41. Bukti
***
Hadi memarkirkan sepeda motornya di depan sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Meski dari depan ada bata yang menghiasi, tetapi bangunan keseluruhan sampai ke belakang adalah bambu.Hadi mendekati rumah itu dengan tatapan penuh kemarahan. Mengingat siapa sosok si pemilik membuat pria itu ingin menghancurkan bangunan di depannya. Berjalan tergesa-gesa ia mendekati pintu. Tangan Hadi terangkat, menggedor pintu kayu yang sudah tampak miring.
"Munik. Munik keluar kau." Suara menggelegar Hadi tentu saja mengundang perhatian beberapa orang yang tinggal di samping rumah Munik.
"Munik. Keluar." Tidak lama kemudian pintu terbuka. Namun, bukan Munik yang terlihat, melainkan seorang laki-laki dengan kaus singlet dan mata yang memerah.
"Mana Munik?" tanya Hadi tanpa basa-basi. Tidak peduli seseorang di depannya ini terkejut atau tidak.
Mata pria itu melotot seketika. Tangan yang sebelumnya mengucek mata kini menunjuk
42. Kumpulkan Bukti Lagi***Sugi keluar dari rumah setelah ia melakukan sholat subuh, bertepatan dengan Fiddun yang baru saja pulang dari masjid. "Mas," sapanya. Ia ikut duduk di samping sang suami saat melihat wajah Fiddun yang tampak jengkel."Kenapa, Mas?" tanya Sugi.Pria itu menarik napas dalam. "Ke mana si Hadi itu? Tidak berani kah dia datang ke sini? Sampai saat ini kok nggak ada batang hidungnya yang muncul.""Mungkin belum berani, Mas. Memangnya kenapa. Kemarin-kemarin, kan Mas juga sudah bodo amat sama urusan Hadi. Yang kita fokuskan saat ini ya Matun saja dulu sama anak-anaknya." Sugi menoleh sedikit di balik bahu, menata rumah Matun yang masih tertutup rapat."Tadi, di masjid Mas sedikit mencuri dengar—""Mas nguping?" tanya Sugi yang terkejut."Sedikit. Itu pun karena nggak sengaja," jawab Fiddun dengan melirik sang istri. "Ternyata dugaan Eko benar. Sepertinya Munik memang tidak benar-benar menghapus vidio
43. Bonus***Sugi membawa Pendi yang menangis dengan sesenggukan ke teras rumahnya, wajah bocah itu masih menunduk tidak mau menatapnya. Sugi memegang kedua pundak Pendi, perempuan itu berjongkok di hadapan putra Matun yang pertama."Pendi," panggilnya lembut. "Pendi kenapa?" Masih. Bocah itu masih saja menangis sesenggukan.Sugi bangkit, ia memasuki rumah mengambilkan minuman untuk Pendi. "Minum dulu, Nak"Pendi berusaha menekan kesedihannya. Ia menerima uluran gelas dari Sugi lalu meneguknya sedikit. Sugi mengambil alih gelas itu setelah keponakannya selesai meminumnya. "Katakan sama Budha. Kenapa Pendi menangis."Pendi sedikit melirik pada Sugi, melihat Sugi mengangguk, ia pun menceritakannya. "Tadi ... di sekolah temen-temen bilangin Pendi kalau ayah Pendi seperti monster."Kening Sugi terlipat mendengar ucapan dari Pendi. "Maksudnya?""Iya. Katanya pidio Ayah pakai kolor ada di mana-mana. Makanya temen-temen Pendi bilang
44. Kecelakaan***"Ibu?" panggil Matun dengan terkejut. Ia menatap perempuan yang telah menjadi mertuanya itu. Terkejut? Tentu saja. Mengapa tiba-tiba sang mertua datang ke sini?Bukan. Bukan maksud Matun tidak menyukai kedatangan mertuanya, ia hanya terkejut saja mengingat jarak antara Tuban dan Gresik yang lumayan jauh. Apalagi kecamatan Matun tinggal terletak pada Gresik paling ujung.Pandangan Matun mengedar ke belakang tubuh perempuan di hadapannya. Mencari seseorang yang mendampingi sang mertua datang kemari. Tidak ada. Apakah mertuanya ini datang sendiri?Kembali menatap mertuanya, Matun pun segera menyalami tangan perempuan yang berumur setengah abad lebih itu. "Masuk, Bu," ajaknya dengan menuntun pelan sang mertua.Tikar ia raih di bagian pojokan ruangan, ia gelar agar bisa menjadi tempat duduk mertuanya. Ia melirik perempuan itu yang tengah memandangi sekitar, seperti menelisik ruang tamu rumahnya."Mari, Bu. Duduk." Pelan, M
45. Digrebek***"Assalamualaikum." Suara beberapa orang mengucapkan salam terdengar dari luar. Matun segera menjawab dan mencari tahu siapa yang bertamu ke rumahnya.Ah, rupanya sang bapak dan abang-abangnya beserta ipar-iparnya. "Pak, Mas, Mbak?" sapa Matun."Katanya ibu mertuamu datang, Tun?" tanya Mbah Makijan."Iya, Pak. Duduk dulu. Saya panggilkan. Tadi Matun lihat Ibu baru aja selesai makan." Matun menggelar karpet untuk tempat duduk keluarganya.Ia memasuki rumah dan mencari keberadaan sang mertua. Dilihatnya perempuan setengah abad yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Bu," panggilnya."Yo?""Ada Pak sama Masnya Matun di luar. Mau ketemu Ibu." Mak Katijah hanya mengangguk. Ia kembali melanjutkan langkah tetapi Matun mencegahnya. "Bu. Bapak Matun nggak tahu kalau Bang Hadi nggak pernah pulang. Dia juga nggak tahu masalah Matun sama Bang Hadi. Matun bilang Bang Hadi lembur makanya nggak sempet bantu Bapak ke sawah. Ma
46. Lebih Bermartabat *** Seorang laki-laki berkumis membuka tudung saji di atas meja makan. Tatapannya membulat kala tidak mendapati apa oun di baliknya. Suaranya menggeram, menandakan bahwa dia tengah jengkel. Menoleh ia menatap arah luar rumah. "Munik!" teriaknya. Ya. Dialah wayan—suami Munik. "Kau tidak masak ala? Mana makanannya? Kok nggak ada?" Ia bertanya dengan nada berteriak. Munik yang sedang duduk selonjoran di atas matras dengan ponsel yang dimainkan pada tangan menjawab tanpa menoleh, "Nggak ada uang. Aku nggak masak." Sontak saja jawaban itu membuat Wayan marah. Ia membanting tudung saji begitu saja, berjalan cepat mendekati istrinya. Pria itu berdiri menjulang tepat di hadapan Munik. "Nggak ada uang? Jangan berlagak nggak ada uang, semalam aku sudah memberikanmu uang lagi." Munik yang masih memandangi ponselnya memutar bola mata jengah. Ia menurunkan tangan dengan sedikit kasar dan menatap suaminya jengah.
47. Cari Kontrakan. *** Fiddun dan Eko akan mendatangi rumah Matun. Hari ini adalah tepat tiga minggu Hadi tak kunjung pulang ke rumahnya. Fiddun tidak ingin adiknya itu menjalin hubungan yang tidak memiliki kejelasan. Apalagi adik dari Hadi sudah beberapa hari sudah menginap di rumah Matun. Meskipun juga ada mertua Matun di sana, tetap saja hal itu terlihat tidak pantas. Tepat ketika ia dan Eko datang, keduanya melihat Parmin—adik ipar Matun yang tengah merokok di atas gambang dengan segelas kopi dan duduk santai. "Eh, Mas," panggil Parmin pada keduanya. "Matun ada?" tanya Fiddun. "Ada. Di dalam sama Mak dan Rio lagi nonton tivi." Parmin menunjuk ke dalam rumah di mana orang yang dibicarakan ada di sana. "Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Fiddun yang mana Parmin langsung mengajak keduanya memasuki rumah. Matun segera menyambut dan mengajak keduanya duduk. "Tun," panggil Fiddun. "Kita mau membahas soal kamu dan
Pintu di depan Matun dan keluarganya terbuka, menampilkan sosok perempuan yang selama ini menjadi beban pikirannya. "Reta?" panggil Matun tidak percaya dengan keberadaan seseorang di hadapannya. Berbeda dengan Fiddun dan Eko yang tampak biasa dengan panggilan itu, Mak Katijah dan Parmin menunjukkan raut bingung dalam wajahnya. Reta yang mendapatkan tamu tidak terduga sebenarnya pun terkejut, tetapi perempuan itu berusaha untuk menetralkan mimik wajahnya. Reta melipat tangan di depan dada. "Siapa kalian?" tanyanya. Ia menelisik setiap orang uang berdiri di hadapannya. "Oh. Kalau yang ini saya kenal yang ini." Reta menunjuk keberadaan Matun. Parmin yang sedari tadi merasa penasaran pun mendekati kedua saudara kakak iparnya. "Dia siapa?" Eko menoleh sedikit. "Selingkuhan Hadi." Kening Parmin terlipat. "Oh ini selingkuhan kakakku?" tanya Parmin yang diangguki mantap oleh Fiddun dan Hadi. Sedangkan Matun mengangguk Kaku. Pun
49. Marah***"Apa mau kalian?" tanya Reta dengan suara mendesis tajam."Seperti yang kami katakan tadi. Kami ingin kamu menjauhi Hadi karena dia masih mempunyai iatri," jelasnya."Iya. Jadi perempuan kok murahan sekali. Laki-laki sudah mempunyai istri kok masih saja didekati." Reta menoleh ke arah Mak Katijah yang baru saja berucap hal demikian, ia memandang perempuan setengah abad yang not have akhlak Itu.Sesaat kemudian Reta tersenyum sinis, ia menyandarkan duduk pada sandaran kursi dengan menautkan kedua telapak tangannya. Reta memandangi satu persatu orang yang ada di hadapannya. "Kalian pikir aku yang merayunya?" tanya Reta santai.Ia menatap Matun yang sedari tadi hanya berdiri dan diam seribu bahasa. "Apa kalian pikir aku tidak bisa hidup tanpa Bang Hadi?" Sesaat kemudian Reta tertawa. "Kalian salah," ucapnya kemudian."Asal kalian tahu, tanpa Bang Hadi pun aku masih bisa menikmati hidupku. Kalian salah kalau memintaku menjau
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg