Matun baru saja mencuci baju di belakang rumah ia siap mengangkat bak mandi berisi pakaian basah yang sudah ia beri pewangi untuk dijemur. Memegang kedua sisi bak berisi jemuran, Matun siap u tuk mengangkatnya.
Namun, setelah ia mengumpulkan semua tenaga untuk mengangkatnya, tiba-tiba saja Parmin yang mengambil alih. Memindahkan bak yang berat itu ke bawah tiang jemuran.
Matun yang masih terkejut mematung beberapa saat di tempat. "Sampai kapan Mbak mau berdiri di sana?" Pertanyaan Parmin membuat dirinya tersadar.
Buru-buru Matun mendekati tiang jemuran dan mulai menjemur satu per satu pakaian yang baru ia cucu. "Terima kasih," ucap Matun yang hanya dijawab sebuah gumaman saja oleh Parmin.
Keadaan hening. Beberapa kali Matu melirik Parmin yang ikut membantunya menjemur pakaian. "Kamu bisa berhenti, Min. Aku bisa menjemurnya sendiri." Tidak ada jawaban dari Parmin. Laki-laki itu tetap membantu Matun untuk meringankan pekerjaan rumah perempuan itu.
Ma
"Kamu jangan aneh-aneh dan macem-macem lagi." Keesokan harinya setelah tragedi penyerangan yang secara bertubi-tubi dan serangan silat lidah panjang kali lebar dari Mak Katijah pada Hadi kemarin, perempuan setengah abad ini pun memutuskan untuk kembali ke Tuban.Mau bagaimanapun, rumahnya tidak mungkin ia biarkan kosong begitu saja. Mak Katijah cukup puas setelah memberi pelajaran pada putranya ini. "Ingat. Jangan neko-neko." Ia berdiri dengan tangan berada di pinggang, satu lagi menunjuk wajah Hadi."Iya," jawab Hadi dengan malas yang saat ini berada di depan ibunya dengan kepala tertunduk. "Padahal pas di rumah nawarin aku sama mantan." Hadi berbisik lirih."Apa!" Mak Katijah adalah orang yang terkadang bisa saja tidak mendengar apa pun bisa juga sangat sensitif. Dan saat ini, Hadi tampaknya salah waktu saat ia berbisik."Ngomong apa kamu?" Bola mata yang dihiasi keriput pada kulit itu memelototi putranya.Hadi menghela napas dalam. "Iya, iya, Ma
"Kenapa mukamu penuh dengan lebam, Di?" tanya salah satu teman Hadi yang kini berjalan di sampingnya.Hari ini pria itu masuk kerja shif satu. Akibat pukulan ibunya kemarin lusa, memarnya masih bisa dilihat di beberapa tempat. Rasa sakitnya pun masih bisa ia rasakan."Habis perang sama siapa, Di?" Hadi tidak menjawab, tetapi temannya itu pun juga tidak ingin menyerah begitu saja.Pria di sampingnya mendekatkan bibir ke telinganya, lalu berbisik lirih, "Apa seganas itu lalu Reta di ranjang? Sampai badanmu babak belur begini?""Sialan kau," ucap Hadi dengan mengangkat bogeman di tangan Kanan. Namun, bukannya takut temanya itu malah tertawa terbahak. Sepeti apa yang baru saja dilakukan adalah hal lucu.Keduanya kembali berjalan bersama, bersiap memasuki areal pekerjaan mereka. Namun, langkah Hadi terhenti begitu saja saat ia melihat sosok orang di depan sana.Perawakannya yang tegap tinggi dan besar mengatakan kalau orang itu sangatlah kuat. Ku
"Reta. Reta, Sayang. Bukan pintunya dong." Hadi mendatangi kosan Reta setelah ia pulang kerja. Rasa deg-degan masih menjalari tubuhnya akibat bertemu dengan Pak Muhklis dan mencoba untuk kabur dari kejaran laki-laki itu."Reta. Bukan dong, Sayang." Kali ini Hadi datang dengan menggedor pintu kosan Reta. Pandangannya sesekali mengarah ke tempat masuknya kompleks kosan berjaga-jaga kalau mungkin saja Pak Muhklis mengikutinya."Sayang. Buka pintunya!" seru Hadi keras. Tidak lama terdengar kunci diputar dari dalam. Lalu terlihat sosok Reta yang sepertinya baru bangun tidur."Ada apa, sih,B—" Tanpa kata, Hadi langsung nyelonong memasuki kosan Rata, ia menutup cepat pintunya dan berjalan ke ranjang lalu membanting tubuh.Napasnya masih menderu, ia terlentang dengan tangan yang terbuka lebar. Dadanya masih naik turun akibat rasa takut.Reta yang masih berdiri dan terkejut akibat ulah Hadi memandang pria itu bingung. "Ada apa, sih, Bang?" tanyanya ke
Dua orang paruh baya berdiri di depan sebuah pintu kosan, memandang pintu kayu yang terukir di bagian pinggir. Sosok laki-laki memakai kopyah mengangkat tangan, mengetuk dengan pelan.Tidak lama pintu terbuka, menampilkan sosok yang berada di baliknya. Sontak saja semua pasang mata terkejut akan siapa yang dilihat. Pak Tomo dan Bu Sukma, saat ini memandang putrinya yang bernama Reta dengan keadaan terkejut.Bagaimana tidak, pakaian yang dikenakan Reta sangatlah tidak pantas, tidak pernah ia mengajari hal seperti itu. Ya Tuhan. Putrinya tersesat terlalu jauh. Begitulah hatinya berujar.Pun dengan Reta yang membulatkan mata akibat terkejut karena mendapati sosok kedua orang tuanya yang berdiri didepannya. Tidak pernah ia duga kalau mereka akan mendatangi dirinya mengingat Bapaknya dulu enggan mengakui anak kembali."Bapak, Ibu," panggilnya lirih."Ya Alloh Minjem, kenapa kamu menjadi seperti ini?" tanya Ibu Sukma dengan meneliti pakaian yang dikenaka
Sosok laki-laki menggunakan jaket kulit hitam berdiri di depan kosan Reta. Ia tampak mondar-mandir dengan ponsel yang beberapa kali ia tempatkan di telinganya. Mencoba mendial nomor seseorang berulang kali."Ke mana Reta ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kenapa dari tadi dihubungi tidak bisa? Di kosannya pun tidak ada."Pandangannya menerawang ke depan. "Apa dia pergi lagi sama Hadi lagi, ya?" Tak ingin menduga-duga, ia pun pergi untuk mencari keberadaan perempuan bernama Reta itu.***"Pak Muhklis kemarin ngapain Bang ke sini?" Matun bertanya ketika Hadi menikmati sarapannya. Hal yang sedari kemarin membuatnya penasaran akhirnya tersampaikan juga setelah beberapa kendala setiap kali ia ingin bertanya."Biasalah. Ngajakin ngopi. Apalagi?" jawab Hadi tetap menikmati sarapannya dengan kurang minat. Entahlah. Semenjak kejadian Pak Muhklis datang ke rumah ya kemarin, Hadi seperti tidak ada semangat sama sekali.Pria itu jujur saja sedang pu
"Permisi Mbak Matun," panggil sebuah suara dari arah depan rumah. Matun yang baru saja selesai memakaikan pakaian pada Rio menggendong putranya untuk melihat siapa yang baru saja bertamu.Kening Matun terlipat saat melihat Pak Muhklis yang berdiri di ambang pintu. Saat ini pria itu tengah membelakanginya. Ada apa? Tanyanya dalam hati.Tidak ingin menduga-duga, ia pun berjalan dan mendekat pada tamunya. "Iya, Pak Muhklis." Pria itu membalikkan badan dan memberikan senyum padanya. "Masuk, Pak.""Ah, tidak, Mbak. Saya hanya mencari keberadaan Mas Hadi." Lagi-lagi pria ini datang dan mencari suaminya."Bang Hadinya belum pulang, Pak," jawab Matun."Oh. Belum pulang, ya? Kira-kira ke mana, ya? Saya pikir sudah pulang soalnya saya juga sudah pulang. Tadi saya cari di warung tempat biasa dia ngopi juga tidak ada."Kening Matun terpaut. Tidak ada adalah jawaban yang membuat Matun berpikir keras. Tidak menampik di sudut hatinya ia gelisah jika Hadi m
Sugi memberikan minuman pada Matun yang baru saja sadar dari pingsannya. Beberapa saat lalu Matun tidak sadarkan diri akibat kabar yang ia terima dari laki-laki berkumis terkenal dengan sebutannya sebagai lintah darat."Terima kasih, Mbak," ucap Matun pada Sugi setelah ia meneguk beberapa air untuk membasahi kerongkongannya.Sugi memilih duduk di samping Matun, menemani adik iparnya yang terlihat tengah shock berat. Dalam hati Sugi terus bertanya berapa nominal utang Hadi sampai Matun terlihat seperti ini."Matun bingung, Mbak. Apa sebenarnya yang Bang Hadi inginkan. Kenapa dia berbohong kalau dulu tidak berutang pada Pak Muhklis." Sugi diam. Ia pun tidak tahu apa yang harus diucapkan pada Matun.Sesaat kemudian Matun menatap Sugi. "Mbak pulang aja. Biar Matun nunggu Bang Hadi pulang dan menanyakannya," ucap Matun.Sedangkan Sugi menatap adik iparnya ragu. "Kamu yakin?" Matun mengangguk. "Baiklah. Mbak tinggal dulu. Kamu harus bisa berpikir jernih,
Matun menoleh ketika mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Ia menatap Niswa kakak ketiganya. "Ada apa, Mbak?"Niswa mendekat, duduk di depan Matun yang juga sedang bersama kedua orang tua mereka. "Itu di rumah kamu ada Pak Muhklis ngapain?" tanya Niswa dengan penasaran.Matun menghela napas dalam. Ia memandang kakak perempuannya itu dengan tatapan sendu. "Bang Hadi punya utang sama Pak Muhklis, Mbak," jawabnya lesu. Terlihat jelas rasa terkejut Niswa dari mimik wajahnya."Kok bisa?" tanya Niswa yang hanya dijawab Matun dengan mengedikkan bahu. "Bukannya susah, ya kalau punya utang sama dia. Bisa nyekik itu."Mbah Makijan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan anaknya pun turut berbicara. Ia mengutarakan pertanyaannya lagi. "Berapa, Tun utang Hadi sama Pak Muhklis?""Matun juga tidak tahu, Pak. Matun juga baru tahu tadi waktu Pak Muhklis datang ke rumah. Dia hanya mengatakan kalau Matun harus bilang sama Bang Hadi utangnya segera luna
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg