24. Hutang Berbunga
***
Mulut Matun menganga, betapa terkejutnya ia saat mendapati hanya dua tempe goreng dan satu tahu goreng juga sambal yang tinggal sedikit.Pandangannya beralih pada wadah di mana sebelumnya ia meletakkan sayur bening. Tangannya terulur pada centongnya dan mulai mengaduk. Betapa miris hati Matun kala mendapati hanya kuah yang tersisa, tanpa sayuran sama sekali.
Ia memandang kedua anaknya yang juga menatap dirinya dengan polos, semakin sakitlah hati Matun. Jika hanya dirinya makan dengan sambal pun tidak apa. Akan tetapi masih ada Rio dan Pendi yang juga belum makan sedari tadi mereka sampai.
"Ya Alloh," ucap Matun sembari memegang dadanya, ada rasa nyeri di sana menatap wajah kedua anaknya.
Matun berjongkok di hadapan kedua anaknya, ia segera menyeka sudut mata kala merasakan bulir air mata yang akan jatuh dari sana.
Matun berbicara dengan suara serak, "Kita keluar, yuk! Cari makan di warung." Matun ingat kalau jara
25. Jalan Berdua***“Mbok Tini.” Suara seorang perempuan baru saja memasuki warung. Matun menoleh karena suara itu cukup keras terdengar.Ia mendapati seorang perempuan dengan kaus ketat berwarna putih juga rok lebar pendek di atas lutut.Tidak ingin disangka tidak sopan, Matun segera mengalihkan pandangan pada makanan yang sedang ia nikmati bersama kedua anaknya. Namun, tangannya yang siap kembali menyuapkan sesendok nasi urung kala si pemilik warung menyebutkan sebuah nama.“Oalah. Neng Maria.” Matun ingat nama itu sebelumnya disebutkan oleh mertuanya. Apakah Maria yang dimaksud adalah orang yang sama dengan orang ini?Mau tidak mau Matun kembali melirik pada keberadaan perempuan itu untuk melepaskan dahaga keingintahuannya. Memindai penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah.Jika dilihat-lihat gayanya sangat jauh dari orang lain yang tinggal di daerah sini. Ini lebih seperti penampilan anak remaja di
26. Lintah Darat***"MATUN!"Matun menoleh pada Hadi yang berteriak. "Jangan berteriak, Bang. Matun kaget."Perempuan itu kembali menoleh pada Maria, lalu beralih pada mertuanya. "Lagian, Bu. Pinter dandan bisa dipelajari, Bu. Tapi satu hal yang harus ibu tahu. Cantik itu perlu modal. Bagaimana Matun mau cantik kalau anak Ibu ini uangnya sebagian buat biayai selingkuhannya?"Mata Hadi membulat seketika. Ia tidak menyangka jika Matun akan mengatakan hal itu. "Matun," bisiknya lagi.Tidak kalah terkejutnya dengan Hadi, Maira dan Katijah pun juga mempunyai ekspresi yang sama. Dua orang itu langsung menatap Hadi yang kini tampak salah tingkah memandangi ketiga perempuan itu satu persatu.Matun tersenyum miring. "Kenapa, Bang? Kenapa wajah Abang seperti itu? Bukankah Abang selalu mengatakan kalau tuduhan Matun tidak benar? Kenapa sekarang seperti ketakutan begitu?"Tatapan yang Hadi tunjukkan seolah laki-laki itu tengah menahan marah
27. Mulut Ember***Malam kedua semua keluarga anak-anak Mak Katijah berkumpul di rumah perempuan berusia setengah abad lebih itu. Kecuali yang bekerja di luar kota tentunya. Bersama anak-anak mereka ruang tamu tampak ramai.Memang. Bentuk rumah di desa ini rata-rata masih bentuk lama. Di mana ruang tamunya sangat luas dengan dinding kayu jati. Malahan, dulu ruang tamu dibagi menjadi dua antara ruang tamu dan kandang sapi.Namun, beriring berkembangnya jaman, kandang sapi pun sudah dipisahkan.Matun duduk memangku Rio tepat di samping sang suami yang saat ini asyik berbincang dengan saudaranya. "Alhamdulillah. Sekarang di sana aku sudah punya tempat tinggal nyaman. Tivi dua puluh satu ins. Sofa panjang yang empuk seperti di tivi-tivi. Kulkas untuk menyimpan makanan. Meskipun masih satu pintu, tapi cukuplah.""Wah. Hadi sudah sukses, ya," timpal seorang lelaki dengan kaus biru bergaris putih. Ucapannya pun diangguki oleh yang lain. Semua tamp
28. Pria Bertato***Hadi menggandeng tangan Pendi dan menggendong Rio kerja mereka memasuki pasar. Kedua bocah itu tampak antusias kala melewati pedagan mainan yang ada di sana."Yah. Pendi mau itu," ucap Pendi dengan menunjuk Abang-abang penjual mainan.Hadi mengikuti arah yang ditunjuk anaknya. Sebuah mainan berbentuk kereta beserta relnya terpajang di sebuah gantungan beserta mainnya yang lainnya.Hadi menatap anaknya. "Jangan. Itu mahal. Nanti adik kamu dibeliin apa kalau kamu sudah beli barang semahal itu."Tapi, Yah—""Mas Hadi." Sebuah suara yang menyapa membuat Hadi menoleh, ia melihat sosok perempuan dengan celana jeans dan baju yang sedikit terbuka pada bagian pundak.Perempuan itu mengembangkan senyum, berjalan mendekatinya dengan mimik wajah yang terlihat bahagia dan bersemangat. "Ke pasar, Mas?" tanya perempuan bernama Maria.Tiba-tiba saja senyum Hadi terbit. "Iya, Mar. Ia menelisik penampilan Maria
29. Uang Saku***Langkah Hadi dan Maria terhenti ketika mendapati Matun yang berdiri dengan tangan dilipat di depan dada. Suaranya barusan terdengar sangat menakutkan.Dua bocah yang dalam gandengan Hadi segera melepaskan tangan mereka. Langkah kaki kecilnya berlari ke arah Matun. Matun berjongkok. "Sudah pulang?" tanyanya dengan membelai pipi kedua anaknya.Pendi mengangguk, sedangkan Rio masih asyik dengan mainan di tangannya. "Kalian istirahat dulu gih di dalam." Kedua bocah itu hanya mengangguk patuh lalu memasuki rumah.Maria memandang Matun dan Hadi secara bergantian. Suasana tidak meneyenangkan pun terasa sampai ke tulang-tulang. Perempuan itu menampilkan senyum dengan deretan gigi yang terlihat rapi."Kalau begitu aku pulang dulu ya, Mas," ucapnya lirih. Maria siap untuk pulang dan meninggalkan ketegangan yang terasa jelas di antara sang mantan dan istrinya."Loh, Maria. Kamu di sini?" Namun, baru saja ia berbalik untuk pergi
30. Makan Sate***Matun meletakkan Rio yang tertidur dalam gendongannya ke atas ranjang. Mereka baru saja sampai di rumah setelah melakukan beberapa jam perjalanan yang melelahkan. Melepaskan kerudung, Matun membenahi ikatan rambutnya.“Pen. Kamu mandi gih biar nggak gatal badannya.” Setelah putranya beranjak pergi ke belakang, pandangan Matun beralih pada beberapa tumpukan kardus dan tas ransel yang masih tergeletak di depan pintu.Matun menoleh, menatap Hadi yang tampak tidur di sudut ruangan beralaskan karpet tipis. Matun menggeleng. Mana yang dimaksud dengan sofa empuk seperti di tivi-tivi itu?Lagian heran. Kenapa musti berbohong, sih?Mengedikkan bahu, Matun mendekati tas dan kardus-kardus itu. Memasukkan ke rumah. “Lebih baik ditata nanti. Masih capek. Mau mandi dulu abis ini.” Menyalakan kipas kecil, Matun pun duduk di hadapannya mengurangi hawa panas yang dirasa.***Matun memandangi Hadi yang tamp
31. Rumah Mertua***"Ben. Gue mau pinjem uangnya dong," ucap Hadi yang kini duduk di depan seorang laki-laki berperawakan kurus, hampir sama dengan dirinya tetapi pria itu memiliki rambut lebat. Berbeda dengan dirinya yang hampir botak dengan rambut tipis.Kali ini mereka berada di warung depan pabrik. Pria bernama Beno itu menatap Hadi bingung. "Tumben sekali, Di?" Mengatakan gelas kopi dan menyeruputnya.Hadi menggaruk belakang kepalanya dan tersenyum memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. "Aku, punya hutang sama Muhklis," jawab Hadi.Ucapan itu sontak saja membuat Beno tersedak hingga menyemburkan kopi yang sedang diminumnya. Pria itu menatap Hadi dengan bola mata melebar."Gila. Ngapain kamu main-main sama Muhklis? Dia, kan rentenir, Di.""Ye ... yang namanya rentenir, ya buat utanglah. Aku punya utang sama dia, terus bulan ini nggak bisa bayar cicilan soalnya bulan lalu nggak ada lemburan. Tapi kalo sampe nggak bayar, cicilanny
32. Bechek Menthok***"Nih makan. Jangan rebutan, Ibu sudah membawakan kalian masing-masing. " Libur kali ini Munik membawa keluarganya berlibur ke Waduk Tanjungan Jetis.Tempat wisata yang kini sudah sangat ramai akibat perombakan yang signifikan. Wisata berpusat pada air ini merupakan tempat lama tetapi disulap menjadi hal yang sangat menakjubkan. Berbagai spot foto kini sudah tersedia.Tempat yang dulunya sunyi kini tampak penuh dengan pengunjung. "Aku mau pisangnya, Bu." Salah satu anak Munik yang bernama Rudi menunjuk pisang pada kantung kresek.Munik memberikan. Tatapannya jatuh pada sang suami yang tampak menelisik sekitar. "Bapak mau apa?" tanyanya.Pria berkumis tebal itu menoleh. "Bapak mau makan saja, Bu.""Nasi putih apa nasi jagung?""Yang jagung saja." Membuka bekal yang ia bawa, Munik mulai meracik makanan untuk suaminya.Satu centong nasi jagung, satu bakwan jagung, tumis cabai hijau dan petai, tumis pep