37. Kepergok Lagi
***
Fiddun dan Sugi saling menatap. Keduanya sama-sama menampakkan raut bingung. "Matun kenapa, Mas?" tanya Sugi.
Fiddun menggeleng. "Mana Mas tahu. Kita tanya sama Munik saja lah." Sepasang suami istri itu semakin berjalan mendekati Munik.
Munik yang sebelumnya sudah menghidupkan mesin dan akan menjalankan motornya pun urung kala Sugi memanggilnya. "Ada apa, Mbak Sugi?" Munik menatap sepasang suami istri yang ada di hadapannya.
"Heh. Harusnya aku yang tanya. Ada apa itu si Matun? Kenapa pulang-pulang malah nangis gitu?" Sugi menepuk pelan punggung tangan Munik yang ada pada tarikan gas motor.
Mimik menghela napas dalam. Ia memasang wajah sendu dan menatap ke bawah. "Tadi, tuh. Rame banget, Mbak di sana. Sayang Mbak Sugi nggak ikut. Mbak Matun tuh mergokin suaminya yang lagi ...." Munik menyatukan kedua jari telunjuknya, bermaksud menjelaskan apa yang ia lihat tadi antara Jadi dan perempuan selingkuhannya.
Saya
38. Kalah Cerdik***Reta menatap kotak persegi yang sangat jauh dari kata luas. Bahkan kamarnya di kosan uang dulu jauh lebih lebar dari tempat ini. Perempuan itu sampai menganga melihat keadaan kasur lipat yang begitu tipis di bagian kanan."Berapa biayanya perbulan, Bu?" Terdengar suara Hadi yang melontarkan pertanyaan pada pemilik kosan. Reta tidak peduli, ia masih fokus mengamati tempat yang akan ditinggali."Tiga ratus ribu.""Apa?" tanya Reta dengan terkejut, bahkan perempuan itu langsung menoleh ke arah Ibu pemilik kos dan Hadi yang berdiri berhadapan."Tiga ratus ribu?" tanya Reta mengulang ucapan yang didengar beberapa waktu lalu. Sebuah anggukan dari perempuan di hadapannya adalah sebuah jawaban."Mahal sekali," ucapnya spontan. "Mana isinya kosong nggak ada apa-apa. Harganya tiga ratus ribu." Ia berucap tanpa menatap si pemilik kosan, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Mimik wajah ramah yang sebelumnya tampak k
39. Kangen Reta***Niswa dan Sugi melihat Matun yang hanya duduk dengan bengong menatap ke luar jendela. Padahal, hari sudah gelap. Mereka mendekat dan mendapati tatapan Matun yang kosong."Tun," panggil Sugi dengan menepuk pundak adik iparnya. Hal itu membuat Matun berjingkat karena terkejut."Udah malem, Tun. Jangan ngelamun. Apalagi jendela kamarmu nggak ditutup. Bahaya kalau ada setan lewat," timpal Niswa yang menutup jendela kamar Matun.Sugi yang mendengar ucapan Niswa melirik adik iparnya itu dengan sinis. Sedangkan Niswa malah mengulum senyum. "Serius," ucap Sugi tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir. Cukup mampu membuat Niswa patuh akan hal itu.Tatapan Sugi kini beralih oada Matun yang hanya menunduk. Entah kaki atau jari tangan yang sedang diperhatikan. "Tun. Jangan berlarut-larut sedihnya."Tak lama, suara isak tangis pun terdengar dari bibir Matun. Sugi segera membawa Matun pada pundaknya, sedangkan Niswa duduk di sis
40. Gali Lubang Tutup Lubang***Reta mengirimkan pesan pada seseorang dan mengatakan di mana kosannya yang baru saat ini. Sesekali melirik ke arah pintu takut-takut Hadi selesai mandi dan memasuki kamar. Ya. Kali ini kosan Reta memiliki kamar mandi di luar di mana ia harus bergantian dengan penghuni kosan lainnya.Ia memasukkan ponselnya kembali pada tas setelah pesan berhasil terkirim. Mencoba berpura-pura sedang menyiapkan baju untuk Hadi kenakan nanti.Tepat setelah ia memegang kaus Hadi, pria itu memasuki kamar. "Aduh. Ramai banget antrenya. Capek di antre buat mandi aja. " Hadi mengeluh, ia menyampirkan handuk pada gantungan baju yang ada di belakang pintu.Reta yang mendengar segera menoleh. "Tuh. Abang aja yang baru antre sekali pas mandi ngeluh. Apalagi Reta, Bang? Abang tahu sendiri kalau Reta juga lama mandinya."Hadi mengenakan celananya, ia melirik Reta yang saat ini tengah merajuk dengan melipat tangan di depan dada, jang
41. Bukti***Hadi memarkirkan sepeda motornya di depan sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Meski dari depan ada bata yang menghiasi, tetapi bangunan keseluruhan sampai ke belakang adalah bambu.Hadi mendekati rumah itu dengan tatapan penuh kemarahan. Mengingat siapa sosok si pemilik membuat pria itu ingin menghancurkan bangunan di depannya. Berjalan tergesa-gesa ia mendekati pintu. Tangan Hadi terangkat, menggedor pintu kayu yang sudah tampak miring."Munik. Munik keluar kau." Suara menggelegar Hadi tentu saja mengundang perhatian beberapa orang yang tinggal di samping rumah Munik."Munik. Keluar." Tidak lama kemudian pintu terbuka. Namun, bukan Munik yang terlihat, melainkan seorang laki-laki dengan kaus singlet dan mata yang memerah."Mana Munik?" tanya Hadi tanpa basa-basi. Tidak peduli seseorang di depannya ini terkejut atau tidak.Mata pria itu melotot seketika. Tangan yang sebelumnya mengucek mata kini menunjuk
42. Kumpulkan Bukti Lagi***Sugi keluar dari rumah setelah ia melakukan sholat subuh, bertepatan dengan Fiddun yang baru saja pulang dari masjid. "Mas," sapanya. Ia ikut duduk di samping sang suami saat melihat wajah Fiddun yang tampak jengkel."Kenapa, Mas?" tanya Sugi.Pria itu menarik napas dalam. "Ke mana si Hadi itu? Tidak berani kah dia datang ke sini? Sampai saat ini kok nggak ada batang hidungnya yang muncul.""Mungkin belum berani, Mas. Memangnya kenapa. Kemarin-kemarin, kan Mas juga sudah bodo amat sama urusan Hadi. Yang kita fokuskan saat ini ya Matun saja dulu sama anak-anaknya." Sugi menoleh sedikit di balik bahu, menata rumah Matun yang masih tertutup rapat."Tadi, di masjid Mas sedikit mencuri dengar—""Mas nguping?" tanya Sugi yang terkejut."Sedikit. Itu pun karena nggak sengaja," jawab Fiddun dengan melirik sang istri. "Ternyata dugaan Eko benar. Sepertinya Munik memang tidak benar-benar menghapus vidio
43. Bonus***Sugi membawa Pendi yang menangis dengan sesenggukan ke teras rumahnya, wajah bocah itu masih menunduk tidak mau menatapnya. Sugi memegang kedua pundak Pendi, perempuan itu berjongkok di hadapan putra Matun yang pertama."Pendi," panggilnya lembut. "Pendi kenapa?" Masih. Bocah itu masih saja menangis sesenggukan.Sugi bangkit, ia memasuki rumah mengambilkan minuman untuk Pendi. "Minum dulu, Nak"Pendi berusaha menekan kesedihannya. Ia menerima uluran gelas dari Sugi lalu meneguknya sedikit. Sugi mengambil alih gelas itu setelah keponakannya selesai meminumnya. "Katakan sama Budha. Kenapa Pendi menangis."Pendi sedikit melirik pada Sugi, melihat Sugi mengangguk, ia pun menceritakannya. "Tadi ... di sekolah temen-temen bilangin Pendi kalau ayah Pendi seperti monster."Kening Sugi terlipat mendengar ucapan dari Pendi. "Maksudnya?""Iya. Katanya pidio Ayah pakai kolor ada di mana-mana. Makanya temen-temen Pendi bilang
44. Kecelakaan***"Ibu?" panggil Matun dengan terkejut. Ia menatap perempuan yang telah menjadi mertuanya itu. Terkejut? Tentu saja. Mengapa tiba-tiba sang mertua datang ke sini?Bukan. Bukan maksud Matun tidak menyukai kedatangan mertuanya, ia hanya terkejut saja mengingat jarak antara Tuban dan Gresik yang lumayan jauh. Apalagi kecamatan Matun tinggal terletak pada Gresik paling ujung.Pandangan Matun mengedar ke belakang tubuh perempuan di hadapannya. Mencari seseorang yang mendampingi sang mertua datang kemari. Tidak ada. Apakah mertuanya ini datang sendiri?Kembali menatap mertuanya, Matun pun segera menyalami tangan perempuan yang berumur setengah abad lebih itu. "Masuk, Bu," ajaknya dengan menuntun pelan sang mertua.Tikar ia raih di bagian pojokan ruangan, ia gelar agar bisa menjadi tempat duduk mertuanya. Ia melirik perempuan itu yang tengah memandangi sekitar, seperti menelisik ruang tamu rumahnya."Mari, Bu. Duduk." Pelan, M
45. Digrebek***"Assalamualaikum." Suara beberapa orang mengucapkan salam terdengar dari luar. Matun segera menjawab dan mencari tahu siapa yang bertamu ke rumahnya.Ah, rupanya sang bapak dan abang-abangnya beserta ipar-iparnya. "Pak, Mas, Mbak?" sapa Matun."Katanya ibu mertuamu datang, Tun?" tanya Mbah Makijan."Iya, Pak. Duduk dulu. Saya panggilkan. Tadi Matun lihat Ibu baru aja selesai makan." Matun menggelar karpet untuk tempat duduk keluarganya.Ia memasuki rumah dan mencari keberadaan sang mertua. Dilihatnya perempuan setengah abad yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Bu," panggilnya."Yo?""Ada Pak sama Masnya Matun di luar. Mau ketemu Ibu." Mak Katijah hanya mengangguk. Ia kembali melanjutkan langkah tetapi Matun mencegahnya. "Bu. Bapak Matun nggak tahu kalau Bang Hadi nggak pernah pulang. Dia juga nggak tahu masalah Matun sama Bang Hadi. Matun bilang Bang Hadi lembur makanya nggak sempet bantu Bapak ke sawah. Ma