Part 5. Buah Bibir
***
Matun duduk di sebuah dengklek kayu di dapurnya, menghadap ke barat dengan pintu dapur yang terbuka menampilkan kebun belakang milik sang kakak.
Matanya terasa kosong, pikirannya berkelana ke mana-mana. Apalagi saat mengingat kembali pembicaraan tadi siang di depan rumah kakaknya.
Masih diingat jelas setiap penjelasan yang diberikan Ibu Kasiati meninggalkan rasa sakit yang teramat dalam di hatinya.
"Ini, kan Mijem. Janda gatel desa sebelah." Semua orang yang ada di sana menatap Ibu Kasiati secara bersamaan.
Tidak terkecuali Munik yang biang gosip. Lihatlah wajahnya sekarang. Sebuah senyum entah apa artinya terpatri di sana.
Melihat tiga wajah di depannya membuat Ibu Kasiati menjadi tidak enak, apalagi pada Matun yang memandang dirinya sendu.
"Coba deh lihat sini lagi saya pastiin. Nanti saya asal ngomong lagi." Ibu Kasiati mendekati Munik kembali, menatap layar ponsel dengan kening mengerut beberapa kali.
"Bisa diperbesar nggak, Mbak Munik gambarnya?" tanyanya sambil menghadap pada Munik.
Munik mengangguk semangat. "Bisa." Layar pun diperbesar olehnya.
Ibu Kasiati mencoba untuk melihatnya lagi. "Ah. Ternyata saya salah. Di bawah telinganya tidak ada tahi lalatnya," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.
Tatapan Munik memicing. "Yang bener Mbak Kasiati?" Baru saja Ibu Kasiati ingin menjawab, tetapi urung kala ponsel milik Munik terdengar berbunyi.
"Halo, Mak. Iya, Mak. Munik lupa. Munik ke sana sekarang." Tatapan Munik mengarah pada ketiganya. "Ibu-ibu sekalian, saya harus pergi nih. Emak saya minta jemput di sawah. Maklum sudah tua. Kasihan kalau jalan."
Ketiganya mengangguk, jujur saja hampir dari semua orang suka kalau Munik segera pergi saat mendapat kunjungan ratu gosip itu. Akan tetapi, mereka juga tidak menampik berita yang dibawa Munik selalu menjadi trending topik di desa mereka.
Pandangan Sugi mengarah pada Ibu Kaisati. "Mbak," panggilnya dengan memegangi lutut Ibu Kasiati.
Ibu Kasiati menoleh, Sugi sedikit melirik adik iparnya lalu ke tetangganya kembali. "Embak boleh jujur sekarang," ucap Sugi.
"Jujur? Jujur apa, ya?" tanya Ibu Kasiati. Dari nada bicaranya terdengar kalau perempuan dua anak itu bergetar.
"Saya tahu Ibu Kasiati tadi bohong soal yang dikatakan pada Munik. Sekarang Munik sudah tidak ada, Mbak. Katakan yang sebenarnya pada kami."
Wajah Ibu Kasitai tampak pucat, ia melirik tak enak keberadaan Matun yang masih menggendong Rio. Sugi menyadarinya.
"Katakan saja Mbak Kasiati. Matun berhak untuk tahu yang sebenarnya. Meskipun nanti dia bakal kecewa atau sakit hati."
Sekarang, Ibu Kasiati saling memilin jarinya. "Apa Embak yakin kalau poto yang dilihat tadi adalah poto orang yang Embak maksud?"
Ibu Kasiati mengangguk. "Sebenarnya ... sebenarnya saya yakin kalau perempuan yang ada di poto tadi adalah Minjem. Dulu dia satu pabrik dengan saya di rongsokan. Karena ketahuan memiliki hubungan dengan teman sepabrik, apalagi yang laki-laki sudah punya istri, Minjem dikeluarkan dari pabrik."
Betapa hancurnya hati Matun saat ini setelah mendengar itu semua. "Apa dia punya seorang kakak, Mbak Kasiati?"
Ibu Kasiati mengangguk. Ada sedikit kelegaan di hati Matun. Bisa saja apa yang dikatakan Hadi memang benar adanya kalau perempuan itu adalah teman adiknya yang membutuhkan pertolongan.
"Tapi setahu saya hubungan mereka tidak baik, Mbak. Sejak Minjem ketahuan memiliki hubungan dengan suami orang dan dikeluarkan dari pabrik, kakaknya marah besar. Bahkan Minjem juga diusir dari rumah karena dianggap mempermalukan keluarga."
Mata Matun mendelik seketika. "Sejak saat itu Minjem ngekos, Mbak. Tapi saya nggak tahu kosnya di mana. Terakhir yang saya dengar, dia buka warung kopi di pojokan belakang pabrik keramik depan, Mbak." Terjawab sudah semuanya.
"Apa setelahnya Minjem dan kakaknya memang benar-benar tidak saling akrab kembali?" tanya Sugi yang mengerti pikiran Matun mengenai adik kakak itu.
Ibu Kaisati menggeleng. "Bahkan teman Minjem yang masih berada di pabrik selalu kena marah kalau bertanya soal kabar Minjem."
"Sebentar-sebentar, Mbak. Kakaknya Minjem memangnya kerja di mana?" sela Matun.
"Dia satu pabrik dengan saya, Mbak. Dia bagian operator mesin." Hati Matun semakin hancur mendengarnya. "Maafkan saya, Mbak," ucap Ibu Kasiati tidak enak hati.
Sugi yang tahu kalau adik iparnya masih syok mengambil alih. Ia tersenyum pada Ibu Kasiati. "Untuk apa Embak minta maaf. Justru informasi dari Mbak ini sangat berharga. Bisa membantu kami dalam bertindak ke depannya."
Suara tangis Rio mengejutkan Matun yang sedang melamun. Ia segera berlari ke arah kamar dan menemukan Rio yang sudah terbangun.
"Uh anak Ibu bangun. Pasti haus, ya," ucap Matun pada anaknya. Ia segera memosisikan diri untuk menidurkan anaknya kembali. Masih dengan mata yang menerawang jauh pada jendela kamar yang terbuka.
***
Sugi dan Fidun tengah duduk santai di ruang tamu. Keduanya memerhatikan dua anak mereka yang bermain bersama. Sesaat kemudian Sugi mengingat sesuatu.
Ia menatap sang suami. "Mas," panggilnya. Fidun menoleh dengan gumaman saja.
Melihat wajah sang suami Sugi menggigit bibir bawah. "Ada apa?" tanya Fidun ketika melihat keraguan dari istrinya.
"Mas tahu belum soal Matun dan Hadi?" tanyanya lirih.
Kening Fidun terlipat. "Matun dan Hadi?" tanyanya yang diangguki Sugi. "Memangnya mereka kenapa?"
Sugi semakin bingung sekarang. Haruskan ia yang mengatakan pada sang suami mengenai Hadi yang berkemungkinan selingkuh?
"Ada apa?" tanya Fidun lagi."
Sugi sedikit terkejut. "Itu ... itu. Emmm ... kapan lalu waktu aku mengajak Matun makan bakso, kami tidak sengaja melihat Hadi yang membonceng seorang perempuan. Dan hari ini kami tahu kalau perempuan itu seorang janda. Kemungkinan Hadi selingkuh apa, ya?"
Fidun mengalihkan pandangan, meski tatapannya ke arah sang anak, tetapi pikirannya tidak. Laki-laki itu menghela napas dalam.
"Kok Mas sepertinya biasa saja?"
Fidun kembali menatap istrinya. "Sebenarnya, Mas sudah tahu ini sejak lama."
Mata Sugi membulat. "Oh, ya?" Fidun mengangguk. "Kok aku nggak dikasih tahu?"
Kening Fidun terlipat. "Kenapa mesti kasih tahu kamu?" tanyanya dengan suara canda. "Ah. Pasti mau dibuat bahan gibah."
"Ihh ... enggak," ucap Sugi dengan mencubit paha suaminya.
Fidun terkekeh melihat wajah cemberut sang istri. Ia merangkul istrinya dari samping. "Waktu itu, Mas sedang belanja paku buat benahin kandangnya, Pak sama Eko. Di jalan, kita nggak sengaja lihat Hadi sama perempuan. Kalau dilihat dari sikap mereka, pasti ada sesuatu," ucap Fidun yang mulai bercerita.
Sugi mendongak dalam pelukan suaminya. "Jadi Eko juga sudah tahu." Fidun mengangguk.
"Jadi, apa yang musti kita lakukan, Mas?"
"Kita hanya bisa diam. Bukannya kami tidak peduli sama Matun. Hanya saja, itu adalah masalah rumah tangga mereka. Hal yang di luar batas kami meskipun kami saudaranya Matun. Kecuali kalau Matun sendiri yang meminta kita bertindak."
Sugi menghela napas dalam pelukan suaminya. "Kasihan Matun."
"Kata siapa Mas nggak kasihan? Ya kasihan lah. Bagaimanapun dia, kan adiknya Mas." Sugi terkekeh. "Sudah. Lebih baik kita doakan saja." Sugi mengangguk.
***
Matun yang sedari tadi menunggu suaminya pulang langsung berdiri ketika ia mendengar suara motor yang datang. Ia tahu kalau itu adalah suara motor Hadi.
Tepat ketika suaminya berada di ambang pintu masuk, ia semakin mendekat dan bertanya tanpa babibu. "Bang. Siapa perempuan itu?" tanya Matun dengan berbisik namun penuh penekanan.
Bagaimanapun ia tidak ingin didengar kakak-kakaknya mengingat rumah mereka yang saling menyatu.
Hadi menghela napas kasar. "Perempuan mana lagi?" Suara laki-laki itu terdengar jengah.
"Perempuan yang kamu bonceng kapan lalu. Yang aku lihat kapan lalu."
"Kan sudah aku jelaskan siapa dia. Dia adik temanku, sedang membutuhkan pertolongan."
Matun tersenyum mengejek. "Meminta pertolongan?"
"Iyalah."
"Wajar kah kalau minta pertolongan kamu sampai harus membantunya di saat jam istirahat kerja?"
Kening Hadi terlipat. Merasa heran apa maksud suaminya. "Heran? Kamu heran, Bang? Munik melihat semuanya."
"Munik lagi Munik lagi. Sudah dibilang kalau dia biang gosip. Masih saja dipercaya. Tuduhan dia tuh nggak mendasar. Cuma suka lihat orang lain ribut." Hadi menatap marah sang istri.
"Sudahlah. Aku lelah pulang kerja. Bukannya disambut malah diajak bertengkar." Baru saja Hadi ingin berlalu dari sana, tetapi urung kala Matun kembali membuka suara.
"Dia janda desa sebelah, kan, Bang? Pemilik warung kopi di pojokan belakang pabrik?"
Hadi sempat mematung, tetapi ia kembali ke sikap biasa. Menoleh, Hadi menatap Matun dengan senyum meremehkan.
"Jadi kamu sudah tahu?" Tidak ada jawaban dari Matun. "Baiklah. Akan Abang jelaskan siapa dia."
Hadi mendekati Matun. "Dia adalah Reta. Janda bohai yang cantik dan wangi. Dia selalu menemani Abang kalau Abang sedang suntuk dan kesepian," ucap Hadi tidak takut dan tidak tahu malu.
Mata Sugi melotot seketika. "Jadi bener, Bang kamu selingkuh?"
"Aku nggak selingkuh," bantah Hadi. "Anggap saja aku hanya mencari kesenangan di luar." Matun tidak menyangka dengan jawaban sang suami.
"Sudahlah. Aku mau mandi dulu. Gerah." Setelahnya, Hadi pun berlalu, meninggalkan Matun yang sudah menangis di depan pintu.
***7. Beli Perhiasan***Hadi mengetuk pintu kosan milik Reta. Di minggu pagi ini ia memutuskan untuk mengunjungi kekasihnya itu di tempat tinggalnya.Kekasih.Ya. Dia saat ini sudah gamblang menyebut Reta sebagai kekasihnya. Toh Matun sudah tahu ini.Satu dua kali ketukan belum ada sahutan. Ketukan keempat terdengar seseorang berteriak dari dalam. "Sebentar!" Itu Reta. Senyum Hadi pun terbit begitu saja.Tidak lama, pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dengan rambut basah yang hanya berbalut handuk sebatas dada dan di atas lutut bagian bawah. Melihat itu Hadi bersiul sembari menelisik tubuh sang kekasih dari atas sampai bawah.Sedangkan Reta yang melihat keberadaan Hadi di depan pintu kosannya tentu saja merasa terkejut. "Bang Hadi?" panggilnya."Hai, Sayang.""Masuk-masuk, Bang." Kosan Reta adalah tipikal kos-kosan yang bebas aturan. Laki-laki dan perempuan boleh menghuninya atau sekedar mengunjungi teman di sini.
7. Jangan Bertemu Dulu***Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini. Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib. "Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium. "Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji. "Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa. Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya. Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus
8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."
9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka
10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik
13. Anak Jadi Korban***Matun memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Munik. Keduanya baru saja menjual gelang kaki yang sebelumnya dia rampas dari perempuan bernama Reta. Hal itu dilakukan atas rasa terima kasih Matun pada ratu gosip di desa ini.Bola mata lebar milik Munik terlihat bahagia melihat lembaran-lembaran uang yang ada di tangannya, lalu beralih menatap Matun dengan senyum lebar."Aduh, Mbak. Ini banyak banget," ucap Munik bahagia.Matun tersenyum, ia memegang tangan Munik seraya berkata, " Ini tidak ada apa-apanya dengan bantuan Mbak Munik hari ini. Saya benar-benar berterima kasih soal itu.""Ah, Mbak Matun bisa aja. Sesama kita musti saling bantu, Mbak.""Sekali lagi saya berterima kasih, Mbak Munik," ucap Matun."Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Mbak." Matun hanya mengangguk. Keduanya terpisah dengan Munik yang pulang ke rumahnya."Sudah pulang, Tun?" Matun menoleh ketika mendengar