10. Tutup Mulut
***
Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.
Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung.
"Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.
Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya.
"Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.
Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang."
"Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."
Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik
13. Anak Jadi Korban***Matun memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Munik. Keduanya baru saja menjual gelang kaki yang sebelumnya dia rampas dari perempuan bernama Reta. Hal itu dilakukan atas rasa terima kasih Matun pada ratu gosip di desa ini.Bola mata lebar milik Munik terlihat bahagia melihat lembaran-lembaran uang yang ada di tangannya, lalu beralih menatap Matun dengan senyum lebar."Aduh, Mbak. Ini banyak banget," ucap Munik bahagia.Matun tersenyum, ia memegang tangan Munik seraya berkata, " Ini tidak ada apa-apanya dengan bantuan Mbak Munik hari ini. Saya benar-benar berterima kasih soal itu.""Ah, Mbak Matun bisa aja. Sesama kita musti saling bantu, Mbak.""Sekali lagi saya berterima kasih, Mbak Munik," ucap Matun."Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Mbak." Matun hanya mengangguk. Keduanya terpisah dengan Munik yang pulang ke rumahnya."Sudah pulang, Tun?" Matun menoleh ketika mendengar
14. Pesan Ranjang***"Terima kasih, Pak." Matun mengucapkan itu pada seorang satpam yang telah mengantarkan dirinya ke ruangan yang dulu pernah ia kunjungi bersama Munik untuk mengajukan keluhan mengenai suaminya.Hanya saja, kali ini bedanya pada satpam yang mengantar. Kali ini pria berseragam itu terlihat lebih muda dengan tubuh yang kurus."Ibu tunggu di sini dulu. Saya akan panggilkan Pak Anton," ucap satpam itu yang dia ketahui bernama Diman.Matun mengangguk, lalu duduk ketika laki-laki di hadapannya berlalu pergi pada pintu yang ia ketahui dulu mungkin adalah ruangan sang atasan.Kali ini berbeda dengan dulu. Jika dulu dia dan Munik merasa ketakutan, tidak untuk saat ini. Rasa gugup memang ada, tetapi hanya dengan menarik napas dalam ia merasa tenang.Matun seperti siap untuk melakukan peperangan. Dalam hati ia tertawa. Entah pepe
15. Hak Istri***PrangBunyi pecahan piring menggema di depan Tivi ruang tamu rumah Matun. Perempuan itu baru saja selesai berbenah membersihkan rumahnya, beristirahat guna mengisi perutnya yang terasa lapar.Baru saja tangan kanan terangkat akan memasukkan sesuap nasi ke mulut, tiba-tiba saja Hadi datang dan menepis piring makanan yang ada di tangannya. Matun mendongak, menatap suaminya yang berdiri dengan dada naik turun juga tatapan garang."Abang ini kenapa, sih?" tanya Matun. Ia menatap Hadi bergantian dengan piring di mana nasinya sudah tercecer di lantai."Kamu yang ada apa?" ucap Jadi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tetapi setiap kata yang penuh penekanan menandakan bahwa pria itu benar-benar tengah marah besar.Pasti ini semua mengenai gaji yang didapat Matun. Bersikap biasa, Matun menaikkan alisnya salah satu. "Abang ngomong apa? Kok nggak jelas banget." Perempuan dengan daster ungu itu bangkit, mendekati pecahan
16. Pura-Pura Polos***Hadi tampak ragu melihat keberadaan Muklis yang berdiri beberapa langkah di depannya. Seperti biasa, laki-laki itu sedang menerima cicilan orang yang berhutang padanya.Menoleh ke kanan dan kiri, Hadi mencoba untuk meyakinkan diri untuk berhutang pada Muklis. Dia masih memikirkan beberapa kemungkinan-kemungkinan jika berhutang pada Muklis. Mengingat orang itu adalah rentenir, pasti akan ada bunga nantinya."Heh." Sebuah tepukan pada Pundak membuat ia menoleh. Terlihat salah satu teman menyapa.Hadi tersenyum, membalas sapaan. Laki-laki bernama Tohir itu menatap arah pandang Hadi yang sebelumnya ia lihat. "Muklis?" ucapnya dengan nada bertanya. Satu alisnya terangkat menukik.Hadi kembali menatap Muklis sesaat, lalu menghadap teman di sampingnya. "Lihat anak-anak lagi nyicil utang sama Muklis. Sepertinya banyak yang berutang sama dia.""Ya. Memang banyak.""Menurutmu, mudahkah berutang sama Muklis?" tanya H
17. Langkah Kedua***Hadi segera mencari Matun saat ia sampai di rumah. Ketika tadi mendapatkan pengusiran dari Reta karena dirinya belum bisa memberikan apa yang kekasihnya itu inginkan, membuat dirinya harus berpuasa akan jatah yang diinginkan.Dipanggilnya sang istri yang kucel. Tidak mendapat jawaban membuat Hadi semakin marah. Hingga ia mendengar suara tawa Rio—anak bungsunya.Belakang rumah menjadi tujuan. Ia melihat Matun yang sedang memandikan anaknya. "Matun," panggilnya.Matun yang masih asyik bercanda dengan Rio menoleh sembari bertanya, "Ada apa, Bang?" Hanya sesaat. Karena setelahnya perhatian perempuan berdaster hijau tua itu kembali pada sang putra yang tengah asyik bermain air di bak mandinya."Abang mau bicara sama kamu," ucap Hadi. Matanya masih melotot menampakkan kemarahannya.Matun yang melihat itu tidak peduli. Bukan bermaksud melawan sang suami, hanya saja keberadaan Rio di dalam bak mandi tidak mungkin membu
18. Kurang Bukti***Hadi membenahi penampilannya di depan cermin. Hari ini ia memakai kaus abu-abu dengan gaya rambut yang disisir begitu klimis. Memutar-mutar tubuh untuk melihat apa ada yang kurang dalam penampilannya.Suara langkah kaki mendekat, ia segera meraih seragam kerja dan memakainya guna menutupi kaus yang ia kenakan. Detik kemudian Matun memasuki kamar, memandang dirinya sekilas dengan tangan penuh tumpukan baju yang sudah dilipat."Permisi, Bang. Matun mau tarok ini di lemari." Tanpa kata, Hadi menyingkir begitu saja. Tangannya lihai menyematkan setiap kancing seragamnya.Matun yang masih dalam kegiatan menata baju melirik keberadaan sang suami di sampingnya. Merasa heran dengan tingkah laku pria ini. Padahal, kemarin-kemarin masih menampakkan taring pada dirinya.Setelah semua rapi, Matun keluar dari kamar. Menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Di sela menyuapi Rio, Hadi datang dengan tampilan yang sudah rapi. Anehnya, suaminy
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg