31. Rumah Mertua
***
"Ben. Gue mau pinjem uangnya dong," ucap Hadi yang kini duduk di depan seorang laki-laki berperawakan kurus, hampir sama dengan dirinya tetapi pria itu memiliki rambut lebat. Berbeda dengan dirinya yang hampir botak dengan rambut tipis.
Kali ini mereka berada di warung depan pabrik. Pria bernama Beno itu menatap Hadi bingung. "Tumben sekali, Di?" Mengatakan gelas kopi dan menyeruputnya.
Hadi menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Aku, punya hutang sama Muhklis," jawab Hadi.
Ucapan itu sontak saja membuat Beno tersedak hingga menyemburkan kopi yang sedang diminumnya. Pria itu menatap Hadi dengan bola mata melebar.
"Gila. Ngapain kamu main-main sama Muhklis? Dia, kan rentenir, Di."
"Ye ... yang namanya rentenir, ya buat utanglah. Aku punya utang sama dia, terus bulan ini nggak bisa bayar cicilan soalnya bulan lalu nggak ada lemburan. Tapi kalo sampe nggak bayar, cicilanny
32. Bechek Menthok***"Nih makan. Jangan rebutan, Ibu sudah membawakan kalian masing-masing. " Libur kali ini Munik membawa keluarganya berlibur ke Waduk Tanjungan Jetis.Tempat wisata yang kini sudah sangat ramai akibat perombakan yang signifikan. Wisata berpusat pada air ini merupakan tempat lama tetapi disulap menjadi hal yang sangat menakjubkan. Berbagai spot foto kini sudah tersedia.Tempat yang dulunya sunyi kini tampak penuh dengan pengunjung. "Aku mau pisangnya, Bu." Salah satu anak Munik yang bernama Rudi menunjuk pisang pada kantung kresek.Munik memberikan. Tatapannya jatuh pada sang suami yang tampak menelisik sekitar. "Bapak mau apa?" tanyanya.Pria berkumis tebal itu menoleh. "Bapak mau makan saja, Bu.""Nasi putih apa nasi jagung?""Yang jagung saja." Membuka bekal yang ia bawa, Munik mulai meracik makanan untuk suaminya.Satu centong nasi jagung, satu bakwan jagung, tumis cabai hijau dan petai, tumis pep
33. Mantannya Hadi***"Dah. Aku tak balik dulu," pamit Hadi pada Muhklis.Matun dan Munik segera pergi dari tempat persembunyiannya. Perempuan pembawa gosip itu segera membawa Matun pulang ke rumahnya."Makasih, Nik," ucap Matun lirih ketika ia turun di depan rumah.Munik yang melihat itu tentu saja merasa iba. Ia pikir, tadi akan menemukan bukti baru mengenai perselingkuhan Hadi dengan perempuan yang sering ia temui bersama pria itu.Nyatanya, malah sesuatu yang baru. Bingung mau mengatakan ini baik apa enggak. Baik, masalahnya bikin anak orang jadi sedih. Kalau enggak, tetapi sudah membuka kedok Hadi yang nantinya takut menyusahkan Matun terbongkar."Yang sabar ya, Mbak Matun," ucap Munik yang hanya dibalas anggukan saja oleh Matun.Tidak jauh dari sana, Sugi melihat keduanya. Ia meletakkan sapu yang sebelumnya dipegang lalu mendekati Munik dan adik iparnya. "Nik, Tun. Kalian dari mana?""Dar—""Dari waru
34. Bermuka Dua***"Bu. Jangan cepet-cepet! Rudi takut," ucap Rudi anak Munik yang saat ini berada di boncengan Munik. Akibat sang ibu yang melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata ia memeluk erat tubuh tambun sang ibu dengan memejamkan mata karena takut."Kalau nggak cepet nggak bakalan kekejar, Nak," ucap Munik. Ia menarik gas motor dengan kencang, matanya awas menatap seseorang yang berada pada motor di depannya. Angin kencang menerbangkan daster besar yang dikenakan."Ibu nggak boleh ketinggalan dia." Menyalip beberapa motor yang ada di depannya, Munik kini bagaikan pembalap internasional yang sedang menjajakan kemampuannya di jalanan bebas. Tidak patut ditiru para pembaca. Camkan itu."Memangnya kita nggak boleh ketinggalan siapa, Bu?" tanya Rudi. Matanya masih terpejam, takut dengan kecepatan sang ibu yang menginjak angka 60 kilometer perjamnya."Ada pokoknya," jawab Munik. Ia lebih baik berkonsentrasi pada motornya dan juga
35. Bersilat Lida***Munik segera menekan rem motornya secara mendadak dan menimbulkan bunyi yang cukup memekakkan telinga akibat gesekan dari roda dan aspal jalanan. Beruntunglah bagian belakang motornya tidak sampai terangkat. Di depannya, seorang penjual cilok memandang ke arah Munik dengan tatapan ngeri."Huh. Selamat," ucap Munik dengan mengelus dada ketika sudah mampu menyeimbangkan motornya. Ia menatap ke belakang, perempuan itu kembali bersyukur saat tidak ada kendaraan lain di sana."Untung saja. Kalau ada, pasti udah ketabrak tadi." Ia mengatur napas, menekan dada yang terasa berdetak lebih kencang. Matanya sesekali terpejam menikmati rasa syukurnya.Akibat dari kejadian itu, banyak warga sekitar yang mendekati mereka. Bergerumul untuk memastikan kondisi para korban. "Ibunya nggak papa?" Pertanyaan itu datang saling bersahutan.Munik mengingat kalau dirinya bersama Matun. Ia memusatkan kembali pandangan ke belakang pun
36. Mata Duitan***"Astagfirulloh, Abang!"Hadi dan Reta yang saling bertindihan terkejut seketika. Keduanya dengan segera bangkit dari pembaringan. Tanpa menunggu apa yang dipunya terlihat, Reta bersembunyi di belakang tubuh Hadi, tidak peduli laki-laki itu berdiri dengan tanpa mengenakan apa pun. Tangan kanan sigap meraih selimut yang ada di atas ranjang."Apa yang kamu lakukan, Bang?' tanya Matun dengan suara keras. Di belakang tubuh perempuan itu berdiri beberapa orang yang sebelumnya membantu mendobrak kos-kosan Reta.Hadi mengedarkan pandangan, ia melihat boxer di ujung ranjang dan segera meraihnya lalu mengenakan dengan terburu-buru. Ia menatap nyalang keberadaan sang istri. "Seharusnya aku yang bertanya. Ngapain kamu di sini?" tanya Hadi dengan suara keras. Ia memberi tatapan membunuh pada perempuan yang telah menemaninya bertahun-tahun.Tidak peduli bagaimana terkejutnya reaksi Matun, Hadi meraih pakaian Reta yang berada bera
37. Kepergok Lagi***Fiddun dan Sugi saling menatap. Keduanya sama-sama menampakkan raut bingung. "Matun kenapa, Mas?" tanya Sugi.Fiddun menggeleng. "Mana Mas tahu. Kita tanya sama Munik saja lah." Sepasang suami istri itu semakin berjalan mendekati Munik.Munik yang sebelumnya sudah menghidupkan mesin dan akan menjalankan motornya pun urung kala Sugi memanggilnya. "Ada apa, Mbak Sugi?" Munik menatap sepasang suami istri yang ada di hadapannya."Heh. Harusnya aku yang tanya. Ada apa itu si Matun? Kenapa pulang-pulang malah nangis gitu?" Sugi menepuk pelan punggung tangan Munik yang ada pada tarikan gas motor.Mimik menghela napas dalam. Ia memasang wajah sendu dan menatap ke bawah. "Tadi, tuh. Rame banget, Mbak di sana. Sayang Mbak Sugi nggak ikut. Mbak Matun tuh mergokin suaminya yang lagi ...." Munik menyatukan kedua jari telunjuknya, bermaksud menjelaskan apa yang ia lihat tadi antara Jadi dan perempuan selingkuhannya.Saya
38. Kalah Cerdik***Reta menatap kotak persegi yang sangat jauh dari kata luas. Bahkan kamarnya di kosan uang dulu jauh lebih lebar dari tempat ini. Perempuan itu sampai menganga melihat keadaan kasur lipat yang begitu tipis di bagian kanan."Berapa biayanya perbulan, Bu?" Terdengar suara Hadi yang melontarkan pertanyaan pada pemilik kosan. Reta tidak peduli, ia masih fokus mengamati tempat yang akan ditinggali."Tiga ratus ribu.""Apa?" tanya Reta dengan terkejut, bahkan perempuan itu langsung menoleh ke arah Ibu pemilik kos dan Hadi yang berdiri berhadapan."Tiga ratus ribu?" tanya Reta mengulang ucapan yang didengar beberapa waktu lalu. Sebuah anggukan dari perempuan di hadapannya adalah sebuah jawaban."Mahal sekali," ucapnya spontan. "Mana isinya kosong nggak ada apa-apa. Harganya tiga ratus ribu." Ia berucap tanpa menatap si pemilik kosan, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Mimik wajah ramah yang sebelumnya tampak k
39. Kangen Reta***Niswa dan Sugi melihat Matun yang hanya duduk dengan bengong menatap ke luar jendela. Padahal, hari sudah gelap. Mereka mendekat dan mendapati tatapan Matun yang kosong."Tun," panggil Sugi dengan menepuk pundak adik iparnya. Hal itu membuat Matun berjingkat karena terkejut."Udah malem, Tun. Jangan ngelamun. Apalagi jendela kamarmu nggak ditutup. Bahaya kalau ada setan lewat," timpal Niswa yang menutup jendela kamar Matun.Sugi yang mendengar ucapan Niswa melirik adik iparnya itu dengan sinis. Sedangkan Niswa malah mengulum senyum. "Serius," ucap Sugi tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir. Cukup mampu membuat Niswa patuh akan hal itu.Tatapan Sugi kini beralih oada Matun yang hanya menunduk. Entah kaki atau jari tangan yang sedang diperhatikan. "Tun. Jangan berlarut-larut sedihnya."Tak lama, suara isak tangis pun terdengar dari bibir Matun. Sugi segera membawa Matun pada pundaknya, sedangkan Niswa duduk di sis