Tidak kalah pula, senyum Hadi mengembang melihat siapa yang berdiri di sana memanggil namanya. Wajah semringah tidak dapat disembunyikan oleh pria itu. "Reta?" panggilnya dengan nada tidak percaya.
Motor yang sebelumnya akan pergi ke arah kanan urung seketika, ia kembali berbalik ke arah kiri di mana perempuan itu berada sekarang, melajukan untuk mendekati sosok perempuan yang beberapa bulan ini ia rindukan kehadirannya.
"Reta?" panggil Hadi lagi saat sampai di depan Reta, menstandarkan motor dan memandang perempuan di hadapannya tidak percaya.
"Abang," panggil Reta dengan suara manja.
"Reta,"
"Abang,"
"Reta,"
"Abang,"
"Gitu aja terus sampai burung gagak bertelur burung puyuh." Cibiran seseorang membuat keduanya menole
"Pak. Matun mau ngomong." Matun berdiri di belakang bapaknya yang sedang memotong akar bambu.Mbah Makijan menghentikan kegiatannya setelah mendengar suara Matun yang berbicara. Ia menoleh dan melihat putrinya sedang berdiri di belakang tubuhnya."Ada apa, Tun?" Pria itu mengelap keringat di kening menggunakan tangan."Mmmm ... Matun ... Matun ....""Sebaiknya kita duduk. Bicarakan apa yang ingin dibicarakan." Mbah Makijan mengajak anaknya duduk setelah melihat keraguan dalam diri Matun.Bapak dan anak itu duduk di atas rumput. "Coba ngomong ada apa?"Matun memilin jarinya. "Ngomong saja, Tun.""Itu, Pak. Matun, Matun keberatan dengan apa yang didapat Eko."Kening Mbah Makijan mengerut. "Maksudnya?""Matun. Matun dan Mas juga Mbak yang lain hanya dapat uang enam juta. Sedangan Eko minta motor. Itu harganya jauh dari enam juta, Pak." Ia masih menunduk, belum berani menatap wajah bapaknya.Mbah Makijan yang me
Hadi pulang setelah ia menghabiskan waktu seharian di kosan Reta yang baru. Begitu bahagia dirinya setelah berbulan-bulan puasa bersama Reta. Kini, ia menstandarkan motor di depan rumah masuk sembari bersiul mendendangkan lagu.Namun, langkah dan siulannya terhenti setelah ia melihat Matun yang duduk di ruang tamu. Biasanya, istrinya itu kan menyambut kepulangannya jika tahu dirinya tiba. Harusnya itu dilakukan sekarang.Namun, melihat keterdiaman Matun membuat Hadi berpikiran yang tidak-tidak."Jangan-jangan Matun tahu kalau tadi aku bertemu Reta. Terus dia marah sekarang makanya nggak nyambut aku pulang." Ia menggerutu lirih.Hadi kembali meneliti mimik wajah Matun. "Tun," panggilnya. Tidak ada jawaban, Hadi meneliti pandangan Matun yang hanya menatap lurus ke depan.Hadi mengikuti arah pandang Matun, tetapi tida ada apa-apa di sana. Akhirnya pria itu mendekati sang istri. "Tun," panggilnya lagi yang tetap tidak mendapatkan jawaban.Hadi m
"Tun. Matun," panggil Hadi dengan suara panik ketika ia memasuki rumah. Pria itu baru saja pulang dari bekerja, tetapi sudah membuat heboh di kediamannya.Matun yang memang baru berganti pakaian keluar dati kamar dengan Rio di gandengannya. "Ada apa, Bang?" tanya Matun. Ia menatap bingung sang suami yang menunjukkan wajah panik.Hadi membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu. Namun urung karena merasa ragu hingga menutup kembali mulutnya. Hal itu terjadi berulang-ulang membuat Matun merasa jengkel."Ada apa, sih, Bang?" Bukannya menjawab Hadi malah menunjukkan wajah memelasnya. "Ada apa, Bang? Ditanya kok malah mau nangis. Kayak anak kecil aja.""Tun ...," panggil Hadi yang malah terdengar seperti rengekan.Bukannya kasihan Matun malah ingin tertawa melihat ekspresi suaminya. "Bang. Jangan bikin ketawa, ya.""Tun. Ini bukan waktunya ketawa.""Lah terus?""Abang ... Abang ... Abang ... baru aja kena tipu, Tun," ucap Hadi sangat li
Matun sudah memutuskan untuk berapa hari dalam seminggu dirinya akan berkeliling desa menawarkan dagangannya. Juga ke desa mana saja ia melakukan penjualan. Ia pun juga sudah mengatakan pada Bu Siti.Tidak lupa Bu Tini mengajarkan bagaimana cara menawarkan dan cara mengingat harga berdasarkan bandrol yang ada pada baju.Akhirnya. Beberapa potong baju yang terbungkus dalam plastik merah besar sudah berada di tangannya. Ia memeriksa setiap potong baju dan mencocokkan pada catatan harga yang diberikan Bu Tini agar ia bisa memutuskan akan mengambil untung berapa per potongnya.Ruang tamu Matun tampak berserakan beberapa potong baju yang terbungkus plastik. Mbah Makijan yang kebetulan baru pulang dari sawah melihat hal itu. Meletakkan cangkul yang ia panggung, pria tua itu tidak lupa membasuh kaki dan tangannya yang kotor."Kamu baru beli baju, Tun?" tanyanya ketika memasuki rumah Matun.Matun yang sedang sibuk memeriksa harga pun terkejut akan kedatang
Siska baru saja keluar dari area pabrik, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, menandakan bahwa semua karyawan pabrik panci tempatnya bekerja telah usai dan pulang bagi pekerja yang memasuki shift satu.Bersama teman yang lain ia berjalan beriringan keluar dari gerbang. "Sis. Itu bukannya laki-laki yang pernah nganter kamu kerja, ya?"Suara temannya membuat Siska menoleh. "Tuh." Susila menatap arah yang ditunjuk temannya. Benar saja. Di sana ada Hadi yang tengah duduk di atas motornya."Bang Hadi," ucap Siska pelan."O. Namanya Hadi toh." Lagi-lagi ucapan temannya membuat Reta mengalihkan pandangan dari Hadi. Ia menatap sang teman yang kini menatap dirinya dengan jahil. "Jangan-jangan dia mau jemput kamu lagi."Entahlah. Mendengar hal itu Disuka seketika menjadi baper. Kalau sudah begini entah siapa yang harus disalahkan. Perempuan yang mudah baper atau lelaki yang suka sekali bersikap manis."Udah sana samperin. Biar nggak kelamaan nung
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan