8. Janda Gatel
***Seorang gadis tengah membaca buku-bukunya. Sebuah suara pengiriman paket membuat ia harus keluar dari kamar dan mengambil paketnya.Di sana, ia melihat sepupunya yang tengah duduk dengan lengan yang menopang pada lutut. "Lagi ngapain, Pen?" tanya gadis bernama Nur. Namun, tidak terlihat dari bocah laki-laki itu.
"Pen. E. Ditanya malah diam aja. Nih anak emang." Nur memasuki rumahnya dengan berdecak lirih. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan sepupunya.
Nur berjalan ke arah dapur di mana ibunya sedang berkutat dengan cobek. "Bu," panggilnya.
Nur mendekat dan dia bisa melihat sang ibu yang sedang membuat bumbu. Di sampingnya ada wadah di mana berbagai macam buah sudah diiris serong. Ah, rupanya membuat bumbu rujak buah.
Perempuan yang diperkirakan berumur tiga puluhan lebih itu menoleh. Ia tersenyum melihat putrinya. "Ada apa, Nak?"
"Ini. Paket Ibu sudah datang."
"Oh. Ya sudah. Tarok di atas meja sana."
9. Janda Bohai***Menggunakan sarung karena baru saja selesai solat magrib, Fidun duduk di samping sugi karena istrinya itu baru saja menyajikan rujak buah. Biji cabai yang terlihat menggoda untuk dimakan."Kapan buat, Dek?""Tadi siang, Mas." Sugi mengambil buah mangga dan mulai mencocol pada sambal."Enak, Mas?" tanya Sugi.Fidun mengangguk. "Enak. Kurang pedes dikit." Sugi tertawa. Keduanya melanjutkan makan rujak bersama sedang Nur anak pertama mereka sedang belajar dan Ratna anak kedua sedang bermain.Asyik makan, keduanya sama-sama mendengar suara teriakan dari rumah Matun. Saling berpandangan, mencoba mendengar kembali apakah ada teriakan lagi. Benar saja, Matun kembali berteriak."Mas. Ayo!" teriak Sugi.Keduanya bergegas bangkit, tidak lupa Sugi berpesan pada Nur. "Nur tetap di rumah, jaga adek, ya?" Nur hanya mengangguk sembari terdiam melihat kedua orang tuanya berlari, merasa bingung tentunya.Teriaka
10. Tutup Mulut***Tubuh Reta menegang seketika. Ia terkejut atas ucapan perempuan di hadapannya.Dua orang laki-laki datang memasuki warung. Melihat kondisi warung yang tidak seperti biasanya mereka tentu saja merasa bingung."Ada apa?" tanya salah satunya yang memakai kaus hitam pada pekerja pabrik keramik.Laki-laki lain yang memakai kaus biru mendongak, menatap dua perempuan lalu keningnya terlipat ketika melihat salah satunya."Itu bukannya istrinya Hadi?" Mereka berdua juga merupakan para pekerja pabrik yang kebetulan sedang jadwalnya libur.Mendatangi warung karena ingin sarapan. Pekerja pabrik berkepala plontos menjawab, "Iya. Sepertinya bakal ada perang.""Kita lihat saja dulu. Siapa yang kira-kira bisa memenangkan."Sedangkan Matun yang melihat Reta hanya diam kembali bersuara. "Iya, kan? Mbak Minjem? ah. Saya lupa. Nama kamu Reta, ya. Bukan Minjem. Minjem, kan nama asli. Bukan nama kamu untuk menjajahkan tubu
11. Gajinya Kok Segini***Waktunya istirahat kerja. Seperti biasa, Hadi akan berkunjung ke warung Reta untuk melepas rindu pada kekasihnya itu.Akan tetapi, keningnya mengerut saat warung itu hari ini tutup. Hanya pintunya yang terbuka sedikit menandakan bahwa ada seseorang di dalamnya.Hadi memutuskan untuk mendekat. Namun, baru saja memasuki warung, dirinya sudah disambut dengan suara isak tangis. Ia tahu benar itu suara milik sang kekasih."Reta," panggilnya. Ia menelisik seisi warung mencari sumber suara."Reta, Sayang," panggilnya lagi. "Kamu di mana?""Di sini, Bang," jawab Reta dengan suara serak."Iya. Di sini di mana?""Di bawah laci uang." Hadi segera memutari meja yang digunakan para pembeli untuk menikmati hasil warung Reta.Ia berjalan ke arah belakang meja di mana berbagai lauk pauk masih terlihat banyak. "Reta," panggilnya ketika ia melihat sang kekasih tengah meringkuk di bawah sembari m
12. Ingin Berpisah***"Kamu mau ke mana lagi, Tun? Kok sama Munik?" tanya Sugi sembari melirik keberadaan Munik yang duduk di atas motornya.Matun menatap sejenak Munik yang tampak bersolek, lalu beralih pada kakak iparnya. "Ada sesuatu yang Matun ingin lakukan, Mbak. Dan itu membutuhkan Munik sebagai bala bantuannya," jelas Matun.Tatapan Sugi memicing, tangannya masih sigap menenangkan Rio yang memang dalam masa aktif-aktifnya. "Kamu mau melabrak perempuan itu, Tun?"Matun terkejut, lalu terkekeh mendengar ucapan Sugi. "Ya enggak lah, Mbak. Buat apa melakukan itu. Hung-buang waktu saja aku."Sugi menghela napas. "Syukurlah kalau begitu.""Matun pait dulu ya, Mbak. Doakan semoga apa yang Matun lakukan saat hari ini lancar semua," ucap Matun dengan memandang sendu kakak iparnya.Sugi hanya mengangguk, menatap tanpa kata Matun yang sedang berpamitan pada Rio di gendongannya. Setelah itu, ia hanya diam ketika Matun mendekati Munik
13. Anak Jadi Korban***Matun memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada Munik. Keduanya baru saja menjual gelang kaki yang sebelumnya dia rampas dari perempuan bernama Reta. Hal itu dilakukan atas rasa terima kasih Matun pada ratu gosip di desa ini.Bola mata lebar milik Munik terlihat bahagia melihat lembaran-lembaran uang yang ada di tangannya, lalu beralih menatap Matun dengan senyum lebar."Aduh, Mbak. Ini banyak banget," ucap Munik bahagia.Matun tersenyum, ia memegang tangan Munik seraya berkata, " Ini tidak ada apa-apanya dengan bantuan Mbak Munik hari ini. Saya benar-benar berterima kasih soal itu.""Ah, Mbak Matun bisa aja. Sesama kita musti saling bantu, Mbak.""Sekali lagi saya berterima kasih, Mbak Munik," ucap Matun."Sama-sama. Kalau begitu, saya pulang dulu ya, Mbak." Matun hanya mengangguk. Keduanya terpisah dengan Munik yang pulang ke rumahnya."Sudah pulang, Tun?" Matun menoleh ketika mendengar
14. Pesan Ranjang***"Terima kasih, Pak." Matun mengucapkan itu pada seorang satpam yang telah mengantarkan dirinya ke ruangan yang dulu pernah ia kunjungi bersama Munik untuk mengajukan keluhan mengenai suaminya.Hanya saja, kali ini bedanya pada satpam yang mengantar. Kali ini pria berseragam itu terlihat lebih muda dengan tubuh yang kurus."Ibu tunggu di sini dulu. Saya akan panggilkan Pak Anton," ucap satpam itu yang dia ketahui bernama Diman.Matun mengangguk, lalu duduk ketika laki-laki di hadapannya berlalu pergi pada pintu yang ia ketahui dulu mungkin adalah ruangan sang atasan.Kali ini berbeda dengan dulu. Jika dulu dia dan Munik merasa ketakutan, tidak untuk saat ini. Rasa gugup memang ada, tetapi hanya dengan menarik napas dalam ia merasa tenang.Matun seperti siap untuk melakukan peperangan. Dalam hati ia tertawa. Entah pepe
15. Hak Istri***PrangBunyi pecahan piring menggema di depan Tivi ruang tamu rumah Matun. Perempuan itu baru saja selesai berbenah membersihkan rumahnya, beristirahat guna mengisi perutnya yang terasa lapar.Baru saja tangan kanan terangkat akan memasukkan sesuap nasi ke mulut, tiba-tiba saja Hadi datang dan menepis piring makanan yang ada di tangannya. Matun mendongak, menatap suaminya yang berdiri dengan dada naik turun juga tatapan garang."Abang ini kenapa, sih?" tanya Matun. Ia menatap Hadi bergantian dengan piring di mana nasinya sudah tercecer di lantai."Kamu yang ada apa?" ucap Jadi penuh penekanan. Tidak ada teriakan, tetapi setiap kata yang penuh penekanan menandakan bahwa pria itu benar-benar tengah marah besar.Pasti ini semua mengenai gaji yang didapat Matun. Bersikap biasa, Matun menaikkan alisnya salah satu. "Abang ngomong apa? Kok nggak jelas banget." Perempuan dengan daster ungu itu bangkit, mendekati pecahan
16. Pura-Pura Polos***Hadi tampak ragu melihat keberadaan Muklis yang berdiri beberapa langkah di depannya. Seperti biasa, laki-laki itu sedang menerima cicilan orang yang berhutang padanya.Menoleh ke kanan dan kiri, Hadi mencoba untuk meyakinkan diri untuk berhutang pada Muklis. Dia masih memikirkan beberapa kemungkinan-kemungkinan jika berhutang pada Muklis. Mengingat orang itu adalah rentenir, pasti akan ada bunga nantinya."Heh." Sebuah tepukan pada Pundak membuat ia menoleh. Terlihat salah satu teman menyapa.Hadi tersenyum, membalas sapaan. Laki-laki bernama Tohir itu menatap arah pandang Hadi yang sebelumnya ia lihat. "Muklis?" ucapnya dengan nada bertanya. Satu alisnya terangkat menukik.Hadi kembali menatap Muklis sesaat, lalu menghadap teman di sampingnya. "Lihat anak-anak lagi nyicil utang sama Muklis. Sepertinya banyak yang berutang sama dia.""Ya. Memang banyak.""Menurutmu, mudahkah berutang sama Muklis?" tanya H