***"Papa, Dan."Adara menghembuskan napas pelan ketika akhirnya dia duduk di kursi yang berada di depan kamar rawat setelah beberapa menit lalu mendengar kabar dari dokter.Dua puluh empat jam pasca keluar dari IGD kemarin pagi, hari ini dokter kembali melakukan pemeriksaan intensif karena Ginanjar yang tak kunjung bangun.Dan sesuai pernyataan kemarin, jika Ginanjar tak bangun dalam waktu dua puluh empat jam maka dokter terpaksa harus memvonis koma pria lima puluh lima tahun itu.Entah itu satu bulan, satu tahun, atau mungkin belasan tahun, pihak medis tak bisa menentukan kapan Ginanjar akan bangun. Namun, yang jelas sepertinya tak dalam jangka waktu yang dekat."Ra."Danendra berjalan menghampiri Adara. Bukan duduk di samping, pria itu memilih untuk berjongkok di depan sang istri yang hari ini memakai celana jeans setelah pagi tadi pulang ke rumah lalu menemui Elara—memberikan stok asip kembali."Papa koma, Dan," ucap Adara tercekat. Membayangkan betapa lamanya Ginanjar tak akan sa
***"Hai.""Ra."Danendra tersenyum ketika mendapati Adara berdiri di ambang pintu untuk menyambutnya pulang dari kantor."Pulang juga.""Nungguin?""Ya begitulah," kata Adara."Maaf, tadi macet.""Its okay," kata Adara. Mengambil tas kerja Danendra, dia kemudian melangkah masuk ke rumah bersama sang suami.Satu minggu pasca peristiwa yang menimpa Ginanjar, Danendra memang sudah kembali bekerja seperti biasa karena memang rencananya untuk worf from home tak disetujui Adam.Bukan apa-apa, Danendra memiliki jadwal temu dengan klien yang tak bisa dibatalkan begitu saja. Jadi mau tak mau dia harus tetap bekerja ke kantor seperti biasa."Minum, Dan," kata Adara sambil membawakan segelas air putih yang dia ambil sendiri dari dapur."Makasih, Sayang."Dengan senang hati, Danendra mengambil gelas dari Adara lalu meneguk airnya hingga tandas karena memang hari ini terasa melelahkan.Danendra yang harusnya pulang pukul lima sore, dengan berat hati terlambat dan baru sampai di rumah pukul tujuh
***"Aku cuci piringnya dulu ya, Dan."Danendra mengangguk. "Iya," jawabnya.Setelah Danendra selesai mandi lalu menunaikan sholat bersama, Adara langsung mengajak suaminya itu turun ke bawah untuk makan malam bersama. Sambil mengobrol, makan malan selesai tepat pukul delapan malam dan seperti biasa tugas Adara setelahnya adalah; mencuci piring bekas makannya dan Danendra.Tak melulu mengandalkan asisten rumah tangga, Adara memang selalu mencuci piring maupun gelas bekasnya dan Danendra sendiri.Seperti namanya—asisten rumah tangga, tugas Mbak Vivi juga satu art lainnya hanya membantu Adara mengurus rumah dan semua itu bukan berarti Adara harus bergantung pada keduanya."Dan ih!" Adara menggeliat ketika Danendra tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di perut lalu mendekatkan hidungnya yang bangir ke ceruk leher Adara.Sensasi aneh tentu saja langsung dirasakan Adara setiap kali suaminya melakukan hal tersebut."Wangi ya," gumam Danendra ketika hidungnya mengendus aroma stroberi
***"Mana airnya, Fel. Lama banget."Felicya yang baru saja datang sambil membawa segelas air lantas berdecak mendengar rengekan Rafly yang saat ini tidur dengan posisi miring di kasur."Tunggu, aku kan harus jalan dulu. Enggak terbang," kata Felicya.Berjalan mendekat, dia duduk di pinggir kasur lalu memberikan gelas yang dia bawa pada Rafly."Nih minum dulu.""Enggak bisa bangun.""Hah?""Aku enggak bisa bangun, Felicya. Bangunin," rengek Rafly seperti anak kecil.Beberapa hari selalu lembur di kantor—berangkat pagi pulang larut, Rafly akhirnya tumbang juga. Malam-malam, tepatnya pukul sebelas, Felicya terpaksa bangun setelah mendengar racauan Rafly yang ternyata mengalami demam cukup tinggi.Meskipun merepotkan, sebagai seorang istri Felicya berusaha melayani suaminya itu. Setelah mengompres, dia bahkan bersedia ketika Rafly memintanya mengambilkan air minum dari dapur."Masa enggak bisa bangun sih, Raf?" tanya Felicya. "Aku pegang gelas nih, susah.""Simpan dulu airnya di meja te
***"Gantengnya suami aku."Adara tersenyum simpul sesaat setelah dia selesai memasangkan dasi di leher Danendra yang pagi ini memakai kemeja navy juga dasi berwarna hitam polos."Bilang apa?" tanya Danendra."Kamu ganteng, Dan," puji Adara."Bisa aja kamu," ucap Danendra."Aku serius," kata Adara."Thank you."Adara berbalik badan lalu menggendong Elara yang pagi ini juga sudah cantik setelah dimandikan lalu didandani seperti biasa oleh sang ibu.Jika tidur sebelum jam tujuh, Elara selalu bangun pukul lima pagi dan pukul enam, balita gembul itu sudah dimandikan oleh Adara karena sekarang ada rutinitas baru yang harus dilakukan yaitu; sarapan."Lihat sayang, Papa Ganteng, kan?" tanya Adara sambil menggerakkan tangan Elara."Kamu sama Elara makin hari makin mirip ya, kaya pinang dibelah dua.""Masa sih?""Iya," jawab Danendra. "Makin betah aku di rumah karena punya dua Adara.""Bagus dong kalau gitu," ucap Adara. "Oh ya, Dan. Hari ini sarapannya jangan di dapur ya. Aku lagi pengen maka
***"Pak Danendra nanti jam satu ada rapat lagi ya."Danendra yang baru saja berniat membuka pintu ruangannya lantas menoleh ke arah Susan setelah sekretarisnya itu mengatakan salah satu kegiatan yang harus Danendra lakukan siang nanti.Padahal, sekarang pun pria itu baru saja selesai menemui klien dari luar kota."Di mana? Saya lupa," tanya Danendra."Kebetulan di kantor ini, Pak. Sama Pak Adam juga kok.""Oh oke," kata Danendra. "Ingatkan saja lagi nanti, sekarang saya mau santai dulu.""Siap, Pak," jawab Susan patuh. "Kalau begitu saya permisi dulu ya.""Iya, silakan."Susan pergi, Danendra melanjutkan kegiatannya membuka pintu. Masuk ke dalam ruangan, yang dia tuju bukanlah kursi kerja, melainkan sofa yang kebetulan berada di sana."Capek," gumam Danendra setelah membaringkan tubuhnya lalu meletakkan kedua tangan di bawah kepala sebagai alas. "Adara lagi apa ya?"Memikirkan Adara, Danendra tiba-tiba saja merasa lapar. Makan siang bersama di restoran sekitar kantor mungkin bukan id
***"Pak Danendra, bangun, Pak. Udah jam satu kurang sepuluh menit."Danendra membuka matanya perlahan ketika suara perempuan terdengar dari arah samping. Mengerjap, dia menoleh lalu mendapati Susan tengah berdiri sambil membungkukan badannya."Susan.""Maaf lancang masuk tanpa izin, Pak. Tadi saya ketok pintu, tapi Papa enggak jawab," ucap Susan tak enak."Enggak apa-apa."Danendra perlahan mengubah posisinya menjadi duduk sambil mengumpulkan kesadaran, sementara Susan sudah kembali berdiri tegap sambil membawa sebuah berkas di dadanya.Lupa akan arloji yang dia pakai, Danendra memandang Susan."Jam berapa ini, Susan?""Jam satu kurang sepuluh menit, Pak," kata Susan."Jam satu?""Iya.""Adara." Satu nama itu langsung digumamkan Danendra setelah mengetahui jam berapa sekarang. Merogoh ponsel, dia berniat menghubungi Adara. Namun, sial benda pipih yang baru saja dia keluarkan dari saku celana ternyata mati.Lagi, Danendra lupa men-charge ponselnya."Kenapa, Pak?""Ah anu itu, ponsel s
***"Jadi maksudnya mulai hari ini istri saya akan ditahan?"Pertanyaan tersebut langcung diucapkan Danendra pada Pak Herbowo sesaat setelah pemeriksaan Adara akhirnya selesai.Semenjak kedatangannya tadi, Danendra memang meminta untuk menemani Adara menjalani pemeriksaan yang sebenarnya tinggal sedikit lagi."Iya, Pak. Mbak Adara resmi menjadi tahanan dan sampai proses sidang selesai, beliau akan kami tahan," ungkap Pak Herbowo."Enggak bisa gitu dong," bantah Danendra dengan segera. "Bapak tuli? Istri saya sudah jelas bilang, kalau dia bukan pelakunya, Pak. Lagipula Adara anaknya, jadi mana mungkin dia membunuh Papanya sendiri.""Pernyataan Mbak Adara sangat berbanding terbalik dengan bukti, Pak Danendra," kata Pak Herbowo. "Pada pisau, jelas ada sidik jari Mbak Adara di sana.""Itu karena saya cabut pisaunya, Pak," kata Adara yang entah sudah berapa puluh kali mengatakan hal tersebut, karena kenyataannya memang begitu.Adara tak melakukan apa-apa pada Ginanjar."Bapak dengar itu?"
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat