19. Siap Perang
***"Abang keliatannya seneng bener?" Baru saja duduk dengan piring penuh nasi di depan tivi, bermaksud untuk menyantap makan malam. Akan tetapi, urung kala Matun yang duduk memangku Rio di sampingnya bertanya.Hadi menoleh, ia menghela napas dalam melihat sang istri yang menatap dirinya dengan pandangan curiga. "Kenapa bilangnya gitu?"
"Dari tadi Matun lihat Abang senyum-senyum gitu."
Hadi mengalihkan pandangan pada piring penuh makanan yang ia bawa. Mulai menikmatinya dengan tangan. "Kenapa diam, Bang?" tanya Matun yang merasa tidak puas karena diabaikan.
Hadi mengunyah lalu menelannya, menatap Matun sembari menjawab. "Marah salah, senyum salah. Mau kamu Abang ini harus bagaimana, Tun?
Matun menyuapkan sebuah roti pada Rio. "Siapa tahu aja Abang lagi bahagia abis jalan dengan Minjem."
Hadi terbatuk begitu saja, tersedak karena makanannya. Tidak pernah Hadi sangka kalau Matun akan mengatakan demikian. Apakah Matun
20. Terkabul***"Mas Hadi." Benar, kan? Pasti akan ada yang memanggilnya.Hadi menoleh, menatap dua orang perempuan yang duduk pada gambang di bawah pohon sawo. Ia menatap mimik wajah istrinya yang tidak bisa ditebak. Pasti sudah mendapat omongan dari Munik."Ada apa?" tanya Hadi."Mas Hadi ini dari mana. Kok kayaknya rapi sekali?" Matun masih tidak bersuara, hanya Munik yang aktif bertanya."Nggak ke mana-mana. Hanya ngopi santai sambil ngobrol di rumahnya Muhklis," jawabnya santai. Tidak ada yang ditutupi. Untuk apa?"Ngapain ngopi di rumah Bang Muhklis Mas Hadi?"Hadi tidak heran mendengar serentetan pertanyaan Munik, memaklumi para penyebar gosip mencari informasi. "Kamu tahu siapa Muhklis?" Pertanyaan Hadi dijawab anggukan oleh Munik.Hadi mendekat dan menjawab, "Pinjam uang," dari ekor mata ia bisa melihat bola mata Matun yang melotot, pun dengan Munik yang melirik sang istri.Hadi tersenyum miring. "Sebanyak
21. Cantik Dan Uang***Reta menutup pintu kosannya, ia menyandar pada kayu itu sembari menekan dada yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak? Hadi tiba-tiba saja datang ke kosan sepagi ini. Padahal, biasanya pria itu akan berkunjung ketika waktu sudah mepet masuk jam kerja.Atau, jika mereka ada janji. Akan tetapi, tanpa pemberitahuan kali ini datang secara tiba-tiba. Beruntung Reta bisa menghalau pria itu memasuki kosan. Jika tidak, maka Hadi akan melihat sosok yang saat ini berada di kamarnya."Kamu kenapa?" Suara berat seseorang mengejutkan Reta. Lagi-lagi ia harus dibuat spot jantung sepagi ini."Kamu, Mas. Bikin kaget aja," ucap Reta. Ia berjalan mendekat, berdiri di hadapan pria itu."Aku tanyanya biasa aja loh.""Iya. Tapi di waktu yang nggak tepat." Pria di hadapannya hanya menaikkan kedua alisnya. Reta yang melihat itu menghela napas dalam. Tagannya menunjuk ke arah luar. "Tadi ada Bang Hadi datang. Kage
22. Mata-Mata***Sembari bersiul nyaring, Hadi tengah membersihkan motornya di depan rumah. Di hari minggu ini, ia dan Matun berencana akan mengunjungi keluarga Hadi yang ada di Tuban."Di." Sebuah panggilan membuat ia menoleh. Terlihat mertuanya Makijan yang mendekat.Hadi bangkit. "Iya, Pak?" Pria itu menatap bingung ketika sang mertua mengulurkan tangan padanya.Akan tetapi, kebingungan itu segera sirna saat Makijan menarik tangannya dan meletakkan sejumlah uang dalam genggamannya. Hadi menatap lembaran itu dan sang mertua bergantian."Ini apa, Pak?" tanyanya. Sebenarnya, itu hanya kepura-puraan saja. Jelas Hadi tahu apa maksud uang yang diberikan kepadanya karena setiap akan bepergian pun Makijan selalu memberikan uang."Buat saku ke Tuban," jawab Makijan pelan. Hadi melebarkan senyum dan mengangguk. Benar bukan? Ucapnya dalam hati"Terima kasih, Pak."Hadi melirik pundaknya yang ditepuk oleh sang mertua. Sebuah pes
23. Gelang Kaki***Menggunakan tusuk gigi Hadi membersihkan daging yang menyangkut di sela-sela giginya. Kaki ditekuk ke atas satu menyangga tangan. Pria itu baru saja menghabiskan seporsi sate dan seporsi gulai beserta nasinya. Ditambah segala es teh pula.Matun yang masih menyuapi kedua anaknya menghela napas panjang. Ia tidak habis pikir pada sikap suaminya ini. “Bang. Tolong suapi Rio sama Pendi biar Matun bisa makan.”Hadi menoleh menatap dirinya dengan kedua alis yang saling bertaut. Berdecak sebelum mengambil alih piring dari tangannya.“Sini.” Betapa kasarnya apa yang dilakukan Hadi. Beruntung kuah gulai pada piring tidak sampai tumpah.“Lagian nyuapin gitu aja lama sekali. Jangan males dong, Tun.” Kening Matun terlipat mendengar ucapan suaminya. Bagian mana yang bisa disebut malas drai apa yang dilakukan Matun.Di saat Hadi mengambil alih untuk menyuapi kedua anaknya, Matun pun segera
24. Hutang Berbunga***Mulut Matun menganga, betapa terkejutnya ia saat mendapati hanya dua tempe goreng dan satu tahu goreng juga sambal yang tinggal sedikit.Pandangannya beralih pada wadah di mana sebelumnya ia meletakkan sayur bening. Tangannya terulur pada centongnya dan mulai mengaduk. Betapa miris hati Matun kala mendapati hanya kuah yang tersisa, tanpa sayuran sama sekali.Ia memandang kedua anaknya yang juga menatap dirinya dengan polos, semakin sakitlah hati Matun. Jika hanya dirinya makan dengan sambal pun tidak apa. Akan tetapi masih ada Rio dan Pendi yang juga belum makan sedari tadi mereka sampai."Ya Alloh," ucap Matun sembari memegang dadanya, ada rasa nyeri di sana menatap wajah kedua anaknya.Matun berjongkok di hadapan kedua anaknya, ia segera menyeka sudut mata kala merasakan bulir air mata yang akan jatuh dari sana.Matun berbicara dengan suara serak, "Kita keluar, yuk! Cari makan di warung." Matun ingat kalau jara
25. Jalan Berdua***“Mbok Tini.” Suara seorang perempuan baru saja memasuki warung. Matun menoleh karena suara itu cukup keras terdengar.Ia mendapati seorang perempuan dengan kaus ketat berwarna putih juga rok lebar pendek di atas lutut.Tidak ingin disangka tidak sopan, Matun segera mengalihkan pandangan pada makanan yang sedang ia nikmati bersama kedua anaknya. Namun, tangannya yang siap kembali menyuapkan sesendok nasi urung kala si pemilik warung menyebutkan sebuah nama.“Oalah. Neng Maria.” Matun ingat nama itu sebelumnya disebutkan oleh mertuanya. Apakah Maria yang dimaksud adalah orang yang sama dengan orang ini?Mau tidak mau Matun kembali melirik pada keberadaan perempuan itu untuk melepaskan dahaga keingintahuannya. Memindai penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah.Jika dilihat-lihat gayanya sangat jauh dari orang lain yang tinggal di daerah sini. Ini lebih seperti penampilan anak remaja di
26. Lintah Darat***"MATUN!"Matun menoleh pada Hadi yang berteriak. "Jangan berteriak, Bang. Matun kaget."Perempuan itu kembali menoleh pada Maria, lalu beralih pada mertuanya. "Lagian, Bu. Pinter dandan bisa dipelajari, Bu. Tapi satu hal yang harus ibu tahu. Cantik itu perlu modal. Bagaimana Matun mau cantik kalau anak Ibu ini uangnya sebagian buat biayai selingkuhannya?"Mata Hadi membulat seketika. Ia tidak menyangka jika Matun akan mengatakan hal itu. "Matun," bisiknya lagi.Tidak kalah terkejutnya dengan Hadi, Maira dan Katijah pun juga mempunyai ekspresi yang sama. Dua orang itu langsung menatap Hadi yang kini tampak salah tingkah memandangi ketiga perempuan itu satu persatu.Matun tersenyum miring. "Kenapa, Bang? Kenapa wajah Abang seperti itu? Bukankah Abang selalu mengatakan kalau tuduhan Matun tidak benar? Kenapa sekarang seperti ketakutan begitu?"Tatapan yang Hadi tunjukkan seolah laki-laki itu tengah menahan marah
27. Mulut Ember***Malam kedua semua keluarga anak-anak Mak Katijah berkumpul di rumah perempuan berusia setengah abad lebih itu. Kecuali yang bekerja di luar kota tentunya. Bersama anak-anak mereka ruang tamu tampak ramai.Memang. Bentuk rumah di desa ini rata-rata masih bentuk lama. Di mana ruang tamunya sangat luas dengan dinding kayu jati. Malahan, dulu ruang tamu dibagi menjadi dua antara ruang tamu dan kandang sapi.Namun, beriring berkembangnya jaman, kandang sapi pun sudah dipisahkan.Matun duduk memangku Rio tepat di samping sang suami yang saat ini asyik berbincang dengan saudaranya. "Alhamdulillah. Sekarang di sana aku sudah punya tempat tinggal nyaman. Tivi dua puluh satu ins. Sofa panjang yang empuk seperti di tivi-tivi. Kulkas untuk menyimpan makanan. Meskipun masih satu pintu, tapi cukuplah.""Wah. Hadi sudah sukses, ya," timpal seorang lelaki dengan kaus biru bergaris putih. Ucapannya pun diangguki oleh yang lain. Semua tamp