"Tun. Matun," panggil Hadi dengan suara panik ketika ia memasuki rumah. Pria itu baru saja pulang dari bekerja, tetapi sudah membuat heboh di kediamannya.
Matun yang memang baru berganti pakaian keluar dati kamar dengan Rio di gandengannya. "Ada apa, Bang?" tanya Matun. Ia menatap bingung sang suami yang menunjukkan wajah panik.
Hadi membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu. Namun urung karena merasa ragu hingga menutup kembali mulutnya. Hal itu terjadi berulang-ulang membuat Matun merasa jengkel.
"Ada apa, sih, Bang?" Bukannya menjawab Hadi malah menunjukkan wajah memelasnya. "Ada apa, Bang? Ditanya kok malah mau nangis. Kayak anak kecil aja."
"Tun ...," panggil Hadi yang malah terdengar seperti rengekan.
Bukannya kasihan Matun malah ingin tertawa melihat ekspresi suaminya. "Bang. Jangan bikin ketawa, ya."
"Tun. Ini bukan waktunya ketawa."
"Lah terus?"
"Abang ... Abang ... Abang ... baru aja kena tipu, Tun," ucap Hadi sangat li
Matun sudah memutuskan untuk berapa hari dalam seminggu dirinya akan berkeliling desa menawarkan dagangannya. Juga ke desa mana saja ia melakukan penjualan. Ia pun juga sudah mengatakan pada Bu Siti.Tidak lupa Bu Tini mengajarkan bagaimana cara menawarkan dan cara mengingat harga berdasarkan bandrol yang ada pada baju.Akhirnya. Beberapa potong baju yang terbungkus dalam plastik merah besar sudah berada di tangannya. Ia memeriksa setiap potong baju dan mencocokkan pada catatan harga yang diberikan Bu Tini agar ia bisa memutuskan akan mengambil untung berapa per potongnya.Ruang tamu Matun tampak berserakan beberapa potong baju yang terbungkus plastik. Mbah Makijan yang kebetulan baru pulang dari sawah melihat hal itu. Meletakkan cangkul yang ia panggung, pria tua itu tidak lupa membasuh kaki dan tangannya yang kotor."Kamu baru beli baju, Tun?" tanyanya ketika memasuki rumah Matun.Matun yang sedang sibuk memeriksa harga pun terkejut akan kedatang
Siska baru saja keluar dari area pabrik, waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, menandakan bahwa semua karyawan pabrik panci tempatnya bekerja telah usai dan pulang bagi pekerja yang memasuki shift satu.Bersama teman yang lain ia berjalan beriringan keluar dari gerbang. "Sis. Itu bukannya laki-laki yang pernah nganter kamu kerja, ya?"Suara temannya membuat Siska menoleh. "Tuh." Susila menatap arah yang ditunjuk temannya. Benar saja. Di sana ada Hadi yang tengah duduk di atas motornya."Bang Hadi," ucap Siska pelan."O. Namanya Hadi toh." Lagi-lagi ucapan temannya membuat Reta mengalihkan pandangan dari Hadi. Ia menatap sang teman yang kini menatap dirinya dengan jahil. "Jangan-jangan dia mau jemput kamu lagi."Entahlah. Mendengar hal itu Disuka seketika menjadi baper. Kalau sudah begini entah siapa yang harus disalahkan. Perempuan yang mudah baper atau lelaki yang suka sekali bersikap manis."Udah sana samperin. Biar nggak kelamaan nung
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo