"Kenapa mukamu penuh dengan lebam, Di?" tanya salah satu teman Hadi yang kini berjalan di sampingnya.
Hari ini pria itu masuk kerja shif satu. Akibat pukulan ibunya kemarin lusa, memarnya masih bisa dilihat di beberapa tempat. Rasa sakitnya pun masih bisa ia rasakan.
"Habis perang sama siapa, Di?" Hadi tidak menjawab, tetapi temannya itu pun juga tidak ingin menyerah begitu saja.
Pria di sampingnya mendekatkan bibir ke telinganya, lalu berbisik lirih, "Apa seganas itu lalu Reta di ranjang? Sampai badanmu babak belur begini?"
"Sialan kau," ucap Hadi dengan mengangkat bogeman di tangan Kanan. Namun, bukannya takut temanya itu malah tertawa terbahak. Sepeti apa yang baru saja dilakukan adalah hal lucu.
Keduanya kembali berjalan bersama, bersiap memasuki areal pekerjaan mereka. Namun, langkah Hadi terhenti begitu saja saat ia melihat sosok orang di depan sana.
Perawakannya yang tegap tinggi dan besar mengatakan kalau orang itu sangatlah kuat. Ku
"Reta. Reta, Sayang. Bukan pintunya dong." Hadi mendatangi kosan Reta setelah ia pulang kerja. Rasa deg-degan masih menjalari tubuhnya akibat bertemu dengan Pak Muhklis dan mencoba untuk kabur dari kejaran laki-laki itu."Reta. Bukan dong, Sayang." Kali ini Hadi datang dengan menggedor pintu kosan Reta. Pandangannya sesekali mengarah ke tempat masuknya kompleks kosan berjaga-jaga kalau mungkin saja Pak Muhklis mengikutinya."Sayang. Buka pintunya!" seru Hadi keras. Tidak lama terdengar kunci diputar dari dalam. Lalu terlihat sosok Reta yang sepertinya baru bangun tidur."Ada apa, sih,B—" Tanpa kata, Hadi langsung nyelonong memasuki kosan Rata, ia menutup cepat pintunya dan berjalan ke ranjang lalu membanting tubuh.Napasnya masih menderu, ia terlentang dengan tangan yang terbuka lebar. Dadanya masih naik turun akibat rasa takut.Reta yang masih berdiri dan terkejut akibat ulah Hadi memandang pria itu bingung. "Ada apa, sih, Bang?" tanyanya ke
Dua orang paruh baya berdiri di depan sebuah pintu kosan, memandang pintu kayu yang terukir di bagian pinggir. Sosok laki-laki memakai kopyah mengangkat tangan, mengetuk dengan pelan.Tidak lama pintu terbuka, menampilkan sosok yang berada di baliknya. Sontak saja semua pasang mata terkejut akan siapa yang dilihat. Pak Tomo dan Bu Sukma, saat ini memandang putrinya yang bernama Reta dengan keadaan terkejut.Bagaimana tidak, pakaian yang dikenakan Reta sangatlah tidak pantas, tidak pernah ia mengajari hal seperti itu. Ya Tuhan. Putrinya tersesat terlalu jauh. Begitulah hatinya berujar.Pun dengan Reta yang membulatkan mata akibat terkejut karena mendapati sosok kedua orang tuanya yang berdiri didepannya. Tidak pernah ia duga kalau mereka akan mendatangi dirinya mengingat Bapaknya dulu enggan mengakui anak kembali."Bapak, Ibu," panggilnya lirih."Ya Alloh Minjem, kenapa kamu menjadi seperti ini?" tanya Ibu Sukma dengan meneliti pakaian yang dikenaka
Sosok laki-laki menggunakan jaket kulit hitam berdiri di depan kosan Reta. Ia tampak mondar-mandir dengan ponsel yang beberapa kali ia tempatkan di telinganya. Mencoba mendial nomor seseorang berulang kali."Ke mana Reta ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kenapa dari tadi dihubungi tidak bisa? Di kosannya pun tidak ada."Pandangannya menerawang ke depan. "Apa dia pergi lagi sama Hadi lagi, ya?" Tak ingin menduga-duga, ia pun pergi untuk mencari keberadaan perempuan bernama Reta itu.***"Pak Muhklis kemarin ngapain Bang ke sini?" Matun bertanya ketika Hadi menikmati sarapannya. Hal yang sedari kemarin membuatnya penasaran akhirnya tersampaikan juga setelah beberapa kendala setiap kali ia ingin bertanya."Biasalah. Ngajakin ngopi. Apalagi?" jawab Hadi tetap menikmati sarapannya dengan kurang minat. Entahlah. Semenjak kejadian Pak Muhklis datang ke rumah ya kemarin, Hadi seperti tidak ada semangat sama sekali.Pria itu jujur saja sedang pu
"Permisi Mbak Matun," panggil sebuah suara dari arah depan rumah. Matun yang baru saja selesai memakaikan pakaian pada Rio menggendong putranya untuk melihat siapa yang baru saja bertamu.Kening Matun terlipat saat melihat Pak Muhklis yang berdiri di ambang pintu. Saat ini pria itu tengah membelakanginya. Ada apa? Tanyanya dalam hati.Tidak ingin menduga-duga, ia pun berjalan dan mendekat pada tamunya. "Iya, Pak Muhklis." Pria itu membalikkan badan dan memberikan senyum padanya. "Masuk, Pak.""Ah, tidak, Mbak. Saya hanya mencari keberadaan Mas Hadi." Lagi-lagi pria ini datang dan mencari suaminya."Bang Hadinya belum pulang, Pak," jawab Matun."Oh. Belum pulang, ya? Kira-kira ke mana, ya? Saya pikir sudah pulang soalnya saya juga sudah pulang. Tadi saya cari di warung tempat biasa dia ngopi juga tidak ada."Kening Matun terpaut. Tidak ada adalah jawaban yang membuat Matun berpikir keras. Tidak menampik di sudut hatinya ia gelisah jika Hadi m
Sugi memberikan minuman pada Matun yang baru saja sadar dari pingsannya. Beberapa saat lalu Matun tidak sadarkan diri akibat kabar yang ia terima dari laki-laki berkumis terkenal dengan sebutannya sebagai lintah darat."Terima kasih, Mbak," ucap Matun pada Sugi setelah ia meneguk beberapa air untuk membasahi kerongkongannya.Sugi memilih duduk di samping Matun, menemani adik iparnya yang terlihat tengah shock berat. Dalam hati Sugi terus bertanya berapa nominal utang Hadi sampai Matun terlihat seperti ini."Matun bingung, Mbak. Apa sebenarnya yang Bang Hadi inginkan. Kenapa dia berbohong kalau dulu tidak berutang pada Pak Muhklis." Sugi diam. Ia pun tidak tahu apa yang harus diucapkan pada Matun.Sesaat kemudian Matun menatap Sugi. "Mbak pulang aja. Biar Matun nunggu Bang Hadi pulang dan menanyakannya," ucap Matun.Sedangkan Sugi menatap adik iparnya ragu. "Kamu yakin?" Matun mengangguk. "Baiklah. Mbak tinggal dulu. Kamu harus bisa berpikir jernih,
Matun menoleh ketika mendengar suara seseorang yang memanggil namanya. Ia menatap Niswa kakak ketiganya. "Ada apa, Mbak?"Niswa mendekat, duduk di depan Matun yang juga sedang bersama kedua orang tua mereka. "Itu di rumah kamu ada Pak Muhklis ngapain?" tanya Niswa dengan penasaran.Matun menghela napas dalam. Ia memandang kakak perempuannya itu dengan tatapan sendu. "Bang Hadi punya utang sama Pak Muhklis, Mbak," jawabnya lesu. Terlihat jelas rasa terkejut Niswa dari mimik wajahnya."Kok bisa?" tanya Niswa yang hanya dijawab Matun dengan mengedikkan bahu. "Bukannya susah, ya kalau punya utang sama dia. Bisa nyekik itu."Mbah Makijan yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan anaknya pun turut berbicara. Ia mengutarakan pertanyaannya lagi. "Berapa, Tun utang Hadi sama Pak Muhklis?""Matun juga tidak tahu, Pak. Matun juga baru tahu tadi waktu Pak Muhklis datang ke rumah. Dia hanya mengatakan kalau Matun harus bilang sama Bang Hadi utangnya segera luna
Mengendarai motornya Hadi menggerutu sepanjang perjalanan pulang dai bekerja. Ia baru saja memasuki shif malam di mana kali ini ia sangat mengantuk. Sesekali ia menguap dan harus melepaskan tangan dari stang motor untuk menutup mulutnya.Tahu dari mana kalian Hadi saat ini? Pulang kerja? Memang. Akan tetapi setelahnya ia menyempatkan diri untuk pergi ke kosan Reta. Mencari di mana keberadaan sang kekasih.Hadi mengetuk pintu kamar kosan Reta. "Reta. Reta kamu di mana, sih." Bak seperti orang bodoh, ia selalu datang ke sini meski pernah diberitahu kalau Reta dibawa oleh dia orang yang dikatakan adalah orang tua perempuan itu."Ke mana sih kamu, Ret. Kok ilang gitu aja. Abang, kan kangen." Hadi berucap sendiri di atas motornya. "Kenapa dulu aku tidak menanyakan di mana alamat rumah orang tua Reta, ya?"Pikiran Hadi berkelana pada Pak Muhklis yang pastinya nanti akan menagih uangnya. "Hah. Di mana lagi aku harus cari uang untuk bayar utang."Ken
Ketiga orang yang sedang berkumpul di ruang tamu Matun itu menatap ke asal suara. Mbah Makijan terlihat berdiri di teras rumah memandang dengan tanpa ekspresi. Entah apa yang dipikirkan lelaki tua itu. Di belakangnya berdiri Eko dan Fiddun yang menampilkan wajah tidak suka. Ada kemarahan jelas terlihat di sana.Jika Matun menatap bapaknya bingung, maka lain hal dengan Hadi yang memandang dengan tatapan bahagia. Hatinya bersorak senang karena merasa malaikat penolongnya sudah datang. Sebentar lagi dia akan terbebas dari utangnya pak Muhklis.Mbah Makijan melangkah memasuki rumah Matun. Pria tua itu berdiri di hadapan Pak Muhklis yang terlihat sangar dengan kumis tebal hitamnya. "Berapa utangnya Hadi?"Pak Muhklis melihat dua anak Mbah Makijan yang masih berdiri dengan raut kemarahan. Jujur saja, meski dirinya memiliki badan besar, ada sedikit rasa takut pada Fiddun yang jelas ia ketahui sepak terjang pria itu sedari kecil mereka berteman.Pak Muhklis berde