7. Jangan Bertemu Dulu
***Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini.Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib.
"Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium.
"Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji.
"Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa.
Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya.
Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus seraya berkata, "Beda sekali sama Reta. Kalau Reta, aku baru sampai saja dia sudah berinisiatif membuatkan minum. Lah ini, malah ditanya uang dulu. Nggak tahu apa kalau aku capek habis jalan-jalan sama Reta?"
Hadi menepuk mulutnya pelan, ia melirik ke arah dalam rumah. Takut-takut Matun mendengar ucapannya. Bisa berbahaya nanti. "Untung nggak denger," ucapnya ketika melihat Matun dari ruang tamu. Terlihat jelas istrinya itu masih berkutat di depan kompor.
"Aman-aman." Hadi menyandarkan tubuh pada kursi, memejamkan mata menunggu Matun membawakan air minum.
"Ini, Bang." Duduk di kursi sebelah suaminya, Matun memerhatikan Hadi yang tampak kehausan.
"Haus amat, Bang sepertinya," ucap Matun yang mengambil alih gelas kosong dari tangan Hadi.
"Iya. Capek."
"Habis ngapain emang, Bang?"
"Ikutan temen mancing. Seru juga ternyata." Hadi merogoh saku celana bagian belakang.
Matun yang melihat itu menerbitkan senyum semakin lebar. Tatapan matanya mengisyaratkan ia sudah tidak sabar. Maklum. Perempuan yang hanya mengandalkan dan menunggu suaminya gajian.
Matun bahkan sempat menegakkan tubuh saat Hadi membuka dompetnya. "Nih. Gaji bulan ini." Hadi mengulurkan uang pecahan seratus ribuan dan lima puluh ribuan.
Matun menerima dengan senyum mengembang. Jari-jarinya tampak lihai menghitung lembar demi lembar uang yang ada di tangan.
Namun, senyumnya hilang ketika mendapati jumlah uang yang tidak sepadan dengan gaji yang didapat suaminya. "Kok cuma segini, Bang?" tanya Matun.
"Emang maunya berapa?"
"Gaji Abang, kan empat juta tiga ratus tiga puluh simbilan ribu."
"Lah ini aku ambil dua ratus buat peganganku," ucap Hadi sembari membuka lagi dompetnya dan memperlihatkan isinya pada Matun.
"Kalau gitu, kan harusnya masih sisa empat juta seratus sembilan puluh tiga ribu. Kok ini cuma dua juta sembilan ratus enam puluh delapan ribu? Masih kurang ...."
Matun menggerakkan jarinya dengan bibir berkomat-kamit. "Satu juta dua ratus dua puluh lima ribu, Bang." Rupanya Matun tengah menghitung.
Bisa secepat itu, ya? Ah. Perempuan dan uang.
Hadi mengembuskan napas kasar. "Satu juta lebih aku buat bayar hutang. Aku ada hutang sejuta sama rentenir pabrik. Kalau nggak dibayar sekalian, bisa beranak pinak nanti."
Wajah Matun terkejut tentu saja. "Abang punya utang?" Hadi mengangguk. "Buat apa, Bang?"
"Ya buat makanlah pas kerja. Kamu pikir dua ratus ini cukup buatku sebulan?"
"Tapi, kan bensin sama rokok udah dari Matun, Bang?"
"Ya tetep aja kurang," bantah Hadi. "Aku musti bayarin temen kalau ngajak makan. Bayarin kopi kalau ngajak ngopi. Apalagi kalau taruhan bola dan aku kalah, ya buat bayar denda lah."
Matun menatap tidak percaya suaminya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala. "Bang. Kalau kayak gini mana cukup untuk sebulan."
"Udah," potong Hadi. Laki-laki itu bangkit dari duduknya yang membuat Matun harus mendongak. "Cukup nggak cukup harus cukup." Setelahnya ia pergi memasuki kamar.
Matun hanya bisa meremas uang yang ada di tangan. "Bagaimana ini cukup dengan selera Abang yang tidak suka makan tempe sama tahu?" tanyanya lirih
***
"Apa?"
Pak Yunus, Ibu Kasiati dan Munik menoleh ke asal suara. Mereka cukup terkejut dengan kehadiran Matun dan juga Sugi yang berdiri membelakangi mereka dengan terkejut.
Sebenarnya tidak terlalu terkejut juga, karena mereka pun sudah menduga akan hal ini. Hanya saja, mendengar dari mulut orang terasa lebih menyakitkan.
"E e, Mbak Matun, Mbak Sugi. Dari mana? Sini, Mbak duduk," ucap Ibu Kasiati menawarkan dengan wajah tidak enak hati karena pembicaraan mereka beberapa saat lalu.
Tanpa kata, Matun berlalu dari sana tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Mendekap Rio dengan mata yang sudah beriak.
"Matun," panggil Sugi. Perempuan itu menatap ketiga orang yang ia lewati. "Saya pulang dulu, ya, Pak, Bu." Setelahnya ia pun turut berlalu.
"Aduh. Bagaimana ini, Mas? Mereka mendengar pembicaraan kita. Nggak enak aku," ucap Kasiati gelisah. Tidak dipungkiri kalau jantungnya berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya.
"Mau bagaimana lagi, Dek. Toh kita juga nggak ngomongin kebohongan. Kenyataan. Mau serapat apa pun Hadi menyimpannya, lama-lama keluarganya juga bakal tahu," ucap Pak Yunus sembari mengelus pundak sang istri.
"Iya. Betul itu Mbak Kasiati," timpal Munik.
Di sisi lain, Sugi masih mengejar Matun yang terus berlari ke arah rumah. "Matun. Jangan lari. Kamu, kan bawa Rio!" teriak Sugi ketika melihat adik iparnya itu menaiki tangga rumah yang licin.
Niswa yang kebetulan libur mendengar teriakan kakak iparnya itu langsung keluar dari rumah. "Ada apa sih, Mbak. Kok teriak-teriak?" tanya Niswa di ambang pintu.
Sugi berhenti. "Matun, Nis," ucap Sugi menunjuk rumah Matun.
"Ada apa sama Matun, Mbak?"
"Ayolah sana." Tanpa babibu keduanya berlari ke arah rumah Matun. Terlihat Rio yang diletakkan begitu saja di kamar pada kasur dan dibiarkan menangis.
"Ya Alloh, Matun," Sugi berlari ke arah Rio yang menangis histeris, segera menggendong tubuh bocah cilik itu yang sudah terlihat merah.
"Di mana Matun, Mbak?" tanya Niswa.
"Coba cari di belakang, Nis. Takutnya dia ngelakuin hal yang aneh-aneh." Niswa mengangguk dan dia segera mencari adiknya itu.
"Matun," panggilnya ketika memasuki dapur. Namun, tidak ada keberadaan Matun.
Akan tetapi, suara tangis dari arah belakang rumah membuat Niswa cepat-cepat mendekat. Terlihat bilik mandi yang pintunya terbuka.
"Matun," panggilnya khawatir. Niswa menuruni bebatuan untuk mencapai bilik kamar mandi. Memasukinya dan melihat Matun yang sudah basah kuyup dengan gayung yang berada di bawah.
"Astagfirulloh, Matun. Kamu ini kenapa?" Niswa mendekati Matun, menyingkirkan rambut yang menutupi wajah. "Istigfar, Tun. Istigfar."
Niswa memegang pundak Matun. "Ayo, Tun. Kita keringkan tubuh kamu dulu." Tanpa kata Matun menuruti Niswa.
Niswa mengantar Matun ke kamarnya, membiarkan adiknya itu untuk mengganti baju. "Kenapa bisa basah gitu?" tanya Sugi ketika Niswa menutup pintu kamar Matun. Rio sudah tampak tenang dalam gendongannya.
"Sepertinya dia mengguyur tubuhnya sendiri, Mbak." Sugi menghela napas dalam yang membuat Niswa menatap penasaran. "Sebenarnya ada apa sih, Mbak?"
"Tadi kita nggak sengaja dengar pembicaraan Mas Yunus sama Mbak Kasiati. Soal Hadi sama perempuan yang beberapa waktu ini jadi pikiran Matun. Dan yang kita tangkap dari pembicaraan itu kalau Hadi dan perempuan itu sudah menjadi rahasia umum di pabrik memiliki hubungan."
Terlihat jelas wajah terkejut dari Niswa. "Kok bisa sih, Mbak?"
"Sebenarnya Embak juga sudah duga, sih. Sejak nggak sengaja lihat waktu itu, Embak menanyakan sama Mas Fidun. Katanya, Mas Fidun sama Eko juga pernah melihat mereka bersama."
"Terus Mas Fidun sama Eko nggak ngapa-ngapain si Hadi, Mbak?" tanya Niswa yang mulai tersulut emosi mendengar penjelasan kakak iparnya.
"Kata Mas Fidun itu bukan urusan kita meskipun Niswa keluarga kita. Karena ranahnya, kan itu urusan keluarga Matun dan Hadi. Kita nggak bisa ikut campur kecuali Matun meminta bantuan kakak-kakaknya," jelas Sugi.
Jujur saja Niswa tidak puas dengan jawaban itu. Hanya saja mau bagaimana lagi. "Kalau aku sudah aku usir dari sini, Mbak." Sugi terkekeh melihat adik iparnya yang ia yakin sudah merasa jengkel.
Suara pintu terdengar terbuka, Niswa dan Sugi melihat Matun yang sudah mengganti pakaiannya. Tatapannya tampak kosong, melangkah lunglai ke arah ranjang di dekat jendela dan duduk di sana.
Memandang kosong ke arah luar jendela. Niswa dan Sugi saling bertukar tatapan, lalu keduanya mendekati Matun setelah Sugi membaringkan Rio yang tertidur di atas ranjang.
"Tun," panggil Sugi pelan. Ia duduk di samping adik iparnya.
"Dugaan Matun benar, Mbak. Bang Hadi punya hubungan sama perempuan itu," ucap Matun dengan suara lirih.
"Terus putusan kamu sekarang bagaimana?" tanya Niswa.
"Matun nggak tahu harus apa, Mbak?" Hening sesaat. Baik Niswa dan Sugi pun tampak bingung harus mengatakan apa.
"Mbak. Matun ingin sendiri dulu." Mengerti maksud dari adik mereka, Niswa dan Sugi pun mengangguk.
"Cari kami kalau ada apa-apa." Matun hanya mengangguk tanpa menoleh. Kedua perempuan itu pun segera berlalu dari sana.
Pikiran Matun berkelana memikirkan segala hal. Pengkhianatan suaminya tentu saja meninggalkan sakit dalam hati. Lalu, apakah mereka harus berpisah mengingat hubungan tidak lagi bisa jujur?
Pandangan Matun jatuh pada anaknya Rio yang sudah tertidur, ia menatap wajah polos itu lamat-lamat. Berpikir bagaimana nasib anak-anaknya kalau ia berpisah dari Hadi?
Hello. Apa kabar kalian? Semoga sehat selalu, yes. Ada yang mengikuti cerita ini. Yuk kita bum up
8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."
9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka
10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik
13. Anak Jadi Korban***Matun memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Munik. Keduanya baru saja menjual gelang kaki yang sebelumnya dia rampas dari perempuan bernama Reta. Hal itu dilakukan atas rasa terima kasih Matun pada ratu gosip di desa ini.Bola mata lebar milik Munik terlihat bahagia melihat lembaran-lembaran uang yang ada di tangannya, lalu beralih menatap Matun dengan senyum lebar."Aduh, Mbak. Ini banyak banget," ucap Munik bahagia.Matun tersenyum, ia memegang tangan Munik seraya berkata, " Ini tidak ada apa-apanya dengan bantuan Mbak Munik hari ini. Saya benar-benar berterima kasih soal itu.""Ah, Mbak Matun bisa aja. Sesama kita musti saling bantu, Mbak.""Sekali lagi saya berterima kasih, Mbak Munik," ucap Matun."Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Mbak." Matun hanya mengangguk. Keduanya terpisah dengan Munik yang pulang ke rumahnya."Sudah pulang, Tun?" Matun menoleh ketika mendengar
14. Pesan Ranjang***"Terima kasih, Pak." Matun mengucapkan itu pada seorang satpam yang telah mengantarkan dirinya ke ruangan yang dulu pernah ia kunjungi bersama Munik untuk mengajukan keluhan mengenai suaminya.Hanya saja, kali ini bedanya pada satpam yang mengantar. Kali ini pria berseragam itu terlihat lebih muda dengan tubuh yang kurus."Ibu tunggu di sini dulu. Saya akan panggilkan Pak Anton," ucap satpam itu yang dia ketahui bernama Diman.Matun mengangguk, lalu duduk ketika laki-laki di hadapannya berlalu pergi pada pintu yang ia ketahui dulu mungkin adalah ruangan sang atasan.Kali ini berbeda dengan dulu. Jika dulu dia dan Munik merasa ketakutan, tidak untuk saat ini. Rasa gugup memang ada, tetapi hanya dengan menarik napas dalam ia merasa tenang.Matun seperti siap untuk melakukan peperangan. Dalam hati ia tertawa. Entah pepe
15. Hak Istri***PrangBunyi pecahan piring menggema di depan Tivi ruang tamu rumah Matun. Perempuan itu baru saja selesai berbenah membersihkan rumahnya, beristirahat guna mengisi perutnya yang terasa lapar.Baru saja tangan kanan terangkat akan memasukkan sesuap nasi ke mulut, tiba-tiba saja Hadi datang dan menepis piring makanan yang ada di tangannya. Matun mendongak, menatap suaminya yang berdiri dengan dada naik turun juga tatapan garang."Abang ini kenapa, sih?" tanya Matun. Ia menatap Hadi bergantian dengan piring di mana nasinya sudah tercecer di lantai."Kamu yang ada apa?" ucap Jadi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tetapi setiap kata yang penuh penekanan menandakan bahwa pria itu benar-benar tengah marah besar.Pasti ini semua mengenai gaji yang didapat Matun. Bersikap biasa, Matun menaikkan alisnya salah satu. "Abang ngomong apa? Kok nggak jelas banget." Perempuan dengan daster ungu itu bangkit, mendekati pecahan