi dengan suara sedikit tinggi sehingga mengejutkan Matun. "Cepat katakan.""Munik bilang Abang ngakunya saudara Abang." Kekehan Hadi terdengar, mem
Part 5. Buah Bibir***Matun duduk di sebuah dengklek kayu di dapurnya, menghadap ke barat dengan pintu dapur yang terbuka menampilkan kebun belakang milik sang kakak.Matanya terasa kosong, pikirannya berkelana ke mana-mana. Apalagi saat mengingat kembali pembicaraan tadi siang di depan rumah kakaknya.Masih diingat jelas setiap penjelasan yang diberikan Ibu Kasiati meninggalkan rasa sakit yang teramat dalam di hatinya."Ini, kan Mijem. Janda gatel desa sebelah." Semua orang yang ada di sana menatap Ibu Kasiati secara bersamaan.Tidak terkecuali Munik yang biang gosip. Lihatlah wajahnya sekarang. Sebuah senyum entah apa artinya terpatri di sana.Melihat tiga wajah di depannya membuat Ibu Kasiati menjadi tidak enak, apalagi pada Matun yang memandang dirinya sendu."Coba deh lihat sini lagi saya pastiin. Nanti saya asal ngomong lagi." Ibu Kasiati mendekati Munik kembali, menatap layar ponsel dengan kening mengerut beberapa kali.