***"Ya Tuhan akhirnya sampai."Danendra mematikan mesin mobil lalu memundurkan jok sedikit ke belakang. Menaikkan kedua kakinya ke atas dashboard, dia merentangkan kedua tangan yang terasa sangat pegal.Istirahat beberapa kali selama perjalanan, Danendra dan Adara sampai di salah satu hotel mewah di Pangandaran setelah menghabiskan waktu delapan jam perjalanan.Cukup melelahkan, tapi semuanya akan terbayar dengan pemandangan indah yang akan mereka lihat besok pagi.Sunrise, tentu saja dia. Sengaja berangkat sore agar tiba dini hari, Danendra memang mengincar sunrise yang biasa terlihat jelas di pantai pangandaran setiap pagi.Orang bilang, untuk melihat sunrise yang cantik, Danendra harus pergi ke pantai mulai jam setengah atau jam lima pagi agar bisa melihat indahnya matahari terbit di pantai timur Pangandaran—tempatnya berada, sekarang."Semoga besok enggak mendung," gumam Danendra pelan.Setelah lima belas menit meluruskan badan, Danendra menurunkan kedua kakinya lalu menoleh pada
***"Diangkat enggak?"Adara menggeleng pelan sambil memandang Danendra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan kondisi yang lebih segar.Gerah karena menyetir dalam waktu yang lama, Danendra memang memutuskan untuk membersihkan badan meskipun jam dinding di kamar hotel kini sudah menunjukkan pukul dua pagi.Selain dia yang tak enak jika tidur dengan kondisi badan yang berkeringat, Adara pun tentunya tak akan mengizinkan dia tidur di kasur jika tak mandi lebih dulu."Enggak, Dan. Diriject terus," kata Adara setelah beberapa menit lalu dia terus mencoba menghubungi nomor baru yang sempat meneleponnya."Siapa ya?""Enggak tahu, cuman aku kok jadi khawatir sama Mama ya?" tanya Adara. "Sampai sekarang kan aku belum tahu Mama di mana terus pergi sama siapa."Mengabaikan tubuhnya yang masih memakai handuk, Danendra mendekati Adara lalu memandang istrinya itu dari samping."Mau pulang?""Siapa?""Kamu," kata Danendra. "Kali aja kamu pengen pulang karena khawatir sama Mama.""Hm.""Engg
***"Dingin."Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie, ucapan tersebut kembali dilontarkan Adara ketika kini dia dan Danendra tengah berjalan menyusuri pasir tanpa alas kaki.Baru beristirahat pukul tiga pagi tadi, sekarang—tepat pukul setengah lima, Adara dan Danendra sudag kembali terbangun untuk menikmati sunrise yang sebentar lagi akan muncul di pantai bagian timur Pangandaran.Sebenarnya pusing, tapi rasanya juga sayang jika harus melawatkan pemandangan indah yang tak bisa mereka lihat setiap harinya."Mau aku peluk?" tanya Danendra yang sejak tadi sibuk mengotak-atik kameranya."Enggak usah," kata Adara."Hm.""Udah di sini aja kayanya, Dan," ucap Adara ketika dia dan Danendra sudah sampai di bibir pantai. "Jelas juga dari sini.""Oh mau di sini?""Iya, di sini aja.""Oke deh," kata Danendra patuh."Mau duduk.""Sebentar," pinta Danendra. Sebelum Adara, dia tiba-tiba saja duduk berselonjor di atas pasir lalu menepuk kedua pahanya. "Duduk.""Hah?""Duduk di paha aku," pin
***"Kamu lagi apa?"Perempuan berpiyama satin yang sejak tadi duduk di sebuah kursi balkon menoleh ketika sebuah pertanyaan dilontarkan seorang pria yang kini berjalan menghampirinya lalu duduk di kursi."Udah bangun?""Udah," jawab pria tersebut. "Kalau belum, aku enggak akan ada di sini.""Ah iya.""Kamu belum jawab pertanyaanku," kata pria itu lagi. "Lagi ngapain di sini?""Habis nelepon Adara. Dia pasti khawatir karena dari kemarin aku enggak ngasih kabar."Perempuan berpiyama satin tersebut adalah Monica dan pria yang kini duduk di sampingnya adalah Erlangga, pria yang menemani mertua Danendra itu menginap semalaman di villa.Hubungan gelap? Mungkin bisa disebut seperti itu karena yang dilakukan Monica juga Erlangga semalam tak sekadar tidur berdua.Ada hal lain yang mereka lakukan dan jika Ginanjar tahu, bencana besar akan menimpa mereka.Monica dan Erlangga bukan dua orang yang asing. Keduanya sempat dekat puluhan tahun silam sebelum akhirnya Monica menikah dengan Ginanjar.Be
***"Bumbunya udah kecampur kok, enggak usah diaduk terus.""Eh, hah? Gimana, Dan?"Adara yang sejak tadi melamun sambil mengaduk macaroni schotel miliknya sedikit terkesiap mendengar ucapan Danendra."Kamu ngomong apa barusan?""Kamu cantik," jawab Danendra asal. Berbeda dengan Adara yang memilih macaroni sebagai sarapan, Danendra sejak tadi menyantap wafflenya dengan lahap."Enggak, bukan itu. Aku dengernya tadi kamu ngomong panjang kok," kata Adara. "Ngomong apa?""Aku ngomong, bumbu macaroni schotelnya udah kecampur. Enggak usah diaduk terus," kata Danendra.Adara menunduk lalu memandang makanannya yang memang sudah tak berbentuk karena yang dia lakukan sejak tadi adalah terus mengaduknya.Pulang dari pantai usai menikmati sunrise, Danendra mengajak Adara untuk sarapan sebelum kembali ke kamar hotel.Namun, alih-alih menyantap sarapannya dengan lahap, Adara justru sibuk memikirkan Monica.Mendapat telepon dari sang Mama yang mengatakan jika dia baik-baik saja di Puncak Bogor, haru
***"Aku bisa bawa kamu pergi kemanapun kamu mau."Monica tersenyum ketika pernyataan tersebut kembali dilontarkan Erlangga untuk yang kesekian kalinya."Aku enggak bisa.""Ginanjar hanya bisa menyakiti kamu, Monica," desah Erlangga. "Sedangkan aku? Aku bisa bahagiakan kamu.""Kamu bisa bahagiakan perempuan lain," kata Monica lagi. "Setelah ini, aku mungkin enggak akan bisa bebas pergi lagi sama kamu. Aku enggak mau cari gara-gara sama Mas Ginanjar.""Monica.""Enggak, Erlangga."Monica dan Erlangga yang semula berniat menghabiskan waktu dua malam di villa, membatalkan rencana mereka karena Monica yang berubah pikiran.Ini semua salah. Apa yang dilakukan Monica di belakang Ginanjar jelas salah karena tak seharusnya dia mengkhianati suaminya itu.Sejahat apapun Ginanjar, Tak sepantasnya Monica bermain di belakang pria itu karena sebaik-baiknya perselingkuhan, tetap saja semua itu tak baik.Lagipula, Monica tak mau mengecewakan Adara. Sebagai seorang ibu, dia harus menjadi contoh yang b
***"Udah bangun?"Adara menoleh ke arah pintu ketika pertanyaan tersebut terdengar di telinganya. Baru bangun dari tidur siangnya, dia memandang Danendra yang kini datang sambil membawa dua gelas es kelapa muda."Dan," panggil Danendra.Danendra yang semula tersenyum, perlahan melunturkan senyumannya ketika menyadari ada yang tak beres dengan Adara.Istrinya itu terlihat gelisah dengan keringat yang membasahi wajah cantiknya."Kamu kenapa?""Aku ... a-aku ...."Adara terbata. Sebelum menjawab pertanyaan Danendra, yang dia lakukan sekarang adalah beringsut dari kasur lalu berjalan menghampiri Danendra yang masih berdiri di dekat pintu.Tanpa ragu, Adara tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di pinggang Danendra lalu menenggelamkan kepala di dada bidang sang suami."Dan.""Hey, kamu kenapa?" tanya Danendra sambil menunduk—memandang Adara. Membawa dua gelas es kelapa di kedua tangannya, dia tak bisa membalas pelukan sang istri. "Ada apa?""Mimpi buruk," ucap Adara tanpa melepaskan
***"Istirahat dulu di depan ya, tangan aku pegal.""Iya, Dan. Boleh."Langsung pulang dari Pangandaran sekitar pukul satu siang, Danendra dan Adara sudah setengah jalan. Sampai di sebuah daerah yang mereka tak tahu namanya, Danendra memutuskan untuk meminggirkan mobil di depan sebuah mesjid untuk beristirahat sejenak.Terhitung, sudah tiga jam Danendra mengemudi tanpa beristirahat dan rasanya dia cukup lelah."Udah jam empat, Ra. Mau sekalian sholat dulu?""Aku kan lagi halangan, Dan.""Ah iya, aku lupa.""Kamu aja yang sholat, aku tunggu di sini," kata Adara. "Aku tiba-tiba aja males ngapa-ngapain. Aku takut Mama kenapa-kenapa."Danendra mengulurkan tangannya lalu mengusap pucuk kepala Adara dengan lembut untuk menenangkan perasaan gundah gulana yang tengah dirasakan sang istri."Mama pasti baik-baik aja," kata Danendra. "Selama ini dia selalu bertahan kan buat kamu? Aku yakin, kali ini pun Mama akan bertahan.""Aku hancur kalau sesuatu terjadi sama Mama, Dan.""Enggak akan," ucap D