28. Pria Bertato
***
Hadi menggandeng tangan Pendi dan menggendong Rio kerja mereka memasuki pasar. Kedua bocah itu tampak antusias kala melewati pedagan mainan yang ada di sana.
"Yah. Pendi mau itu," ucap Pendi dengan menunjuk Abang-abang penjual mainan.
Hadi mengikuti arah yang ditunjuk anaknya. Sebuah mainan berbentuk kereta beserta relnya terpajang di sebuah gantungan beserta mainnya yang lainnya.
Hadi menatap anaknya. "Jangan. Itu mahal. Nanti adik kamu dibeliin apa kalau kamu sudah beli barang semahal itu.
"Tapi, Yah—"
"Mas Hadi." Sebuah suara yang menyapa membuat Hadi menoleh, ia melihat sosok perempuan dengan celana jeans dan baju yang sedikit terbuka pada bagian pundak.
Perempuan itu mengembangkan senyum, berjalan mendekatinya dengan mimik wajah yang terlihat bahagia dan bersemangat. "Ke pasar, Mas?" tanya perempuan bernama Maria.
Tiba-tiba saja senyum Hadi terbit. "Iya, Mar. Ia menelisik penampilan Maria
29. Uang Saku***Langkah Hadi dan Maria terhenti ketika mendapati Matun yang berdiri dengan tangan dilipat di depan dada. Suaranya barusan terdengar sangat menakutkan.Dua bocah yang dalam gandengan Hadi segera melepaskan tangan mereka. Langkah kaki kecilnya berlari ke arah Matun. Matun berjongkok. "Sudah pulang?" tanyanya dengan membelai pipi kedua anaknya.Pendi mengangguk, sedangkan Rio masih asyik dengan mainan di tangannya. "Kalian istirahat dulu gih di dalam." Kedua bocah itu hanya mengangguk patuh lalu memasuki rumah.Maria memandang Matun dan Hadi secara bergantian. Suasana tidak meneyenangkan pun terasa sampai ke tulang-tulang. Perempuan itu menampilkan senyum dengan deretan gigi yang terlihat rapi."Kalau begitu aku pulang dulu ya, Mas," ucapnya lirih. Maria siap untuk pulang dan meninggalkan ketegangan yang terasa jelas di antara sang mantan dan istrinya."Loh, Maria. Kamu di sini?" Namun, baru saja ia berbalik untuk pergi
30. Makan Sate***Matun meletakkan Rio yang tertidur dalam gendongannya ke atas ranjang. Mereka baru saja sampai di rumah setelah melakukan beberapa jam perjalanan yang melelahkan. Melepaskan kerudung, Matun membenahi ikatan rambutnya.“Pen. Kamu mandi gih biar nggak gatal badannya.” Setelah putranya beranjak pergi ke belakang, pandangan Matun beralih pada beberapa tumpukan kardus dan tas ransel yang masih tergeletak di depan pintu.Matun menoleh, menatap Hadi yang tampak tidur di sudut ruangan beralaskan karpet tipis. Matun menggeleng. Mana yang dimaksud dengan sofa empuk seperti di tivi-tivi itu?Lagian heran. Kenapa musti berbohong, sih?Mengedikkan bahu, Matun mendekati tas dan kardus-kardus itu. Memasukkan ke rumah. “Lebih baik ditata nanti. Masih capek. Mau mandi dulu abis ini.” Menyalakan kipas kecil, Matun pun duduk di hadapannya mengurangi hawa panas yang dirasa.***Matun memandangi Hadi yang tamp
31. Rumah Mertua***"Ben. Gue mau pinjem uangnya dong," ucap Hadi yang kini duduk di depan seorang laki-laki berperawakan kurus, hampir sama dengan dirinya tetapi pria itu memiliki rambut lebat. Berbeda dengan dirinya yang hampir botak dengan rambut tipis.Kali ini mereka berada di warung depan pabrik. Pria bernama Beno itu menatap Hadi bingung. "Tumben sekali, Di?" Mengatakan gelas kopi dan menyeruputnya.Hadi menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Aku, punya hutang sama Muhklis," jawab Hadi.Ucapan itu sontak saja membuat Beno tersedak hingga menyemburkan kopi yang sedang diminumnya. Pria itu menatap Hadi dengan bola mata melebar."Gila. Ngapain kamu main-main sama Muhklis? Dia, kan rentenir, Di.""Ye ... yang namanya rentenir, ya buat utanglah. Aku punya utang sama dia, terus bulan ini nggak bisa bayar cicilan soalnya bulan lalu nggak ada lemburan. Tapi kalo sampe nggak bayar, cicilanny
32. Bechek Menthok***"Nih makan. Jangan rebutan, Ibu sudah membawakan kalian masing-masing. " Libur kali ini Munik membawa keluarganya berlibur ke Waduk Tanjungan Jetis.Tempat wisata yang kini sudah sangat ramai akibat perombakan yang signifikan. Wisata berpusat pada air ini merupakan tempat lama tetapi disulap menjadi hal yang sangat menakjubkan. Berbagai spot foto kini sudah tersedia.Tempat yang dulunya sunyi kini tampak penuh dengan pengunjung. "Aku mau pisangnya, Bu." Salah satu anak Munik yang bernama Rudi menunjuk pisang pada kantung kresek.Munik memberikan. Tatapannya jatuh pada sang suami yang tampak menelisik sekitar. "Bapak mau apa?" tanyanya.Pria berkumis tebal itu menoleh. "Bapak mau makan saja, Bu.""Nasi putih apa nasi jagung?""Yang jagung saja." Membuka bekal yang ia bawa, Munik mulai meracik makanan untuk suaminya.Satu centong nasi jagung, satu bakwan jagung, tumis cabai hijau dan petai, tumis pep
33. Mantannya Hadi***"Dah. Aku tak balik dulu," pamit Hadi pada Muhklis.Matun dan Munik segera pergi dari tempat persembunyiannya. Perempuan pembawa gosip itu segera membawa Matun pulang ke rumahnya."Makasih, Nik," ucap Matun lirih ketika ia turun di depan rumah.Munik yang melihat itu tentu saja merasa iba. Ia pikir, tadi akan menemukan bukti baru mengenai perselingkuhan Hadi dengan perempuan yang sering ia temui bersama pria itu.Nyatanya, malah sesuatu yang baru. Bingung mau mengatakan ini baik apa enggak. Baik, masalahnya bikin anak orang jadi sedih. Kalau enggak, tetapi sudah membuka kedok Hadi yang nantinya takut menyusahkan Matun terbongkar."Yang sabar ya, Mbak Matun," ucap Munik yang hanya dibalas anggukan saja oleh Matun.Tidak jauh dari sana, Sugi melihat keduanya. Ia meletakkan sapu yang sebelumnya dipegang lalu mendekati Munik dan adik iparnya. "Nik, Tun. Kalian dari mana?""Dar—""Dari waru
34. Bermuka Dua***"Bu. Jangan cepet-cepet! Rudi takut," ucap Rudi anak Munik yang saat ini berada di boncengan Munik. Akibat sang ibu yang melajukan motor dengan kecepatan di atas rata-rata ia memeluk erat tubuh tambun sang ibu dengan memejamkan mata karena takut."Kalau nggak cepet nggak bakalan kekejar, Nak," ucap Munik. Ia menarik gas motor dengan kencang, matanya awas menatap seseorang yang berada pada motor di depannya. Angin kencang menerbangkan daster besar yang dikenakan."Ibu nggak boleh ketinggalan dia." Menyalip beberapa motor yang ada di depannya, Munik kini bagaikan pembalap internasional yang sedang menjajakan kemampuannya di jalanan bebas. Tidak patut ditiru para pembaca. Camkan itu."Memangnya kita nggak boleh ketinggalan siapa, Bu?" tanya Rudi. Matanya masih terpejam, takut dengan kecepatan sang ibu yang menginjak angka 60 kilometer perjamnya."Ada pokoknya," jawab Munik. Ia lebih baik berkonsentrasi pada motornya dan juga
35. Bersilat Lida***Munik segera menekan rem motornya secara mendadak dan menimbulkan bunyi yang cukup memekakkan telinga akibat gesekan dari roda dan aspal jalanan. Beruntunglah bagian belakang motornya tidak sampai terangkat. Di depannya, seorang penjual cilok memandang ke arah Munik dengan tatapan ngeri."Huh. Selamat," ucap Munik dengan mengelus dada ketika sudah mampu menyeimbangkan motornya. Ia menatap ke belakang, perempuan itu kembali bersyukur saat tidak ada kendaraan lain di sana."Untung saja. Kalau ada, pasti udah ketabrak tadi." Ia mengatur napas, menekan dada yang terasa berdetak lebih kencang. Matanya sesekali terpejam menikmati rasa syukurnya.Akibat dari kejadian itu, banyak warga sekitar yang mendekati mereka. Bergerumul untuk memastikan kondisi para korban. "Ibunya nggak papa?" Pertanyaan itu datang saling bersahutan.Munik mengingat kalau dirinya bersama Matun. Ia memusatkan kembali pandangan ke belakang pun
36. Mata Duitan***"Astagfirulloh, Abang!"Hadi dan Reta yang saling bertindihan terkejut seketika. Keduanya dengan segera bangkit dari pembaringan. Tanpa menunggu apa yang dipunya terlihat, Reta bersembunyi di belakang tubuh Hadi, tidak peduli laki-laki itu berdiri dengan tanpa mengenakan apa pun. Tangan kanan sigap meraih selimut yang ada di atas ranjang."Apa yang kamu lakukan, Bang?' tanya Matun dengan suara keras. Di belakang tubuh perempuan itu berdiri beberapa orang yang sebelumnya membantu mendobrak kos-kosan Reta.Hadi mengedarkan pandangan, ia melihat boxer di ujung ranjang dan segera meraihnya lalu mengenakan dengan terburu-buru. Ia menatap nyalang keberadaan sang istri. "Seharusnya aku yang bertanya. Ngapain kamu di sini?" tanya Hadi dengan suara keras. Ia memberi tatapan membunuh pada perempuan yang telah menemaninya bertahun-tahun.Tidak peduli bagaimana terkejutnya reaksi Matun, Hadi meraih pakaian Reta yang berada bera