49. Marah
***
"Apa mau kalian?" tanya Reta dengan suara mendesis tajam.
"Seperti yang kami katakan tadi. Kami ingin kamu menjauhi Hadi karena dia masih mempunyai iatri," jelasnya.
"Iya. Jadi perempuan kok murahan sekali. Laki-laki sudah mempunyai istri kok masih saja didekati." Reta menoleh ke arah Mak Katijah yang baru saja berucap hal demikian, ia memandang perempuan setengah abad yang not have akhlak Itu.
Sesaat kemudian Reta tersenyum sinis, ia menyandarkan duduk pada sandaran kursi dengan menautkan kedua telapak tangannya. Reta memandangi satu persatu orang yang ada di hadapannya. "Kalian pikir aku yang merayunya?" tanya Reta santai.
Ia menatap Matun yang sedari tadi hanya berdiri dan diam seribu bahasa. "Apa kalian pikir aku tidak bisa hidup tanpa Bang Hadi?" Sesaat kemudian Reta tertawa. "Kalian salah," ucapnya kemudian.
"Asal kalian tahu, tanpa Bang Hadi pun aku masih bisa menikmati hidupku. Kalian salah kalau memintaku menjau
Seorang laki-laki menyambut kedatangan Matun dan yang lainnya. Sosok berkumis tipis itu sempat terkejut dengan kehadiran banyak orang di rumahnya. Apalagi ia mengenali salah satunya yaitu Eko. Laki-laki yang beberapa waktu lalu pernah datang ke rumahnya.Sesaat kemudian ia menyambut dengan tersenyum ramah dan segera mempersilakan mereka untuk masuk. Kali ini Mak Katijah tidak ikut, Parmin melarangnya karena ia takut kejadian di kosan Reta kemarin akan kembali terulang.Di mana Mak Katijah mengamuk pada Reta."Kalau boleh tahu, kalian ini siapa, ya? Dan ada keperluan apa?" tanya si tuan rumah. "Saya mengenal sama Mas ini karena beberapa waktu lalu pernah datang ke tempat ini.""Sebelumnya kenalkan dulu, Pak. Nama saya Fiddun." Kakak laki-laki Matun itu memperkenalkan diri pada sosok laki-laki yang diperkirakan sama dengan bapaknya."Ah, iya. Nama saya Tomo," balasnya memperkenalkan diri. Baru saja Fiddun ingin melanjutkan ucapannya, tetapi urung kal
Matun baru saja mencuci baju di belakang rumah ia siap mengangkat bak mandi berisi pakaian basah yang sudah ia beri pewangi untuk dijemur. Memegang kedua sisi bak berisi jemuran, Matun siap u tuk mengangkatnya.Namun, setelah ia mengumpulkan semua tenaga untuk mengangkatnya, tiba-tiba saja Parmin yang mengambil alih. Memindahkan bak yang berat itu ke bawah tiang jemuran.Matun yang masih terkejut mematung beberapa saat di tempat. "Sampai kapan Mbak mau berdiri di sana?" Pertanyaan Parmin membuat dirinya tersadar.Buru-buru Matun mendekati tiang jemuran dan mulai menjemur satu per satu pakaian yang baru ia cucu. "Terima kasih," ucap Matun yang hanya dijawab sebuah gumaman saja oleh Parmin.Keadaan hening. Beberapa kali Matu melirik Parmin yang ikut membantunya menjemur pakaian. "Kamu bisa berhenti, Min. Aku bisa menjemurnya sendiri." Tidak ada jawaban dari Parmin. Laki-laki itu tetap membantu Matun untuk meringankan pekerjaan rumah perempuan itu.Ma
"Kamu jangan aneh-aneh dan macem-macem lagi." Keesokan harinya setelah tragedi penyerangan yang secara bertubi-tubi dan serangan silat lidah panjang kali lebar dari Mak Katijah pada Hadi kemarin, perempuan setengah abad ini pun memutuskan untuk kembali ke Tuban.Mau bagaimanapun, rumahnya tidak mungkin ia biarkan kosong begitu saja. Mak Katijah cukup puas setelah memberi pelajaran pada putranya ini. "Ingat. Jangan neko-neko." Ia berdiri dengan tangan berada di pinggang, satu lagi menunjuk wajah Hadi."Iya," jawab Hadi dengan malas yang saat ini berada di depan ibunya dengan kepala tertunduk. "Padahal pas di rumah nawarin aku sama mantan." Hadi berbisik lirih."Apa!" Mak Katijah adalah orang yang terkadang bisa saja tidak mendengar apa pun bisa juga sangat sensitif. Dan saat ini, Hadi tampaknya salah waktu saat ia berbisik."Ngomong apa kamu?" Bola mata yang dihiasi keriput pada kulit itu memelototi putranya.Hadi menghela napas dalam. "Iya, iya, Ma
"Kenapa mukamu penuh dengan lebam, Di?" tanya salah satu teman Hadi yang kini berjalan di sampingnya.Hari ini pria itu masuk kerja shif satu. Akibat pukulan ibunya kemarin lusa, memarnya masih bisa dilihat di beberapa tempat. Rasa sakitnya pun masih bisa ia rasakan."Habis perang sama siapa, Di?" Hadi tidak menjawab, tetapi temannya itu pun juga tidak ingin menyerah begitu saja.Pria di sampingnya mendekatkan bibir ke telinganya, lalu berbisik lirih, "Apa seganas itu lalu Reta di ranjang? Sampai badanmu babak belur begini?""Sialan kau," ucap Hadi dengan mengangkat bogeman di tangan Kanan. Namun, bukannya takut temanya itu malah tertawa terbahak. Sepeti apa yang baru saja dilakukan adalah hal lucu.Keduanya kembali berjalan bersama, bersiap memasuki areal pekerjaan mereka. Namun, langkah Hadi terhenti begitu saja saat ia melihat sosok orang di depan sana.Perawakannya yang tegap tinggi dan besar mengatakan kalau orang itu sangatlah kuat. Ku
"Reta. Reta, Sayang. Bukan pintunya dong." Hadi mendatangi kosan Reta setelah ia pulang kerja. Rasa deg-degan masih menjalari tubuhnya akibat bertemu dengan Pak Muhklis dan mencoba untuk kabur dari kejaran laki-laki itu."Reta. Bukan dong, Sayang." Kali ini Hadi datang dengan menggedor pintu kosan Reta. Pandangannya sesekali mengarah ke tempat masuknya kompleks kosan berjaga-jaga kalau mungkin saja Pak Muhklis mengikutinya."Sayang. Buka pintunya!" seru Hadi keras. Tidak lama terdengar kunci diputar dari dalam. Lalu terlihat sosok Reta yang sepertinya baru bangun tidur."Ada apa, sih,B—" Tanpa kata, Hadi langsung nyelonong memasuki kosan Rata, ia menutup cepat pintunya dan berjalan ke ranjang lalu membanting tubuh.Napasnya masih menderu, ia terlentang dengan tangan yang terbuka lebar. Dadanya masih naik turun akibat rasa takut.Reta yang masih berdiri dan terkejut akibat ulah Hadi memandang pria itu bingung. "Ada apa, sih, Bang?" tanyanya ke
Dua orang paruh baya berdiri di depan sebuah pintu kosan, memandang pintu kayu yang terukir di bagian pinggir. Sosok laki-laki memakai kopyah mengangkat tangan, mengetuk dengan pelan.Tidak lama pintu terbuka, menampilkan sosok yang berada di baliknya. Sontak saja semua pasang mata terkejut akan siapa yang dilihat. Pak Tomo dan Bu Sukma, saat ini memandang putrinya yang bernama Reta dengan keadaan terkejut.Bagaimana tidak, pakaian yang dikenakan Reta sangatlah tidak pantas, tidak pernah ia mengajari hal seperti itu. Ya Tuhan. Putrinya tersesat terlalu jauh. Begitulah hatinya berujar.Pun dengan Reta yang membulatkan mata akibat terkejut karena mendapati sosok kedua orang tuanya yang berdiri didepannya. Tidak pernah ia duga kalau mereka akan mendatangi dirinya mengingat Bapaknya dulu enggan mengakui anak kembali."Bapak, Ibu," panggilnya lirih."Ya Alloh Minjem, kenapa kamu menjadi seperti ini?" tanya Ibu Sukma dengan meneliti pakaian yang dikenaka
Sosok laki-laki menggunakan jaket kulit hitam berdiri di depan kosan Reta. Ia tampak mondar-mandir dengan ponsel yang beberapa kali ia tempatkan di telinganya. Mencoba mendial nomor seseorang berulang kali."Ke mana Reta ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kenapa dari tadi dihubungi tidak bisa? Di kosannya pun tidak ada."Pandangannya menerawang ke depan. "Apa dia pergi lagi sama Hadi lagi, ya?" Tak ingin menduga-duga, ia pun pergi untuk mencari keberadaan perempuan bernama Reta itu.***"Pak Muhklis kemarin ngapain Bang ke sini?" Matun bertanya ketika Hadi menikmati sarapannya. Hal yang sedari kemarin membuatnya penasaran akhirnya tersampaikan juga setelah beberapa kendala setiap kali ia ingin bertanya."Biasalah. Ngajakin ngopi. Apalagi?" jawab Hadi tetap menikmati sarapannya dengan kurang minat. Entahlah. Semenjak kejadian Pak Muhklis datang ke rumah ya kemarin, Hadi seperti tidak ada semangat sama sekali.Pria itu jujur saja sedang pu
"Permisi Mbak Matun," panggil sebuah suara dari arah depan rumah. Matun yang baru saja selesai memakaikan pakaian pada Rio menggendong putranya untuk melihat siapa yang baru saja bertamu.Kening Matun terlipat saat melihat Pak Muhklis yang berdiri di ambang pintu. Saat ini pria itu tengah membelakanginya. Ada apa? Tanyanya dalam hati.Tidak ingin menduga-duga, ia pun berjalan dan mendekat pada tamunya. "Iya, Pak Muhklis." Pria itu membalikkan badan dan memberikan senyum padanya. "Masuk, Pak.""Ah, tidak, Mbak. Saya hanya mencari keberadaan Mas Hadi." Lagi-lagi pria ini datang dan mencari suaminya."Bang Hadinya belum pulang, Pak," jawab Matun."Oh. Belum pulang, ya? Kira-kira ke mana, ya? Saya pikir sudah pulang soalnya saya juga sudah pulang. Tadi saya cari di warung tempat biasa dia ngopi juga tidak ada."Kening Matun terpaut. Tidak ada adalah jawaban yang membuat Matun berpikir keras. Tidak menampik di sudut hatinya ia gelisah jika Hadi m