Beranda / Romansa / Suami Tak Ada Akhlak / 7. Jangan Bertemu Dulu

Share

7. Jangan Bertemu Dulu

Penulis: Evie Edha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

 7. Jangan Bertemu Dulu

***

Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini.

Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib.

"Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium.

"Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji.

"Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa.

Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya.

Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus seraya berkata, "Beda sekali sama Reta. Kalau Reta, aku baru sampai saja dia sudah berinisiatif membuatkan minum. Lah ini, malah ditanya uang dulu. Nggak tahu apa kalau aku capek habis jalan-jalan sama Reta?"

Hadi menepuk mulutnya pelan, ia melirik ke arah dalam rumah. Takut-takut Matun mendengar ucapannya. Bisa berbahaya nanti. "Untung nggak denger," ucapnya ketika melihat Matun dari ruang tamu. Terlihat jelas istrinya itu masih berkutat di depan kompor.

"Aman-aman." Hadi menyandarkan tubuh pada kursi, memejamkan mata menunggu Matun membawakan air minum.

"Ini, Bang." Duduk di kursi sebelah suaminya, Matun memerhatikan Hadi yang tampak kehausan. 

"Haus amat, Bang sepertinya," ucap Matun yang mengambil alih gelas kosong dari tangan Hadi.

"Iya. Capek."

"Habis ngapain emang, Bang?"

"Ikutan temen mancing. Seru juga ternyata." Hadi merogoh saku celana bagian  belakang.

Matun yang melihat itu menerbitkan senyum semakin lebar. Tatapan matanya mengisyaratkan ia sudah tidak sabar. Maklum. Perempuan yang hanya mengandalkan dan menunggu suaminya gajian.

Matun bahkan sempat menegakkan tubuh saat Hadi membuka dompetnya. "Nih. Gaji bulan ini." Hadi mengulurkan uang pecahan seratus ribuan dan lima puluh ribuan.

Matun menerima dengan senyum mengembang. Jari-jarinya tampak lihai menghitung lembar demi lembar uang yang ada di tangan.

Namun, senyumnya hilang ketika mendapati jumlah uang yang tidak sepadan dengan gaji yang didapat suaminya. "Kok cuma segini, Bang?" tanya Matun.

"Emang maunya berapa?"

"Gaji Abang, kan empat juta tiga ratus tiga puluh simbilan ribu."

"Lah ini aku ambil dua ratus buat peganganku," ucap Hadi sembari membuka lagi dompetnya dan memperlihatkan isinya pada Matun.

"Kalau gitu, kan harusnya masih sisa empat juta seratus sembilan puluh tiga ribu. Kok ini cuma dua juta sembilan ratus enam puluh delapan ribu? Masih kurang ...."

Matun menggerakkan jarinya dengan bibir berkomat-kamit. "Satu juta dua ratus dua puluh lima ribu, Bang." Rupanya Matun tengah menghitung.

Bisa secepat itu, ya? Ah. Perempuan dan uang.

Hadi mengembuskan napas kasar. "Satu juta lebih aku buat bayar hutang. Aku ada hutang sejuta sama rentenir pabrik. Kalau nggak dibayar sekalian, bisa beranak pinak nanti."

Wajah Matun terkejut tentu saja. "Abang punya utang?" Hadi mengangguk. "Buat apa, Bang?"

"Ya buat makanlah pas kerja. Kamu pikir dua ratus ini cukup buatku sebulan?"

"Tapi, kan bensin sama rokok udah dari Matun, Bang?"

"Ya tetep aja kurang," bantah Hadi. "Aku musti bayarin temen kalau ngajak makan. Bayarin kopi kalau ngajak ngopi. Apalagi kalau taruhan bola dan aku kalah, ya buat bayar denda lah."

Matun menatap tidak percaya suaminya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala. "Bang. Kalau kayak gini mana cukup untuk sebulan."

"Udah," potong Hadi. Laki-laki itu bangkit dari duduknya yang membuat Matun harus mendongak. "Cukup nggak cukup harus cukup." Setelahnya ia pergi memasuki kamar.

Matun hanya bisa meremas uang yang ada di tangan. "Bagaimana ini cukup dengan selera Abang yang tidak suka makan tempe sama tahu?" tanyanya lirih

***

"Apa?"

Pak Yunus, Ibu Kasiati dan Munik menoleh ke asal suara. Mereka cukup terkejut dengan kehadiran Matun dan juga Sugi yang berdiri membelakangi mereka dengan terkejut.

Sebenarnya tidak terlalu terkejut juga, karena mereka pun sudah menduga akan hal ini. Hanya saja, mendengar dari mulut orang terasa lebih menyakitkan.

"E e, Mbak Matun, Mbak Sugi. Dari mana? Sini, Mbak duduk," ucap Ibu Kasiati menawarkan dengan wajah tidak enak hati karena pembicaraan mereka beberapa saat lalu.

Tanpa kata, Matun berlalu dari sana tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Mendekap Rio dengan mata yang sudah beriak.

"Matun," panggil Sugi. Perempuan itu menatap ketiga orang yang ia lewati. "Saya pulang dulu, ya, Pak, Bu." Setelahnya ia pun turut berlalu.

"Aduh. Bagaimana ini, Mas? Mereka mendengar pembicaraan kita. Nggak enak aku," ucap Kasiati gelisah. Tidak dipungkiri kalau jantungnya berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya.

"Mau bagaimana lagi, Dek. Toh kita juga nggak ngomongin kebohongan. Kenyataan. Mau serapat apa pun Hadi menyimpannya, lama-lama keluarganya juga bakal tahu," ucap Pak Yunus sembari mengelus pundak sang istri.

"Iya. Betul itu Mbak Kasiati," timpal Munik.

Di sisi lain, Sugi masih mengejar Matun yang terus berlari ke arah rumah. "Matun. Jangan lari. Kamu, kan bawa Rio!" teriak Sugi ketika melihat adik iparnya itu menaiki tangga rumah yang licin.

Niswa yang kebetulan libur mendengar teriakan kakak iparnya itu langsung keluar dari rumah. "Ada apa sih, Mbak. Kok teriak-teriak?" tanya Niswa di ambang pintu.

Sugi berhenti. "Matun, Nis," ucap Sugi menunjuk rumah Matun.

"Ada apa sama Matun, Mbak?"

"Ayolah sana." Tanpa babibu keduanya berlari ke arah rumah Matun. Terlihat Rio yang diletakkan begitu saja di kamar pada kasur dan dibiarkan menangis.

"Ya Alloh, Matun," Sugi berlari ke arah Rio yang menangis histeris, segera menggendong tubuh bocah cilik itu yang sudah terlihat merah.

"Di mana Matun, Mbak?" tanya Niswa.

"Coba cari di belakang, Nis. Takutnya dia ngelakuin hal yang aneh-aneh." Niswa mengangguk dan dia segera mencari adiknya itu.

"Matun," panggilnya ketika memasuki dapur. Namun, tidak ada keberadaan Matun.

Akan tetapi, suara tangis dari arah belakang rumah membuat Niswa cepat-cepat mendekat. Terlihat bilik mandi yang pintunya terbuka.

"Matun," panggilnya khawatir. Niswa menuruni bebatuan untuk mencapai bilik kamar mandi. Memasukinya dan melihat Matun yang sudah basah kuyup dengan gayung yang berada di bawah.

"Astagfirulloh, Matun. Kamu ini kenapa?" Niswa mendekati Matun, menyingkirkan rambut yang menutupi wajah. "Istigfar, Tun. Istigfar."

Niswa memegang pundak Matun. "Ayo, Tun. Kita keringkan tubuh kamu dulu." Tanpa kata Matun menuruti Niswa.

Niswa mengantar Matun ke kamarnya, membiarkan adiknya itu untuk mengganti baju. "Kenapa bisa basah gitu?" tanya Sugi ketika Niswa menutup pintu kamar Matun. Rio sudah tampak tenang dalam gendongannya.

"Sepertinya dia mengguyur tubuhnya sendiri, Mbak." Sugi menghela napas dalam yang membuat Niswa menatap penasaran. "Sebenarnya ada apa sih, Mbak?"

"Tadi kita nggak sengaja dengar pembicaraan Mas Yunus sama Mbak Kasiati. Soal Hadi sama perempuan yang beberapa waktu ini jadi pikiran Matun. Dan yang kita tangkap dari pembicaraan itu kalau Hadi dan perempuan itu sudah menjadi rahasia umum di pabrik memiliki hubungan."

Terlihat jelas wajah terkejut dari Niswa. "Kok bisa sih, Mbak?"

"Sebenarnya Embak juga sudah duga, sih. Sejak nggak sengaja lihat waktu itu, Embak menanyakan sama Mas Fidun. Katanya, Mas Fidun sama Eko juga pernah melihat mereka bersama."

"Terus Mas Fidun sama Eko nggak ngapa-ngapain si Hadi, Mbak?" tanya Niswa yang mulai tersulut emosi mendengar penjelasan kakak iparnya.

"Kata Mas Fidun itu bukan urusan kita meskipun Niswa keluarga kita. Karena ranahnya, kan itu urusan keluarga Matun dan Hadi. Kita nggak bisa ikut campur kecuali Matun meminta bantuan kakak-kakaknya," jelas Sugi.

Jujur saja Niswa tidak puas dengan jawaban itu. Hanya saja mau bagaimana lagi. "Kalau aku sudah aku usir dari sini, Mbak." Sugi terkekeh melihat adik iparnya yang ia yakin sudah merasa jengkel.

Suara pintu terdengar terbuka, Niswa dan Sugi melihat Matun yang sudah mengganti pakaiannya. Tatapannya tampak kosong, melangkah lunglai ke arah ranjang di dekat jendela dan duduk di sana.

Memandang kosong ke arah luar jendela. Niswa dan Sugi saling bertukar tatapan, lalu keduanya mendekati Matun setelah Sugi membaringkan Rio yang tertidur di atas ranjang.

"Tun," panggil Sugi pelan. Ia duduk di samping adik iparnya.

"Dugaan Matun benar, Mbak. Bang Hadi punya hubungan sama perempuan itu," ucap Matun dengan suara lirih.

"Terus putusan kamu sekarang bagaimana?" tanya Niswa.

"Matun nggak tahu harus apa, Mbak?" Hening sesaat. Baik Niswa dan Sugi pun tampak bingung harus mengatakan apa.

"Mbak. Matun ingin sendiri dulu." Mengerti maksud dari adik mereka, Niswa dan Sugi pun mengangguk.

"Cari kami kalau ada apa-apa." Matun hanya mengangguk tanpa menoleh. Kedua perempuan itu pun segera berlalu dari sana.

Pikiran Matun berkelana memikirkan segala hal. Pengkhianatan suaminya tentu saja meninggalkan sakit dalam hati. Lalu, apakah mereka harus berpisah mengingat hubungan tidak lagi bisa jujur?

Pandangan Matun jatuh pada anaknya Rio yang sudah tertidur, ia menatap wajah polos itu lamat-lamat. Berpikir bagaimana nasib anak-anaknya kalau ia berpisah dari Hadi?

Evie Edha

Hello. Apa kabar kalian? Semoga sehat selalu, yes. Ada yang mengikuti cerita ini. Yuk kita bum up

| Sukai

Bab terkait

  • Suami Tak Ada Akhlak   8. Janda Gatel

    8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."

  • Suami Tak Ada Akhlak   9. Janda Bohai

    9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka

  • Suami Tak Ada Akhlak   10. Tutup Mulut

    10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu

  • Suami Tak Ada Akhlak   11. Gajinya Kok Segini

    11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m

  • Suami Tak Ada Akhlak   12. Ingin Berpisah

    12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik

  • Suami Tak Ada Akhlak   13. Anak Jadi Korban

    13. Anak Jadi Korban***Matun memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Munik. Keduanya baru saja menjual gelang kaki yang sebelumnya dia rampas dari perempuan bernama Reta. Hal itu dilakukan atas rasa terima kasih Matun pada ratu gosip di desa ini.Bola mata lebar milik Munik terlihat bahagia melihat lembaran-lembaran uang yang ada di tangannya, lalu beralih menatap Matun dengan senyum lebar."Aduh, Mbak. Ini banyak banget," ucap Munik bahagia.Matun tersenyum, ia memegang tangan Munik seraya berkata, " Ini tidak ada apa-apanya dengan bantuan Mbak Munik hari ini. Saya benar-benar berterima kasih soal itu.""Ah, Mbak Matun bisa aja. Sesama kita musti saling bantu, Mbak.""Sekali lagi saya berterima kasih, Mbak Munik," ucap Matun."Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Mbak." Matun hanya mengangguk. Keduanya terpisah dengan Munik yang pulang ke rumahnya."Sudah pulang, Tun?" Matun menoleh ketika mendengar

  • Suami Tak Ada Akhlak   14. Pesan Ranjang

    14. Pesan Ranjang***"Terima kasih, Pak." Matun mengucapkan itu pada seorang satpam yang telah mengantarkan dirinya ke ruangan yang dulu pernah ia kunjungi bersama Munik untuk mengajukan keluhan mengenai suaminya.Hanya saja, kali ini bedanya pada satpam yang mengantar. Kali ini pria berseragam itu terlihat lebih muda dengan tubuh yang kurus."Ibu tunggu di sini dulu. Saya akan panggilkan Pak Anton," ucap satpam itu yang dia ketahui bernama Diman.Matun mengangguk, lalu duduk ketika laki-laki di hadapannya berlalu pergi pada pintu yang ia ketahui dulu mungkin adalah ruangan sang atasan.Kali ini berbeda dengan dulu. Jika dulu dia dan Munik merasa ketakutan, tidak untuk saat ini. Rasa gugup memang ada, tetapi hanya dengan menarik napas dalam ia merasa tenang.Matun seperti siap untuk melakukan peperangan. Dalam hati ia tertawa. Entah pepe

  • Suami Tak Ada Akhlak   15. Hak Istri

    15. Hak Istri***PrangBunyi pecahan piring menggema di depan Tivi ruang tamu rumah Matun. Perempuan itu baru saja selesai berbenah membersihkan rumahnya, beristirahat guna mengisi perutnya yang terasa lapar.Baru saja tangan kanan terangkat akan memasukkan sesuap nasi ke mulut, tiba-tiba saja Hadi datang dan menepis piring makanan yang ada di tangannya. Matun mendongak, menatap suaminya yang berdiri dengan dada naik turun juga tatapan garang."Abang ini kenapa, sih?" tanya Matun. Ia menatap Hadi bergantian dengan piring di mana nasinya sudah tercecer di lantai."Kamu yang ada apa?" ucap Jadi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tetapi setiap kata yang penuh penekanan menandakan bahwa pria itu benar-benar tengah marah besar.Pasti ini semua mengenai gaji yang didapat Matun. Bersikap biasa, Matun menaikkan alisnya salah satu. "Abang ngomong apa? Kok nggak jelas banget." Perempuan dengan daster ungu itu bangkit, mendekati pecahan

Bab terbaru

  • Suami Tak Ada Akhlak   78. Berakhir

    Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin

  • Suami Tak Ada Akhlak   77. Pemakaman

    Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik

  • Suami Tak Ada Akhlak   76. Kabar Duka

    Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah

  • Suami Tak Ada Akhlak   75. Membuntuti Reta

    Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo

  • Suami Tak Ada Akhlak   74. Dipecat

    Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang

  • Suami Tak Ada Akhlak   73. Mengusir Hadi

    Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan

  • Suami Tak Ada Akhlak   72. Matur Mau Pisah

    Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan

  • Suami Tak Ada Akhlak   71. Diarak

    "Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.

  • Suami Tak Ada Akhlak   70. Mencari Hadi dan Reta

    Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg

DMCA.com Protection Status