17. Langkah Kedua
***Hadi segera mencari Matun saat ia sampai di rumah. Ketika tadi mendapatkan pengusiran dari Reta karena dirinya belum bisa memberikan apa yang kekasihnya itu inginkan, membuat dirinya harus berpuasa akan jatah yang diinginkan.Dipanggilnya sang istri yang kucel. Tidak mendapat jawaban membuat Hadi semakin marah. Hingga ia mendengar suara tawa Rio—anak bungsunya.
Belakang rumah menjadi tujuan. Ia melihat Matun yang sedang memandikan anaknya. "Matun," panggilnya.
Matun yang masih asyik bercanda dengan Rio menoleh sembari bertanya, "Ada apa, Bang?" Hanya sesaat. Karena setelahnya perhatian perempuan berdaster hijau tua itu kembali pada sang putra yang tengah asyik bermain air di bak mandinya.
"Abang mau bicara sama kamu," ucap Hadi. Matanya masih melotot menampakkan kemarahannya.
Matun yang melihat itu tidak peduli. Bukan bermaksud melawan sang suami, hanya saja keberadaan Rio di dalam bak mandi tidak mungkin membu
18. Kurang Bukti***Hadi membenahi penampilannya di depan cermin. Hari ini ia memakai kaus abu-abu dengan gaya rambut yang disisir begitu klimis. Memutar-mutar tubuh untuk melihat apa ada yang kurang dalam penampilannya.Suara langkah kaki mendekat, ia segera meraih seragam kerja dan memakainya guna menutupi kaus yang ia kenakan. Detik kemudian Matun memasuki kamar, memandang dirinya sekilas dengan tangan penuh tumpukan baju yang sudah dilipat."Permisi, Bang. Matun mau tarok ini di lemari." Tanpa kata, Hadi menyingkir begitu saja. Tangannya lihai menyematkan setiap kancing seragamnya.Matun yang masih dalam kegiatan menata baju melirik keberadaan sang suami di sampingnya. Merasa heran dengan tingkah laku pria ini. Padahal, kemarin-kemarin masih menampakkan taring pada dirinya.Setelah semua rapi, Matun keluar dari kamar. Menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya. Di sela menyuapi Rio, Hadi datang dengan tampilan yang sudah rapi. Anehnya, suaminy
19. Siap Perang***"Abang keliatannya seneng bener?" Baru saja duduk dengan piring penuh nasi di depan tivi, bermaksud untuk menyantap makan malam. Akan tetapi, urung kala Matun yang duduk memangku Rio di sampingnya bertanya.Hadi menoleh, ia menghela napas dalam melihat sang istri yang menatap dirinya dengan pandangan curiga. "Kenapa bilangnya gitu?""Dari tadi Matun lihat Abang senyum-senyum gitu."Hadi mengalihkan pandangan pada piring penuh makanan yang ia bawa. Mulai menikmatinya dengan tangan. "Kenapa diam, Bang?" tanya Matun yang merasa tidak puas karena diabaikan.Hadi mengunyah lalu menelannya, menatap Matun sembari menjawab. "Marah salah, senyum salah. Mau kamu Abang ini harus bagaimana, Tun?Matun menyuapkan sebuah roti pada Rio. "Siapa tahu aja Abang lagi bahagia abis jalan dengan Minjem."Hadi terbatuk begitu saja, tersedak karena makanannya. Tidak pernah Hadi sangka kalau Matun akan mengatakan demikian. Apakah Matun
20. Terkabul***"Mas Hadi." Benar, kan? Pasti akan ada yang memanggilnya.Hadi menoleh, menatap dua orang perempuan yang duduk pada gambang di bawah pohon sawo. Ia menatap mimik wajah istrinya yang tidak bisa ditebak. Pasti sudah mendapat omongan dari Munik."Ada apa?" tanya Hadi."Mas Hadi ini dari mana. Kok kayaknya rapi sekali?" Matun masih tidak bersuara, hanya Munik yang aktif bertanya."Nggak ke mana-mana. Hanya ngopi santai sambil ngobrol di rumahnya Muhklis," jawabnya santai. Tidak ada yang ditutupi. Untuk apa?"Ngapain ngopi di rumah Bang Muhklis Mas Hadi?"Hadi tidak heran mendengar serentetan pertanyaan Munik, memaklumi para penyebar gosip mencari informasi. "Kamu tahu siapa Muhklis?" Pertanyaan Hadi dijawab anggukan oleh Munik.Hadi mendekat dan menjawab, "Pinjam uang," dari ekor mata ia bisa melihat bola mata Matun yang melotot, pun dengan Munik yang melirik sang istri.Hadi tersenyum miring. "Sebanyak
21. Cantik Dan Uang***Reta menutup pintu kosannya, ia menyandar pada kayu itu sembari menekan dada yang terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak? Hadi tiba-tiba saja datang ke kosan sepagi ini. Padahal, biasanya pria itu akan berkunjung ketika waktu sudah mepet masuk jam kerja.Atau, jika mereka ada janji. Akan tetapi, tanpa pemberitahuan kali ini datang secara tiba-tiba. Beruntung Reta bisa menghalau pria itu memasuki kosan. Jika tidak, maka Hadi akan melihat sosok yang saat ini berada di kamarnya."Kamu kenapa?" Suara berat seseorang mengejutkan Reta. Lagi-lagi ia harus dibuat spot jantung sepagi ini."Kamu, Mas. Bikin kaget aja," ucap Reta. Ia berjalan mendekat, berdiri di hadapan pria itu."Aku tanyanya biasa aja loh.""Iya. Tapi di waktu yang nggak tepat." Pria di hadapannya hanya menaikkan kedua alisnya. Reta yang melihat itu menghela napas dalam. Tagannya menunjuk ke arah luar. "Tadi ada Bang Hadi datang. Kage
22. Mata-Mata***Sembari bersiul nyaring, Hadi tengah membersihkan motornya di depan rumah. Di hari minggu ini, ia dan Matun berencana akan mengunjungi keluarga Hadi yang ada di Tuban."Di." Sebuah panggilan membuat ia menoleh. Terlihat mertuanya Makijan yang mendekat.Hadi bangkit. "Iya, Pak?" Pria itu menatap bingung ketika sang mertua mengulurkan tangan padanya.Akan tetapi, kebingungan itu segera sirna saat Makijan menarik tangannya dan meletakkan sejumlah uang dalam genggamannya. Hadi menatap lembaran itu dan sang mertua bergantian."Ini apa, Pak?" tanyanya. Sebenarnya, itu hanya kepura-puraan saja. Jelas Hadi tahu apa maksud uang yang diberikan kepadanya karena setiap akan bepergian pun Makijan selalu memberikan uang."Buat saku ke Tuban," jawab Makijan pelan. Hadi melebarkan senyum dan mengangguk. Benar bukan? Ucapnya dalam hati"Terima kasih, Pak."Hadi melirik pundaknya yang ditepuk oleh sang mertua. Sebuah pes
23. Gelang Kaki***Menggunakan tusuk gigi Hadi membersihkan daging yang menyangkut di sela-sela giginya. Kaki ditekuk ke atas satu menyangga tangan. Pria itu baru saja menghabiskan seporsi sate dan seporsi gulai beserta nasinya. Ditambah segala es teh pula.Matun yang masih menyuapi kedua anaknya menghela napas panjang. Ia tidak habis pikir pada sikap suaminya ini. “Bang. Tolong suapi Rio sama Pendi biar Matun bisa makan.”Hadi menoleh menatap dirinya dengan kedua alis yang saling bertaut. Berdecak sebelum mengambil alih piring dari tangannya.“Sini.” Betapa kasarnya apa yang dilakukan Hadi. Beruntung kuah gulai pada piring tidak sampai tumpah.“Lagian nyuapin gitu aja lama sekali. Jangan males dong, Tun.” Kening Matun terlipat mendengar ucapan suaminya. Bagian mana yang bisa disebut malas drai apa yang dilakukan Matun.Di saat Hadi mengambil alih untuk menyuapi kedua anaknya, Matun pun segera
24. Hutang Berbunga***Mulut Matun menganga, betapa terkejutnya ia saat mendapati hanya dua tempe goreng dan satu tahu goreng juga sambal yang tinggal sedikit.Pandangannya beralih pada wadah di mana sebelumnya ia meletakkan sayur bening. Tangannya terulur pada centongnya dan mulai mengaduk. Betapa miris hati Matun kala mendapati hanya kuah yang tersisa, tanpa sayuran sama sekali.Ia memandang kedua anaknya yang juga menatap dirinya dengan polos, semakin sakitlah hati Matun. Jika hanya dirinya makan dengan sambal pun tidak apa. Akan tetapi masih ada Rio dan Pendi yang juga belum makan sedari tadi mereka sampai."Ya Alloh," ucap Matun sembari memegang dadanya, ada rasa nyeri di sana menatap wajah kedua anaknya.Matun berjongkok di hadapan kedua anaknya, ia segera menyeka sudut mata kala merasakan bulir air mata yang akan jatuh dari sana.Matun berbicara dengan suara serak, "Kita keluar, yuk! Cari makan di warung." Matun ingat kalau jara
25. Jalan Berdua***“Mbok Tini.” Suara seorang perempuan baru saja memasuki warung. Matun menoleh karena suara itu cukup keras terdengar.Ia mendapati seorang perempuan dengan kaus ketat berwarna putih juga rok lebar pendek di atas lutut.Tidak ingin disangka tidak sopan, Matun segera mengalihkan pandangan pada makanan yang sedang ia nikmati bersama kedua anaknya. Namun, tangannya yang siap kembali menyuapkan sesendok nasi urung kala si pemilik warung menyebutkan sebuah nama.“Oalah. Neng Maria.” Matun ingat nama itu sebelumnya disebutkan oleh mertuanya. Apakah Maria yang dimaksud adalah orang yang sama dengan orang ini?Mau tidak mau Matun kembali melirik pada keberadaan perempuan itu untuk melepaskan dahaga keingintahuannya. Memindai penampilan perempuan itu dari atas sampai bawah.Jika dilihat-lihat gayanya sangat jauh dari orang lain yang tinggal di daerah sini. Ini lebih seperti penampilan anak remaja di