33. Mantannya Hadi
***
"Dah. Aku tak balik dulu," pamit Hadi pada Muhklis.
Matun dan Munik segera pergi dari tempat persembunyiannya. Perempuan pembawa gosip itu segera membawa Matun pulang ke rumahnya.
"Makasih, Nik," ucap Matun lirih ketika ia turun di depan rumah.
Munik yang melihat itu tentu saja merasa iba. Ia pikir, tadi akan menemukan bukti baru mengenai perselingkuhan Hadi dengan perempuan yang sering ia temui bersama pria itu.
Nyatanya, malah sesuatu yang baru. Bingung mau mengatakan ini baik apa enggak. Baik, masalahnya bikin anak orang jadi sedih. Kalau enggak, tetapi sudah membuka kedok Hadi yang nantinya takut menyusahkan Matun terbongkar.
"Yang sabar ya, Mbak Matun," ucap Munik yang hanya dibalas anggukan saja oleh Matun.
Tidak jauh dari sana, Sugi melihat keduanya. Ia meletakkan sapu yang sebelumnya dipegang lalu mendekati Munik dan adik iparnya. "Nik, Tun. Kalian dari mana?"
"Dar—"
"Dari waru
34. Bermuka Dua***"Bu. Jangan cepet-cepet! Rudi takut," ucap Rudi anak Munik yang saat ini berada di boncengan Munik. Akibat sang ibu yang melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata ia memeluk erat tubuh tambun sang ibu dengan memejamkan mata karena takut."Kalau nggak cepet nggak bakalan kekejar, Nak," ucap Munik. Ia menarik gas motor dengan kencang, matanya awas menatap seseorang yang berada pada motor di depannya. Angin kencang menerbangkan daster besar yang dikenakan."Ibu nggak boleh ketinggalan dia." Menyalip beberapa motor yang ada di depannya, Munik kini bagaikan pembalap internasional yang sedang menjajakan kemampuannya di jalanan bebas. Tidak patut ditiru para pembaca. Camkan itu."Memangnya kita nggak boleh ketinggalan siapa, Bu?" tanya Rudi. Matanya masih terpejam, takut dengan kecepatan sang ibu yang menginjak angka 60 kilometer perjamnya."Ada pokoknya," jawab Munik. Ia lebih baik berkonsentrasi pada motornya dan juga
35. Bersilat Lida***Munik segera menekan rem motornya secara mendadak dan menimbulkan bunyi yang cukup memekakkan telinga akibat gesekan dari roda dan aspal jalanan. Beruntunglah bagian belakang motornya tidak sampai terangkat. Di depannya, seorang penjual cilok memandang ke arah Munik dengan tatapan ngeri."Huh. Selamat," ucap Munik dengan mengelus dada ketika sudah mampu menyeimbangkan motornya. Ia menatap ke belakang, perempuan itu kembali bersyukur saat tidak ada kendaraan lain di sana."Untung saja. Kalau ada, pasti udah ketabrak tadi." Ia mengatur napas, menekan dada yang terasa berdetak lebih kencang. Matanya sesekali terpejam menikmati rasa syukurnya.Akibat dari kejadian itu, banyak warga sekitar yang mendekati mereka. Bergerumul untuk memastikan kondisi para korban. "Ibunya nggak papa?" Pertanyaan itu datang saling bersahutan.Munik mengingat kalau dirinya bersama Matun. Ia memusatkan kembali pandangan ke belakang pun
36. Mata Duitan***"Astagfirulloh, Abang!"Hadi dan Reta yang saling bertindihan terkejut seketika. Keduanya dengan segera bangkit dari pembaringan. Tanpa menunggu apa yang dipunya terlihat, Reta bersembunyi di belakang tubuh Hadi, tidak peduli laki-laki itu berdiri dengan tanpa mengenakan apa pun. Tangan kanan sigap meraih selimut yang ada di atas ranjang."Apa yang kamu lakukan, Bang?' tanya Matun dengan suara keras. Di belakang tubuh perempuan itu berdiri beberapa orang yang sebelumnya membantu mendobrak kos-kosan Reta.Hadi mengedarkan pandangan, ia melihat boxer di ujung ranjang dan segera meraihnya lalu mengenakan dengan terburu-buru. Ia menatap nyalang keberadaan sang istri. "Seharusnya aku yang bertanya. Ngapain kamu di sini?" tanya Hadi dengan suara keras. Ia memberi tatapan membunuh pada perempuan yang telah menemaninya bertahun-tahun.Tidak peduli bagaimana terkejutnya reaksi Matun, Hadi meraih pakaian Reta yang berada bera
37. Kepergok Lagi***Fiddun dan Sugi saling menatap. Keduanya sama-sama menampakkan raut bingung. "Matun kenapa, Mas?" tanya Sugi.Fiddun menggeleng. "Mana Mas tahu. Kita tanya sama Munik saja lah." Sepasang suami istri itu semakin berjalan mendekati Munik.Munik yang sebelumnya sudah menghidupkan mesin dan akan menjalankan motornya pun urung kala Sugi memanggilnya. "Ada apa, Mbak Sugi?" Munik menatap sepasang suami istri yang ada di hadapannya."Heh. Harusnya aku yang tanya. Ada apa itu si Matun? Kenapa pulang-pulang malah nangis gitu?" Sugi menepuk pelan punggung tangan Munik yang ada pada tarikan gas motor.Mimik menghela napas dalam. Ia memasang wajah sendu dan menatap ke bawah. "Tadi, tuh. Rame banget, Mbak di sana. Sayang Mbak Sugi nggak ikut. Mbak Matun tuh mergokin suaminya yang lagi ...." Munik menyatukan kedua jari telunjuknya, bermaksud menjelaskan apa yang ia lihat tadi antara Jadi dan perempuan selingkuhannya.Saya
38. Kalah Cerdik***Reta menatap kotak persegi yang sangat jauh dari kata luas. Bahkan kamarnya di kosan uang dulu jauh lebih lebar dari tempat ini. Perempuan itu sampai menganga melihat keadaan kasur lipat yang begitu tipis di bagian kanan."Berapa biayanya perbulan, Bu?" Terdengar suara Hadi yang melontarkan pertanyaan pada pemilik kosan. Reta tidak peduli, ia masih fokus mengamati tempat yang akan ditinggali."Tiga ratus ribu.""Apa?" tanya Reta dengan terkejut, bahkan perempuan itu langsung menoleh ke arah Ibu pemilik kos dan Hadi yang berdiri berhadapan."Tiga ratus ribu?" tanya Reta mengulang ucapan yang didengar beberapa waktu lalu. Sebuah anggukan dari perempuan di hadapannya adalah sebuah jawaban."Mahal sekali," ucapnya spontan. "Mana isinya kosong nggak ada apa-apa. Harganya tiga ratus ribu." Ia berucap tanpa menatap si pemilik kosan, pandangannya mengedar ke seluruh ruangan.Mimik wajah ramah yang sebelumnya tampak k
39. Kangen Reta***Niswa dan Sugi melihat Matun yang hanya duduk dengan bengong menatap ke luar jendela. Padahal, hari sudah gelap. Mereka mendekat dan mendapati tatapan Matun yang kosong."Tun," panggil Sugi dengan menepuk pundak adik iparnya. Hal itu membuat Matun berjingkat karena terkejut."Udah malem, Tun. Jangan ngelamun. Apalagi jendela kamarmu nggak ditutup. Bahaya kalau ada setan lewat," timpal Niswa yang menutup jendela kamar Matun.Sugi yang mendengar ucapan Niswa melirik adik iparnya itu dengan sinis. Sedangkan Niswa malah mengulum senyum. "Serius," ucap Sugi tanpa suara. Hanya ada gerakan bibir. Cukup mampu membuat Niswa patuh akan hal itu.Tatapan Sugi kini beralih oada Matun yang hanya menunduk. Entah kaki atau jari tangan yang sedang diperhatikan. "Tun. Jangan berlarut-larut sedihnya."Tak lama, suara isak tangis pun terdengar dari bibir Matun. Sugi segera membawa Matun pada pundaknya, sedangkan Niswa duduk di sis
40. Gali Lubang Tutup Lubang***Reta mengirimkan pesan pada seseorang dan mengatakan di mana kosannya yang baru saat ini. Sesekali melirik ke arah pintu takut-takut Hadi selesai mandi dan memasuki kamar. Ya. Kali ini kosan Reta memiliki kamar mandi di luar di mana ia harus bergantian dengan penghuni kosan lainnya.Ia memasukkan ponselnya kembali pada tas setelah pesan berhasil terkirim. Mencoba berpura-pura sedang menyiapkan baju untuk Hadi kenakan nanti.Tepat setelah ia memegang kaus Hadi, pria itu memasuki kamar. "Aduh. Ramai banget antrenya. Capek di antre buat mandi aja. " Hadi mengeluh, ia menyampirkan handuk pada gantungan baju yang ada di belakang pintu.Reta yang mendengar segera menoleh. "Tuh. Abang aja yang baru antre sekali pas mandi ngeluh. Apalagi Reta, Bang? Abang tahu sendiri kalau Reta juga lama mandinya."Hadi mengenakan celananya, ia melirik Reta yang saat ini tengah merajuk dengan melipat tangan di depan dada, jang
41. Bukti***Hadi memarkirkan sepeda motornya di depan sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Meski dari depan ada bata yang menghiasi, tetapi bangunan keseluruhan sampai ke belakang adalah bambu.Hadi mendekati rumah itu dengan tatapan penuh kemarahan. Mengingat siapa sosok si pemilik membuat pria itu ingin menghancurkan bangunan di depannya. Berjalan tergesa-gesa ia mendekati pintu. Tangan Hadi terangkat, menggedor pintu kayu yang sudah tampak miring."Munik. Munik keluar kau." Suara menggelegar Hadi tentu saja mengundang perhatian beberapa orang yang tinggal di samping rumah Munik."Munik. Keluar." Tidak lama kemudian pintu terbuka. Namun, bukan Munik yang terlihat, melainkan seorang laki-laki dengan kaus singlet dan mata yang memerah."Mana Munik?" tanya Hadi tanpa basa-basi. Tidak peduli seseorang di depannya ini terkejut atau tidak.Mata pria itu melotot seketika. Tangan yang sebelumnya mengucek mata kini menunjuk
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg