7. Beli Perhiasan
***Hadi mengetuk pintu kosan milik Reta. Di minggu pagi ini ia memutuskan untuk mengunjungi kekasihnya itu di tempat tinggalnya.Kekasih.
Ya. Dia saat ini sudah gamblang menyebut Reta sebagai kekasihnya. Toh Matun sudah tahu ini.
Satu dua kali ketukan belum ada sahutan. Ketukan keempat terdengar seseorang berteriak dari dalam. "Sebentar!" Itu Reta. Senyum Hadi pun terbit begitu saja.
Tidak lama, pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dengan rambut basah yang hanya berbalut handuk sebatas dada dan di atas lutut bagian bawah. Melihat itu Hadi bersiul sembari menelisik tubuh sang kekasih dari atas sampai bawah.
Sedangkan Reta yang melihat keberadaan Hadi di depan pintu kosannya tentu saja merasa terkejut. "Bang Hadi?" panggilnya.
"Hai, Sayang."
"Masuk-masuk, Bang." Kosan Reta adalah tipikal kos-kosan yang bebas aturan. Laki-laki dan perempuan boleh menghuninya atau sekedar mengunjungi teman di sini.
Hadi melangkah masuk, duduk pada sofa di ruang tamu milik Reta. Kosan ini lebih besar daripada kosan yang lain, tetapi lebih kecil kalau disebut kontrakan. Hanya ada beberapa ruang kecil dengan penyekat seadanya tanpa pintu.
"Reta buatkan minum dulu ya, Bang." Hadi mengangguk, ia menyamankan duduk dengan kepala mendongak.
Tidak lama, Reta sudah kembali dengan pakaian lengkap dan air minum di tangan. Seperti biasa, perempuan itu akan duduk di samping Hadi, sedikit menyerong pada laki-laki itu.
"Minum, Bang." Reta menatap Hadi yang meneguk minumannya lalu bertanya, "Kok Abang bisa ada di sini? Katanya kita nggak boleh ketemuan dulu karena takut istri Abang semakin curiga."
Air minum tinggal setengah, Hadi meletakkan gelas di atas meja sembari menjawab, "Matun sudah tahu kamu kalau kamu itu pemilik warung kopi di pojokan pabrik."
"Apa?" tanya Reta dengan suara keras, cukup mampu membuat Hadi terkejut. "Kok bisa, Bang? Terus bagaimana? Kita bagaimana? Istri Abang pasti marah dong. Dan ... dan pasti istri Nanah tidak terima. Pasti dia nyuruh Abang buat ninggalin Reta, ya? Reta nggak mau, Bang. Reta nggak mau, ya kalau Abang harus ninggalin Reta," ucap Reta dengan serentetan pertanyaan. Belum lagi nada bicaranya yang terdengar jelas kekhawatiran.
Melihat itu bukannya menjawab Hadi malah tertawa, merasa lucu juga bahagia kalau ternyata kekasihnya ini takut kehilangan dirinya.
"Kok Abang malah ketawa?" tanya Reta jengkel.
"Lagian kamu semangat banget tanyanya. Sampai nyerocos gitu."
"Ih, Abang. Reta, kan takut Abang ninggalin Reta," jawab Reta dengan melipat tangan di depan dada, membuang muka tidak menatap Hadi lagi.
Hadi membawa Reta dalam pelukannya. Posisi mereka saat ini laki-laki itu memeluk kekasihnya dari belakang.
"Siapa yang mau ninggalin kamu? Hem? Siapa?" tanya Hadi.
"Ya Abang lah. Kan kita sudah ketahuan sama istri Abang."
"Ya sudah biarkan saja. Kita lanjutkan aja. Toh sudah ketahuan ini. Nggak perlu pura-pura lagi malahan. Iya nggak?"
Bola mata Reta melirik ke atas, tampak perempuan itu sedang berpikir. "Abang berani memang?" tanya Reta sembari melirik Hadi yang ada di belakangnya.
"Kalau Abang nggak berani, Abang nggak bakalan ada di sini pagi ini," jelas Hadi. Reta terkikik geli membenarkan ucapan Hadi.
"Sudah. Nggak usah mikirin itu. Lebih baik kita happy-happy aja. Abang baru saja gajian. Abang mau nyanggupin janji Abang ke kamu buat beliin emas."
Reta sontak saja mengalihkan pandangan dengan mengubah posisinya menjadi menghadap Hadi, binar bahagia itu tampak terlihat jelas di wajahnya. "Beneran, Bang? Abang mau beliin Reta emas?" tanyanya semangat.
"Iya dong."
"Ah Abang. Terima kasih," ucap Reta dengan memeluk laki-laki suami orang itu.
"Tapi ada syaratnya," ucap Hadi tiba-tiba.
Reta melepaskan pelukannya, menatap kekasihnya dengan bingung. "Syarat?" tanya Reta dan Hadi hanya mengangguk. "Syarat apa, Bang? Kok pakai syarat, sih? Nggak ikhlas nih Abang pasti ngasihnya."
"Eh. Kata siapa nggak ikhlas. Syaratnya ini buat nambah stamina dan semangat aja kok. Mudah juga."
"Apa memang, Bang?" Tatapan Reta memicing.
"Sebelum kita berangkat, kita main dulu, yuk!" ajak Hadi dengan menaik turunkan alisnya beberapa kali.
Reta yang mengerti kata main yang dimaksud Hadi tersenyum malu. "Abang ih. Kan Reta baru saja mandi. Masak nanti mandi lagi."
"Nggak papa lah. Mandi, kan seger. Ya? Mau, ya?" Reta hanya mengangguk malu-malu. Membuat Hadi semakin gemas saja pada kekasihnya itu.
***
Reta menatap takjub deretan perhiasan yang berbaris di etalase toko. Bola matanya bergerak meneliti setiap bentuk dan model yang ada di sana.Sedangkan Hadi hanya berdiri di samping Reta sembari memerhatikan kekasihnya itu yang terus mengembangkan senyum. Gayanya yang melipat tangan di depan dada seperti bodyguard saja.
"Bagus-bagus, Bang," ucap Reta. Hadi turut tersenyum melihat kekasihnya itu bahagia.
Pandangan Reta jatuh pada sebuah kalung cantik berbandul bunga. Ia menatap penjaga yang bertugas. "Coba lihat yang itu, Mbak."
Reta menerima kalung yang ingin dia lihat. "Satu gramnya berapa, Mbak?"
"Empat ratus sembilan puluh ribu, Mbak." Mendengar itu Reta memudarkan senyumnya. Ia menatap Hadi dengan sedih.
"Kenapa?" tanya Hadi.
"Mahal, Bang," ucapnya berbisik.
"Nggak papa. Kalau kamu mau ambil aja."
Reta menggeleng. "Enggak deh." Reta mengembalikan kalungnya. Kali ini ia beralih pada gelang kaki.
"Kenapa tidak ambil yang tadi?"
"Reta mau gelang kaki aja, Bang?" Ah. Rupanya Reta ini bukan tipe yang suka memeras, ya.
Tidak mereka sadari. Seorang perempuan tambun datang mendekati keduanya dengan wajah sumeringah. "Eh, Mas Hadi. Ketemu di sini," ucap orang itu. "Sedang beliin saudaranya emas, ya?"
Hadi dan Reta menoleh, sontak saja laki-laki itu memutar bola matanya malas, tidak suka akan kehadiran orang itu. "Siapa, Bang?" tanya Reta.
Belum sempat Hadi menjawab, tetapi seseorang itu lebih dulu mengulurkan tangannya. "Kenalin, Mbak. Saya Munik." Tentu kalian tahu kenapa Hadi membenci kedatangan orang itu.
Reta dan Nunik bersalaman. Saat itulah Munik mencuri pandang ke arah bawah telinga Reta yang kebetulan perempuan itu menguncir rambutnya. Tidak ada.
"Salam kenal ya, Mbak."
"Sudah. Kamu pilih saja. Jangan hiraukan perempuan ini," sela Hadi pada pembicaraan mereka.
Reta menurut, ia kembali memfokuskan perhatian pada perhiasan di hadapannya.
Munik masih tersenyum-senyum di samping keduanya. Hadi yang menyadari itu meliriknya dengan alis terangkat satu. "Ada apa?" tanya Hadi jengah.
Munik sedikit mendekatkan posisinya dengan Hadi. Ia berbisik lirih, "Saya tahuloh, Mas kalau itu bukan saudaranya Mas Hadi."
"O. Begitu?" Munik mengangguk. "Lalu?"
"Saya bisa kok menjaga rahasia Mas Hadi dari Mbak Matun mengenai hal ini," ucap Munik sangat manis.
Hadi mengangguk. "Asal?"
"Asal ada ininya, Mas," ucap Munik dengan menggesekkan ibu jarinya pada jari telunjuk dan jari tengah.
Hadi tersenyum yang membuat Munik semakin mengembangkan senyumnya. Ia mengerti apa yang dimaksud perempuan di hadapannya.
Akan tetapi, Hadi bukan lelaki bodoh. Jika Munik bisa menjual janji di sini, tidak menutup kemungkinan dia juga akan menjual informasi di luaran sana.
Buat apa mengeluarkan uang tutup mulut. Toh Matun juga sudah mengetahuinya. Laki-laki itu sedikit mencondongkan kepala ke arah Munik.
Hadi berbisik pelan, "Nggak peduli."
***
Munik mengendarai motornya di gang satu. Melambatkannya ketika tiba pada tiga rumah yang bergandengan. Ia melihat rumah para anak-anak Mbah Makijan yang pintunya tertutup semua.Ia kembali melajukan motornya, lalu senyumnya merekah saat melihat Ibu Kasiati dan suaminya tengah duduk di pelataran rumah.
"Mbak Kasiati," panggilnya. Padahal Munik masih di atas motor, tetapi suaranya sudah menggelegar.
Menghentikan kendaraannya, Munik mendekati pasangan suami istri itu. Duduk di hadapan Ibu Kasiati.
"Mbak. Mbak kemarin bohong sama saya, ya?" Jarinya menunjuk Ibu Kasiati, tatapannya memicing berusaha mengintimidasi seseorang di hadapannya.
Ibu Kasiati beserta suaminya menyatukan alis. "Bohong apa?" tanya Ibu Kasiati.
"Soal perempuan yang bersama Mas Hadi itu," jawab Munik. "Mereka bukan saudara, kan? Tapi mereka pacaran beneran, kan? Iya, kan?" tanyanya menuntut.
"Kemarin saya bertemu mereka di toko emas pas saya ke pasar. Mas Hadi loh bilang sendiri. Malah pas waktu saya peringati soal dia yang punya istri, dia malah bilang nggak peduli," jelas Munik panjang lebar mengenai pertemuannya dengan Hadi dan kekasihnya.
"Iya?" tanya Ibu Kasiati yang terkejut.
Munik mengangguk. "Bahkan kayaknya mereka lagi belanja emas deh, Mbak," ucap Munik dengan mimik wajah khas ibu-ibu bergosip. Tidak lupa tangannya menjawil manja lutut Ibu Kasiati.
"Kalau begitu kasihan si Matun, ya," ucap Ibu Kaisati dan Munik mengangguk. "Sebenarnya yang saya ucapin kemarin benar soal siapa perempuan itu. Tapi nggak enak saja sama Mbak Matun dan Mbak Sugi. Apalagi saya juga tidak tahu apa hubungannya Mas Hadi sama perempuan itu," jelas Ibu Kasiati yang mengingat bagaimana tatapan Ibu Sugi.
"Iya, Mbak."
Sedangkan suami Ibu Kasiati Pak Yunus merasa bingung dengan pembicaraan dua perempuan di hadapannya. Apalagi saat membawa nama Hadi di sana.
"Kalian ngomongin apa, sih? Hadi kenapa? Terus perempuan itu maksudnya apa?"
Ibu Kasiati dan Munik menoleh. "Ituloh, Mas janda pemilik warung kopi di pojokan belakang pabrik. Ternyata dia ada hubungan sama Mas Hadi suaminya Mbak Matun."
"O. Itu mah udah berita lama. Mereka, kan emang pacaran," jelas Pak Yunus.
"Apa?"
***7. Jangan Bertemu Dulu***Matun berjalan cepat dari arah dapur ketika mendengar suaminya sudah pulang. Ini hari minggu, dan suaminya itu baru saja mengambil gaji untuk bulan ini. Akan tetapi, entah ke mana perginya hingga seharian penuh tidak pulang. Baru pulang setelah ashar yang menjelang ke magrib. "Bang," panggil Matun dengan meraih tangan Hadi untuk ia cium. "Sudah dapat, Bang?" tanya Matun tidak sabaran. Pasalnya, Pendi sejak beberapa hari lalu menginginkan mobil-mobilan kecil seperti temannya. Dan Matun menjanjikan jika ayah mereka mendapatkan gaji. "Baru pulang ditanyain gaji. minuman nggak ada kah, Dek?" tanya Hadi setelah melempar tubuhnya ke sofa. Matun tersenyum menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih dimasak, Bang airnya. Sebentar Matun lihat dulu." Matun kembali berlari ke arah dapur untuk membuatkan minuman suaminya. Bola mata Hadi mengikuti pergerakan Matun yang terlihat cepat memasuki rumah, ia mendengus
8. Janda Gatel***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu."Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?""Ini. Paket Ibu sudah datang.""Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."
9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka
10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik
13. Anak Jadi Korban***Matun memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Munik. Keduanya baru saja menjual gelang kaki yang sebelumnya dia rampas dari perempuan bernama Reta. Hal itu dilakukan atas rasa terima kasih Matun pada ratu gosip di desa ini.Bola mata lebar milik Munik terlihat bahagia melihat lembaran-lembaran uang yang ada di tangannya, lalu beralih menatap Matun dengan senyum lebar."Aduh, Mbak. Ini banyak banget," ucap Munik bahagia.Matun tersenyum, ia memegang tangan Munik seraya berkata, " Ini tidak ada apa-apanya dengan bantuan Mbak Munik hari ini. Saya benar-benar berterima kasih soal itu.""Ah, Mbak Matun bisa aja. Sesama kita musti saling bantu, Mbak.""Sekali lagi saya berterima kasih, Mbak Munik," ucap Matun."Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Mbak." Matun hanya mengangguk. Keduanya terpisah dengan Munik yang pulang ke rumahnya."Sudah pulang, Tun?" Matun menoleh ketika mendengar
14. Pesan Ranjang***"Terima kasih, Pak." Matun mengucapkan itu pada seorang satpam yang telah mengantarkan dirinya ke ruangan yang dulu pernah ia kunjungi bersama Munik untuk mengajukan keluhan mengenai suaminya.Hanya saja, kali ini bedanya pada satpam yang mengantar. Kali ini pria berseragam itu terlihat lebih muda dengan tubuh yang kurus."Ibu tunggu di sini dulu. Saya akan panggilkan Pak Anton," ucap satpam itu yang dia ketahui bernama Diman.Matun mengangguk, lalu duduk ketika laki-laki di hadapannya berlalu pergi pada pintu yang ia ketahui dulu mungkin adalah ruangan sang atasan.Kali ini berbeda dengan dulu. Jika dulu dia dan Munik merasa ketakutan, tidak untuk saat ini. Rasa gugup memang ada, tetapi hanya dengan menarik napas dalam ia merasa tenang.Matun seperti siap untuk melakukan peperangan. Dalam hati ia tertawa. Entah pepe
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan
Suasana kediaman Mbah Makijan tampak pengap dengan kehadiran Matun dan Fiddun. Eko yang duduk di lantai merasa ada hal penting yang akan berlangsung. Apakah ini mengenai uang tol kemarin?"Ada apa, Tun, Dun? Kok tiba-tiba kalian datang dengan wajah tegang begitu?" Mbah Makijan memerhatikan Fiddun dan Matun bergantian. Cukup terkejut mendapati kedua anaknya yang beberapa waktu lalu berselisih paham datang secara bersamaan."Pasti mau bicarain soal uang tol lagi ya, Mbak?" tebak Eko yang baru saja keluar dari kamar, ia memilih duduk di lantai menyilangkan kakinya. "Masih tetep nggak terima juga sama bagiannya?""Ko," tegur Fiddun yang memberi tatapan melotot pada anaknya. Ia memerintahkan sang dik untuk diam."Pak dan Mak sempat mikir gitu tadi. Tapi kalau tidak ya sudah. Coba katakan ada apa?"Fiddun menatap kedua orang tuanya. "Matun ingin menyampaikan sesuatu, Pak." Semua pandangan beralih pada Matun. Mbah Makijan dan Mbah Supi saling berpandangan
"Abang itu kangen sama Reta.""Abang ih. Tiap hari ketemu juga masih aja kangen." Reta tertawa cekikikan."Main yuk, Ret.""Ih, Abang. Udah tiap hari main nggak bosen apa?""Abang mana pernah bosen kalau sama kamu? Gimana? Mau, ya?" Anggukan dari Reta membuat Hadi tidak lagi membuang waktu. Ia segera melakukan aksinya mereguk surga terlarang tanpa memikirkan ada hati yang terluka.Namun, saat ia akan melakukannya untuk kedua kali, tiba-tiba saja pintu kosan Reta terbuka dengan keras, menampilkan sosok pria di ambang pintu dengan tatapan penuh amarah."Astagfirulloh!" Pekikan para perempuan itu tidak mampu mengalihkan perhatian Hadi. Pria itu hanya menatap lurus di mana sosok Kaka iparnya berdiri dengan wajah garang."Kurang ajar!" teriak Fiddun yang sudah diselimuti amarah. Tidak peduli bagaimana keadaan adik iparnya saat ini, ia melangkah cepat mendekati Hadi. Mendaratkan pukulan tepat di wajah Hadi membuat pria itu terhuyung.
Sebulan sudah Matun menjalankan usaha kreditan pakaian, ditambah dengan perabotan hasil pinjaman modal pada kedua orang tuanya. Sedikit-sedikit ia bisa mengumpulkan uang untuk masa depan."Terima kasih ya, Bu." Ia baru saja melakukan kegiatan rutin di hari Selasa di salah satu desa. Ia memasukkan uang yang baru saja diberikan pelanggannya ketika ia tidak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali."Itu seperti Bang Hadi," ucapnya dengan terkejut. "Dan itu, yang dibonceng siapa?" Tangan Matun menunjuk motor yang menjauh. "Bukannya Bang Hadi harus kerja?"Keningnya terlipat, di balik benak sana ia terus berpikir. "Tapi motornya kok beda?" Perasaan kini mulai campur aduk, antara percaya dan tidak tentang apa yang dilihat."Sebaiknya aku pastikan dulu." Matun segera membelokkan motornya, menyalakan dan mengikuti arah kepergian seseorang yang diduga Hadi.Baru saja ia menyalakan mesin, tetapi urung menari gas kala mendengar suara seseorang memangg