15. Hak Istri
***Prang
Bunyi pecahan piring menggema di depan Tivi ruang tamu rumah Matun. Perempuan itu baru saja selesai berbenah membersihkan rumahnya, beristirahat guna mengisi perutnya yang terasa lapar.
Baru saja tangan kanan terangkat akan memasukkan sesuap nasi ke mulut, tiba-tiba saja Hadi datang dan menepis piring makanan yang ada di tangannya. Matun mendongak, menatap suaminya yang berdiri dengan dada naik turun juga tatapan garang.
"Abang ini kenapa, sih?" tanya Matun. Ia menatap Hadi bergantian dengan piring di mana nasinya sudah tercecer di lantai.
"Kamu yang ada apa?" ucap Jadi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tetapi setiap kata yang penuh penekanan menandakan bahwa pria itu benar-benar tengah marah besar.
Pasti ini semua mengenai gaji yang didapat Matun. Bersikap biasa, Matun menaikkan alisnya salah satu. "Abang ngomong apa? Kok nggak jelas banget." Perempuan dengan daster ungu itu bangkit, mendekati pecahan
16. Pura-Pura Polos***Hadi tampak ragu melihat keberadaan Muklis yang berdiri beberapa langkah di depannya. Seperti biasa, laki-laki itu sedang menerima cicilan orang yang berhutang padanya.Menoleh ke kanan dan kiri, Hadi mencoba untuk meyakinkan diri untuk berhutang pada Muklis. Dia masih memikirkan beberapa kemungkinan-kemungkinan jika berhutang pada Muklis. Mengingat orang itu adalah rentenir, pasti akan ada bunga nantinya."Heh." Sebuah tepukan pada Pundak membuat ia menoleh. Terlihat salah satu teman menyapa.Hadi tersenyum, membalas sapaan. Laki-laki bernama Tohir itu menatap arah pandang Hadi yang sebelumnya ia lihat. "Muklis?" ucapnya dengan nada bertanya. Satu alisnya terangkat menukik.Hadi kembali menatap Muklis sesaat, lalu menghadap teman di sampingnya. "Lihat anak-anak lagi nyicil utang sama Muklis. Sepertinya banyak yang berutang sama dia.""Ya. Memang banyak.""Menurutmu, mudahkah berutang sama Muklis?" tanya H
17. Langkah Kedua***Hadi segera mencari Matun saat ia sampai di rumah. Ketika tadi mendapatkan pengusiran dari Reta karena dirinya belum bisa memberikan apa yang kekasihnya itu inginkan, membuat dirinya harus berpuasa akan jatah yang diinginkan.Dipanggilnya sang istri yang kucel. Tidak mendapat jawaban membuat Hadi semakin marah. Hingga ia mendengar suara tawa Rio—anak bungsunya.Belakang rumah menjadi tujuan. Ia melihat Matun yang sedang memandikan anaknya. "Matun," panggilnya.Matun yang masih asyik bercanda dengan Rio menoleh sembari bertanya, "Ada apa, Bang?" Hanya sesaat. Karena setelahnya perhatian perempuan berdaster hijau tua itu kembali pada sang putra yang tengah asyik bermain air di bak mandinya."Abang mau bicara sama kamu," ucap Hadi. Matanya masih melotot menampakkan kemarahannya.Matun yang melihat itu tidak peduli. Bukan bermaksud melawan sang suami, hanya saja keberadaan Rio di dalam bak mandi tidak mungkin membu
18. Kurang Bukti***Hadi membenahi penampilannya di depan cermin. Hari ini ia memakai kaus abu-abu dengan gaya rambut yang disisir begitu klimis. Memutar-mutar tubuh untuk melihat apa ada yang kurang dalam penampilannya.Suara langkah kaki mendekat, ia segera meraih seragam kerja dan memakainya guna menutupi kaus yang ia kenakan. Detik kemudian Matun memasuki kamar, memandang dirinya sekilas dengan tangan penuh tumpukan baju yang sudah dilipat."Permisi, Bang. Matun mau tarok ini di lemari." Tanpa kata, Hadi menyingkir begitu saja. Tangannya lihai menyematkan setiap kancing seragamnya.Matun yang masih dalam kegiatan menata baju melirik keberadaan sang suami di sampingnya. Merasa heran dengan tingkah laku pria ini. Padahal, kemarin-kemarin masih menampakkan taring pada dirinya.Setelah semua rapi, Matun keluar dari kamar. Menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Di sela menyuapi Rio, Hadi datang dengan tampilan yang sudah rapi. Anehnya, suaminy
19. Siap Perang***"Abang keliatannya seneng bener?" Baru saja duduk dengan piring penuh nasi di depan tivi, bermaksud untuk menyantap makan malam. Akan tetapi, urung kala Matun yang duduk memangku Rio di sampingnya bertanya.Hadi menoleh, ia menghela napas dalam melihat sang istri yang menatap dirinya dengan pandangan curiga. "Kenapa bilangnya gitu?""Dari tadi Matun lihat Abang senyum-senyum gitu."Hadi mengalihkan pandangan pada piring penuh makanan yang ia bawa. Mulai menikmatinya dengan tangan. "Kenapa diam, Bang?" tanya Matun yang merasa tidak puas karena diabaikan.Hadi mengunyah lalu menelannya, menatap Matun sembari menjawab. "Marah salah, senyum salah. Mau kamu Abang ini harus bagaimana, Tun?Matun menyuapkan sebuah roti pada Rio. "Siapa tahu aja Abang lagi bahagia abis jalan dengan Minjem."Hadi terbatuk begitu saja, tersedak karena makanannya. Tidak pernah Hadi sangka kalau Matun akan mengatakan demikian. Apakah Matun
20. Terkabul***"Mas Hadi." Benar, kan? Pasti akan ada yang memanggilnya.Hadi menoleh, menatap dua orang perempuan yang duduk pada gambang di bawah pohon sawo. Ia menatap mimik wajah istrinya yang tidak bisa ditebak. Pasti sudah mendapat omongan dari Munik."Ada apa?" tanya Hadi."Mas Hadi ini dari mana. Kok kayaknya rapi sekali?" Matun masih tidak bersuara, hanya Munik yang aktif bertanya."Nggak ke mana-mana. Hanya ngopi santai sambil ngobrol di rumahnya Muhklis," jawabnya santai. Tidak ada yang ditutupi. Untuk apa?"Ngapain ngopi di rumah Bang Muhklis Mas Hadi?"Hadi tidak heran mendengar serentetan pertanyaan Munik, memaklumi para penyebar gosip mencari informasi. "Kamu tahu siapa Muhklis?" Pertanyaan Hadi dijawab anggukan oleh Munik.Hadi mendekat dan menjawab, "Pinjam uang," dari ekor mata ia bisa melihat bola mata Matun yang melotot, pun dengan Munik yang melirik sang istri.Hadi tersenyum miring. "Sebanyak
21. Cantik Dan Uang***Reta menutup pintu kosannya, ia menyandar pada kayu itu sembari menekan dada yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak? Hadi tiba-tiba saja datang ke kosan sepagi ini. Padahal, biasanya pria itu akan berkunjung ketika waktu sudah mepet masuk jam kerja.Atau, jika mereka ada janji. Akan tetapi, tanpa pemberitahuan kali ini datang secara tiba-tiba. Beruntung Reta bisa menghalau pria itu memasuki kosan. Jika tidak, maka Hadi akan melihat sosok yang saat ini berada di kamarnya."Kamu kenapa?" Suara berat seseorang mengejutkan Reta. Lagi-lagi ia harus dibuat spot jantung sepagi ini."Kamu, Mas. Bikin kaget aja," ucap Reta. Ia berjalan mendekat, berdiri di hadapan pria itu."Aku tanyanya biasa aja loh.""Iya. Tapi di waktu yang nggak tepat." Pria di hadapannya hanya menaikkan kedua alisnya. Reta yang melihat itu menghela napas dalam. Tagannya menunjuk ke arah luar. "Tadi ada Bang Hadi datang. Kage
22. Mata-Mata***Sembari bersiul nyaring, Hadi tengah membersihkan motornya di depan rumah. Di hari minggu ini, ia dan Matun berencana akan mengunjungi keluarga Hadi yang ada di Tuban."Di." Sebuah panggilan membuat ia menoleh. Terlihat mertuanya Makijan yang mendekat.Hadi bangkit. "Iya, Pak?" Pria itu menatap bingung ketika sang mertua mengulurkan tangan padanya.Akan tetapi, kebingungan itu segera sirna saat Makijan menarik tangannya dan meletakkan sejumlah uang dalam genggamannya. Hadi menatap lembaran itu dan sang mertua bergantian."Ini apa, Pak?" tanyanya. Sebenarnya, itu hanya kepura-puraan saja. Jelas Hadi tahu apa maksud uang yang diberikan kepadanya karena setiap akan bepergian pun Makijan selalu memberikan uang."Buat saku ke Tuban," jawab Makijan pelan. Hadi melebarkan senyum dan mengangguk. Benar bukan? Ucapnya dalam hati"Terima kasih, Pak."Hadi melirik pundaknya yang ditepuk oleh sang mertua. Sebuah pes
23. Gelang Kaki***Menggunakan tusuk gigi Hadi membersihkan daging yang menyangkut di sela-sela giginya. Kaki ditekuk ke atas satu menyangga tangan. Pria itu baru saja menghabiskan seporsi sate dan seporsi gulai beserta nasinya. Ditambah segala es teh pula.Matun yang masih menyuapi kedua anaknya menghela napas panjang. Ia tidak habis pikir pada sikap suaminya ini. “Bang. Tolong suapi Rio sama Pendi biar Matun bisa makan.”Hadi menoleh menatap dirinya dengan kedua alis yang saling bertaut. Berdecak sebelum mengambil alih piring dari tangannya.“Sini.” Betapa kasarnya apa yang dilakukan Hadi. Beruntung kuah gulai pada piring tidak sampai tumpah.“Lagian nyuapin gitu aja lama sekali. Jangan males dong, Tun.” Kening Matun terlipat mendengar ucapan suaminya. Bagian mana yang bisa disebut malas drai apa yang dilakukan Matun.Di saat Hadi mengambil alih untuk menyuapi kedua anaknya, Matun pun segera