25. Jalan Berdua
***
“Mbok Tini.” Suara seorang perempuan baru saja memasuki warung. Matun menoleh karena suara itu cukup keras terdengar.
Ia mendapati seorang perempuan dengan kaus ketat berwarna putih juga rok lebar pendek di atas lutut.
Tidak ingin disangka tidak sopan, Matun segera mengalihkan pandangan pada makanan yang sedang ia nikmati bersama kedua anaknya. Namun, tangannya yang siap kembali menyuapkan sesendok nasi urung kala si pemilik warung menyebutkan sebuah nama.
“Oalah. Neng Maria.” Matun ingat nama itu sebelumnya disebutkan oleh mertuanya. Apakah Maria yang dimaksud adalah orang yang sama dengan orang ini?
Mau tidak mau Matun kembali melirik pada keberadaan perempuan itu untuk melepaskan dahaga keingintahuannya. Memindai penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah.
Jika dilihat-lihat gayanya sangat jauh dari orang lain yang tinggal di daerah sini. Ini lebih seperti penampilan anak remaja di
26. Lintah Darat***"MATUN!"Matun menoleh pada Hadi yang berteriak. "Jangan berteriak, Bang. Matun kaget."Perempuan itu kembali menoleh pada Maria, lalu beralih pada mertuanya. "Lagian, Bu. Pinter dandan bisa dipelajari, Bu. Tapi satu hal yang harus ibu tahu. Cantik itu perlu modal. Bagaimana Matun mau cantik kalau anak Ibu ini uangnya sebagian buat biayai selingkuhannya?"Mata Hadi membulat seketika. Ia tidak menyangka jika Matun akan mengatakan hal itu. "Matun," bisiknya lagi.Tidak kalah terkejutnya dengan Hadi, Maira dan Katijah pun juga mempunyai ekspresi yang sama. Dua orang itu langsung menatap Hadi yang kini tampak salah tingkah memandangi ketiga perempuan itu satu persatu.Matun tersenyum miring. "Kenapa, Bang? Kenapa wajah Abang seperti itu? Bukankah Abang selalu mengatakan kalau tuduhan Matun tidak benar? Kenapa sekarang seperti ketakutan begitu?"Tatapan yang Hadi tunjukkan seolah laki-laki itu tengah menahan marah
27. Mulut Ember***Malam kedua semua keluarga anak-anak Mak Katijah berkumpul di rumah perempuan berusia setengah abad lebih itu. Kecuali yang bekerja di luar kota tentunya. Bersama anak-anak mereka ruang tamu tampak ramai.Memang. Bentuk rumah di desa ini rata-rata masih bentuk lama. Di mana ruang tamunya sangat luas dengan dinding kayu jati. Malahan, dulu ruang tamu dibagi menjadi dua antara ruang tamu dan kandang sapi.Namun, beriring berkembangnya jaman, kandang sapi pun sudah dipisahkan.Matun duduk memangku Rio tepat di samping sang suami yang saat ini asyik berbincang dengan saudaranya. "Alhamdulillah. Sekarang di sana aku sudah punya tempat tinggal nyaman. Tivi dua puluh satu ins. Sofa panjang yang empuk seperti di tivi-tivi. Kulkas untuk menyimpan makanan. Meskipun masih satu pintu, tapi cukuplah.""Wah. Hadi sudah sukses, ya," timpal seorang lelaki dengan kaus biru bergaris putih. Ucapannya pun diangguki oleh yang lain. Semua tamp
28. Pria Bertato***Hadi menggandeng tangan Pendi dan menggendong Rio kerja mereka memasuki pasar. Kedua bocah itu tampak antusias kala melewati pedagan mainan yang ada di sana."Yah. Pendi mau itu," ucap Pendi dengan menunjuk Abang-abang penjual mainan.Hadi mengikuti arah yang ditunjuk anaknya. Sebuah mainan berbentuk kereta beserta relnya terpajang di sebuah gantungan beserta mainnya yang lainnya.Hadi menatap anaknya. "Jangan. Itu mahal. Nanti adik kamu dibeliin apa kalau kamu sudah beli barang semahal itu."Tapi, Yah—""Mas Hadi." Sebuah suara yang menyapa membuat Hadi menoleh, ia melihat sosok perempuan dengan celana jeans dan baju yang sedikit terbuka pada bagian pundak.Perempuan itu mengembangkan senyum, berjalan mendekatinya dengan mimik wajah yang terlihat bahagia dan bersemangat. "Ke pasar, Mas?" tanya perempuan bernama Maria.Tiba-tiba saja senyum Hadi terbit. "Iya, Mar. Ia menelisik penampilan Maria
29. Uang Saku***Langkah Hadi dan Maria terhenti ketika mendapati Matun yang berdiri dengan tangan dilipat di depan dada. Suaranya barusan terdengar sangat menakutkan.Dua bocah yang dalam gandengan Hadi segera melepaskan tangan mereka. Langkah kaki kecilnya berlari ke arah Matun. Matun berjongkok. "Sudah pulang?" tanyanya dengan membelai pipi kedua anaknya.Pendi mengangguk, sedangkan Rio masih asyik dengan mainan di tangannya. "Kalian istirahat dulu gih di dalam." Kedua bocah itu hanya mengangguk patuh lalu memasuki rumah.Maria memandang Matun dan Hadi secara bergantian. Suasana tidak meneyenangkan pun terasa sampai ke tulang-tulang. Perempuan itu menampilkan senyum dengan deretan gigi yang terlihat rapi."Kalau begitu aku pulang dulu ya, Mas," ucapnya lirih. Maria siap untuk pulang dan meninggalkan ketegangan yang terasa jelas di antara sang mantan dan istrinya."Loh, Maria. Kamu di sini?" Namun, baru saja ia berbalik untuk pergi
30. Makan Sate***Matun meletakkan Rio yang tertidur dalam gendongannya ke atas ranjang. Mereka baru saja sampai di rumah setelah melakukan beberapa jam perjalanan yang melelahkan. Melepaskan kerudung, Matun membenahi ikatan rambutnya.“Pen. Kamu mandi gih biar nggak gatal badannya.” Setelah putranya beranjak pergi ke belakang, pandangan Matun beralih pada beberapa tumpukan kardus dan tas ransel yang masih tergeletak di depan pintu.Matun menoleh, menatap Hadi yang tampak tidur di sudut ruangan beralaskan karpet tipis. Matun menggeleng. Mana yang dimaksud dengan sofa empuk seperti di tivi-tivi itu?Lagian heran. Kenapa musti berbohong, sih?Mengedikkan bahu, Matun mendekati tas dan kardus-kardus itu. Memasukkan ke rumah. “Lebih baik ditata nanti. Masih capek. Mau mandi dulu abis ini.” Menyalakan kipas kecil, Matun pun duduk di hadapannya mengurangi hawa panas yang dirasa.***Matun memandangi Hadi yang tamp
31. Rumah Mertua***"Ben. Gue mau pinjem uangnya dong," ucap Hadi yang kini duduk di depan seorang laki-laki berperawakan kurus, hampir sama dengan dirinya tetapi pria itu memiliki rambut lebat. Berbeda dengan dirinya yang hampir botak dengan rambut tipis.Kali ini mereka berada di warung depan pabrik. Pria bernama Beno itu menatap Hadi bingung. "Tumben sekali, Di?" Mengatakan gelas kopi dan menyeruputnya.Hadi menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Aku, punya hutang sama Muhklis," jawab Hadi.Ucapan itu sontak saja membuat Beno tersedak hingga menyemburkan kopi yang sedang diminumnya. Pria itu menatap Hadi dengan bola mata melebar."Gila. Ngapain kamu main-main sama Muhklis? Dia, kan rentenir, Di.""Ye ... yang namanya rentenir, ya buat utanglah. Aku punya utang sama dia, terus bulan ini nggak bisa bayar cicilan soalnya bulan lalu nggak ada lemburan. Tapi kalo sampe nggak bayar, cicilanny
32. Bechek Menthok***"Nih makan. Jangan rebutan, Ibu sudah membawakan kalian masing-masing. " Libur kali ini Munik membawa keluarganya berlibur ke Waduk Tanjungan Jetis.Tempat wisata yang kini sudah sangat ramai akibat perombakan yang signifikan. Wisata berpusat pada air ini merupakan tempat lama tetapi disulap menjadi hal yang sangat menakjubkan. Berbagai spot foto kini sudah tersedia.Tempat yang dulunya sunyi kini tampak penuh dengan pengunjung. "Aku mau pisangnya, Bu." Salah satu anak Munik yang bernama Rudi menunjuk pisang pada kantung kresek.Munik memberikan. Tatapannya jatuh pada sang suami yang tampak menelisik sekitar. "Bapak mau apa?" tanyanya.Pria berkumis tebal itu menoleh. "Bapak mau makan saja, Bu.""Nasi putih apa nasi jagung?""Yang jagung saja." Membuka bekal yang ia bawa, Munik mulai meracik makanan untuk suaminya.Satu centong nasi jagung, satu bakwan jagung, tumis cabai hijau dan petai, tumis pep
33. Mantannya Hadi***"Dah. Aku tak balik dulu," pamit Hadi pada Muhklis.Matun dan Munik segera pergi dari tempat persembunyiannya. Perempuan pembawa gosip itu segera membawa Matun pulang ke rumahnya."Makasih, Nik," ucap Matun lirih ketika ia turun di depan rumah.Munik yang melihat itu tentu saja merasa iba. Ia pikir, tadi akan menemukan bukti baru mengenai perselingkuhan Hadi dengan perempuan yang sering ia temui bersama pria itu.Nyatanya, malah sesuatu yang baru. Bingung mau mengatakan ini baik apa enggak. Baik, masalahnya bikin anak orang jadi sedih. Kalau enggak, tetapi sudah membuka kedok Hadi yang nantinya takut menyusahkan Matun terbongkar."Yang sabar ya, Mbak Matun," ucap Munik yang hanya dibalas anggukan saja oleh Matun.Tidak jauh dari sana, Sugi melihat keduanya. Ia meletakkan sapu yang sebelumnya dipegang lalu mendekati Munik dan adik iparnya. "Nik, Tun. Kalian dari mana?""Dar—""Dari waru
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg