Matun menoleh ketika mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Ia menatap Niswa kakak ketiganya. "Ada apa, Mbak?"
Niswa mendekat, duduk di depan Matun yang juga sedang bersama kedua orang tua mereka. "Itu di rumah kamu ada Pak Muhklis ngapain?" tanya Niswa dengan penasaran.
Matun menghela napas dalam. Ia memandang kakak perempuannya itu dengan tatapan sendu. "Bang Hadi punya utang sama Pak Muhklis, Mbak," jawabnya lesu. Terlihat jelas rasa terkejut Niswa dari mimik wajahnya.
"Kok bisa?" tanya Niswa yang hanya dijawab Matun dengan mengedikkan bahu. "Bukannya susah, ya kalau punya utang sama dia. Bisa nyekik itu."
Mbah Makijan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan anaknya pun turut berbicara. Ia mengutarakan pertanyaannya lagi. "Berapa, Tun utang Hadi sama Pak Muhklis?"
"Matun juga tidak tahu, Pak. Matun juga baru tahu tadi waktu Pak Muhklis datang ke rumah. Dia hanya mengatakan kalau Matun harus bilang sama Bang Hadi utangnya segera luna
Mengendarai motornya Hadi menggerutu sepanjang perjalanan pulang dai bekerja. Ia baru saja memasuki shif malam di mana kali ini ia sangat mengantuk. Sesekali ia menguap dan harus melepaskan tangan dari stang motor untuk menutup mulutnya.Tahu dari mana kalian Hadi saat ini? Pulang kerja? Memang. Akan tetapi setelahnya ia menyempatkan diri untuk pergi ke kosan Reta. Mencari di mana keberadaan sang kekasih.Hadi mengetuk pintu kamar kosan Reta. "Reta. Reta kamu di mana, sih." Bak seperti orang bodoh, ia selalu datang ke sini meski pernah diberitahu kalau Reta dibawa oleh dia orang yang dikatakan adalah orang tua perempuan itu."Ke mana sih kamu, Ret. Kok ilang gitu aja. Abang, kan kangen." Hadi berucap sendiri di atas motornya. "Kenapa dulu aku tidak menanyakan di mana alamat rumah orang tua Reta, ya?"Pikiran Hadi berkelana pada Pak Muhklis yang pastinya nanti akan menagih uangnya. "Hah. Di mana lagi aku harus cari uang untuk bayar utang."Ken
Ketiga orang yang sedang berkumpul di ruang tamu Matun itu menatap ke asal suara. Mbah Makijan terlihat berdiri di teras rumah memandang dengan tanpa ekspresi. Entah apa yang dipikirkan lelaki tua itu. Di belakangnya berdiri Eko dan Fiddun yang menampilkan wajah tidak suka. Ada kemarahan jelas terlihat di sana.Jika Matun menatap bapaknya bingung, maka lain hal dengan Hadi yang memandang dengan tatapan bahagia. Hatinya bersorak senang karena merasa malaikat penolongnya sudah datang. Sebentar lagi dia akan terbebas dari utangnya pak Muhklis.Mbah Makijan melangkah memasuki rumah Matun. Pria tua itu berdiri di hadapan Pak Muhklis yang terlihat sangar dengan kumis tebal hitamnya. "Berapa utangnya Hadi?"Pak Muhklis melihat dua anak Mbah Makijan yang masih berdiri dengan raut kemarahan. Jujur saja, meski dirinya memiliki badan besar, ada sedikit rasa takut pada Fiddun yang jelas ia ketahui sepak terjang pria itu sedari kecil mereka berteman.Pak Muhklis berde
Hadi kembali mendatangi warung kopi di mana kemarin ia bertemu dengan seorang perempuan yang memikat hatinya. Memasuki warung ia melihat keberadaan Ahsan yang tengah asyik duduk dengan kepala menunduk. Tangannya memegang ponsel dengan bibir yang komat-kamit. Sepertinya pria itu tengah bermain game."Woi. Asyik bener. Sampai nggak liat sekitar," ucap Hadi menepuk tangan Ahsan.Pria itu mendongak menatap dirinya. "Eh. Kamu, Di? Dari mana?" tanyanya. Ia mematikan ponsel dan kini berfokus pada Hadi."Dari rumah." Hadi duduk tepat di hadapan Ahsan. Ia mengangkat tangan dan langsung mendapat perhatian dari si penjaga warung. "Kopi hitam gula sedikit!" teriaknya yang langsung mendapat acungan jempol dari pria bertopi yang berdiri di belakang meja berisi deretan berbagai minuman kaleng.Tatapannya kini berali kembali pada Ahsan. "Mau tanya aku ini," ucapnya.Ahsan melirik Hadi dari garis tepi cangkir yang sedang ia nikmati isinya. Meletakkan wadah kopi di
Matun sedikit mengembuskan napas dalam ketika Hadi dan Ahsan memasuki warung kopi yang ada di dekat balai desa. Ternyata suaminya benar untuk datang ke tempat ini."Bang Hadi nggak bohong, Mas. Sebaiknya kita pulang saja," ucap Matun pada kakaknya.Fiddun yang masih duduk di atas jok motor dengan melipat tangan di depan dada memandang warung kopi di hadapannya. "Kita tunggu saja dulu." Entah kenapa ia malah merasa ada sesuatu yang adik iparnya itu sembunyikan."Kenapa, Mas?""Sudah. Kita tunggu saja dulu." Matun menurut. Ia berdiri di samping motor kakaknya memandang Hadi yang tengah menikmati kopi bersama pria bernama Ahsan.Setengah jam kemudian, keduanya masih mengamati Hadi di warung kopi itu. "Mas. Kita pulang saja, ya. Matun nggak enak sama Mbak Sugi kalau nitipin Pendi sama Rio lama-lama."Fiddun memandang adiknya dalam diam, detik selanjutnya ia mengangguk. Memundurkan motor, keduanya mulai meninggalkan tempat mereka mengintai Hadi.
Hadi menoleh ke asal suara. Ia melihat seorang perempuan dengan kaus putih dilapisi jaket levis dan celana jeans. Senyumnya mengembang pertanda seseorang itu merasa bahagia bertemu dengan Hadi.Tidak kalah pula, senyum Hadi mengembang melihat siapa yang berdiri di sana memanggil namanya. Wajah semringah tidak dapat disembunyikan oleh pria itu. "Reta?" panggilnya dengan nada tidak percaya.Motor yang sebelumnya akan pergi ke arah kanan urung seketika, ia kembali berbalik ke arah kiri di mana perempuan itu berada sekarang, melajukan untuk mendekati sosok perempuan yang beberapa bulan ini ia rindukan kehadirannya."Reta?" panggil Hadi lagi saat sampai di depan Reta, menstandarkan motor dan memandang perempuan di hadapannya tidak percaya."Abang," panggil Reta dengan suara manja."Reta,""Abang,""Reta,""Abang,""Gitu aja terus sampai burung gagak bertelur burung puyuh." Cibiran seseorang membuat keduanya menole
"Pak. Matun mau ngomong." Matun berdiri di belakang bapaknya yang sedang memotong akar bambu.Mbah Makijan menghentikan kegiatannya setelah mendengar suara Matun yang berbicara. Ia menoleh dan melihat putrinya sedang berdiri di belakang tubuhnya."Ada apa, Tun?" Pria itu mengelap keringat di kening menggunakan tangan."Mmmm ... Matun ... Matun ....""Sebaiknya kita duduk. Bicarakan apa yang ingin dibicarakan." Mbah Makijan mengajak anaknya duduk setelah melihat keraguan dalam diri Matun.Bapak dan anak itu duduk di atas rumput. "Coba ngomong ada apa?"Matun memilin jarinya. "Ngomong saja, Tun.""Itu, Pak. Matun, Matun keberatan dengan apa yang didapat Eko."Kening Mbah Makijan mengerut. "Maksudnya?""Matun. Matun dan Mas juga Mbak yang lain hanya dapat uang enam juta. Sedangan Eko minta motor. Itu harganya jauh dari enam juta, Pak." Ia masih menunduk, belum berani menatap wajah bapaknya.Mbah Makijan yang me
Hadi pulang setelah ia menghabiskan waktu seharian di kosan Reta yang baru. Begitu bahagia dirinya setelah berbulan-bulan puasa bersama Reta. Kini, ia menstandarkan motor di depan rumah masuk sembari bersiul mendendangkan lagu.Namun, langkah dan siulannya terhenti setelah ia melihat Matun yang duduk di ruang tamu. Biasanya, istrinya itu kan menyambut kepulangannya jika tahu dirinya tiba. Harusnya itu dilakukan sekarang.Namun, melihat keterdiaman Matun membuat Hadi berpikiran yang tidak-tidak."Jangan-jangan Matun tahu kalau tadi aku bertemu Reta. Terus dia marah sekarang makanya nggak nyambut aku pulang." Ia menggerutu lirih.Hadi kembali meneliti mimik wajah Matun. "Tun," panggilnya. Tidak ada jawaban, Hadi meneliti pandangan Matun yang hanya menatap lurus ke depan.Hadi mengikuti arah pandang Matun, tetapi tida ada apa-apa di sana. Akhirnya pria itu mendekati sang istri. "Tun," panggilnya lagi yang tetap tidak mendapatkan jawaban.Hadi m
"Tun. Matun," panggil Hadi dengan suara panik ketika ia memasuki rumah. Pria itu baru saja pulang dari bekerja, tetapi sudah membuat heboh di kediamannya.Matun yang memang baru berganti pakaian keluar dati kamar dengan Rio di gandengannya. "Ada apa, Bang?" tanya Matun. Ia menatap bingung sang suami yang menunjukkan wajah panik.Hadi membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu. Namun urung karena merasa ragu hingga menutup kembali mulutnya. Hal itu terjadi berulang-ulang membuat Matun merasa jengkel."Ada apa, sih, Bang?" Bukannya menjawab Hadi malah menunjukkan wajah memelasnya. "Ada apa, Bang? Ditanya kok malah mau nangis. Kayak anak kecil aja.""Tun ...," panggil Hadi yang malah terdengar seperti rengekan.Bukannya kasihan Matun malah ingin tertawa melihat ekspresi suaminya. "Bang. Jangan bikin ketawa, ya.""Tun. Ini bukan waktunya ketawa.""Lah terus?""Abang ... Abang ... Abang ... baru aja kena tipu, Tun," ucap Hadi sangat li