***"Kamu ini sebelum hamil nyusahin, udah hamil malah makin nyusahin ya.""Ngedumel terus, diam aja bisa enggak sih?"Duduk di ujung kasur, Felicya berdecak ketika Rafly terus mengomel sambil mengemasi pakaian ke dalam koper.Pukul sepuluh malam ketika mereka hampir saja terlelap setelah aktivitas jumat yang cukup melelahkan, Felicya tiba-tiba saja mengutarakan keinginan yang membuat Rafly geleng-geleng kepala karenanya.Bukan ngidam makanan aneh atau sebagainya, Felicya tiba-tiba saja ingin tidur di puncak Bogor malam ini. Rafly sudah menawar dengan meminta Felicya untuk pergi ke kota hujan itu besok pagi dan menginap malam minggu di sana.Namun, karena ini bagian dari ngidam, Felicya jelas menolak keras usulan suaminya itu. Dia mau malam ini ke Puncak dan harus malam ini. Titik!"Lagian kamu tuh ngidamnya aneh terus, Fel," keluh Rafly. "Apa bedanya sih tidur di sini sama tidur di Puncak? Perasaan sama-sama merem deh.""Rafly Sanjaya," desis Felicya. "Sekali lagi protes, aku lempar
***"Ya Tuhan akhirnya sampai."Danendra mematikan mesin mobil lalu memundurkan jok sedikit ke belakang. Menaikkan kedua kakinya ke atas dashboard, dia merentangkan kedua tangan yang terasa sangat pegal.Istirahat beberapa kali selama perjalanan, Danendra dan Adara sampai di salah satu hotel mewah di Pangandaran setelah menghabiskan waktu delapan jam perjalanan.Cukup melelahkan, tapi semuanya akan terbayar dengan pemandangan indah yang akan mereka lihat besok pagi.Sunrise, tentu saja dia. Sengaja berangkat sore agar tiba dini hari, Danendra memang mengincar sunrise yang biasa terlihat jelas di pantai pangandaran setiap pagi.Orang bilang, untuk melihat sunrise yang cantik, Danendra harus pergi ke pantai mulai jam setengah atau jam lima pagi agar bisa melihat indahnya matahari terbit di pantai timur Pangandaran—tempatnya berada, sekarang."Semoga besok enggak mendung," gumam Danendra pelan.Setelah lima belas menit meluruskan badan, Danendra menurunkan kedua kakinya lalu menoleh pada
***"Diangkat enggak?"Adara menggeleng pelan sambil memandang Danendra yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan kondisi yang lebih segar.Gerah karena menyetir dalam waktu yang lama, Danendra memang memutuskan untuk membersihkan badan meskipun jam dinding di kamar hotel kini sudah menunjukkan pukul dua pagi.Selain dia yang tak enak jika tidur dengan kondisi badan yang berkeringat, Adara pun tentunya tak akan mengizinkan dia tidur di kasur jika tak mandi lebih dulu."Enggak, Dan. Diriject terus," kata Adara setelah beberapa menit lalu dia terus mencoba menghubungi nomor baru yang sempat meneleponnya."Siapa ya?""Enggak tahu, cuman aku kok jadi khawatir sama Mama ya?" tanya Adara. "Sampai sekarang kan aku belum tahu Mama di mana terus pergi sama siapa."Mengabaikan tubuhnya yang masih memakai handuk, Danendra mendekati Adara lalu memandang istrinya itu dari samping."Mau pulang?""Siapa?""Kamu," kata Danendra. "Kali aja kamu pengen pulang karena khawatir sama Mama.""Hm.""Engg
***"Dingin."Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie, ucapan tersebut kembali dilontarkan Adara ketika kini dia dan Danendra tengah berjalan menyusuri pasir tanpa alas kaki.Baru beristirahat pukul tiga pagi tadi, sekarang—tepat pukul setengah lima, Adara dan Danendra sudag kembali terbangun untuk menikmati sunrise yang sebentar lagi akan muncul di pantai bagian timur Pangandaran.Sebenarnya pusing, tapi rasanya juga sayang jika harus melawatkan pemandangan indah yang tak bisa mereka lihat setiap harinya."Mau aku peluk?" tanya Danendra yang sejak tadi sibuk mengotak-atik kameranya."Enggak usah," kata Adara."Hm.""Udah di sini aja kayanya, Dan," ucap Adara ketika dia dan Danendra sudah sampai di bibir pantai. "Jelas juga dari sini.""Oh mau di sini?""Iya, di sini aja.""Oke deh," kata Danendra patuh."Mau duduk.""Sebentar," pinta Danendra. Sebelum Adara, dia tiba-tiba saja duduk berselonjor di atas pasir lalu menepuk kedua pahanya. "Duduk.""Hah?""Duduk di paha aku," pin
***"Kamu lagi apa?"Perempuan berpiyama satin yang sejak tadi duduk di sebuah kursi balkon menoleh ketika sebuah pertanyaan dilontarkan seorang pria yang kini berjalan menghampirinya lalu duduk di kursi."Udah bangun?""Udah," jawab pria tersebut. "Kalau belum, aku enggak akan ada di sini.""Ah iya.""Kamu belum jawab pertanyaanku," kata pria itu lagi. "Lagi ngapain di sini?""Habis nelepon Adara. Dia pasti khawatir karena dari kemarin aku enggak ngasih kabar."Perempuan berpiyama satin tersebut adalah Monica dan pria yang kini duduk di sampingnya adalah Erlangga, pria yang menemani mertua Danendra itu menginap semalaman di villa.Hubungan gelap? Mungkin bisa disebut seperti itu karena yang dilakukan Monica juga Erlangga semalam tak sekadar tidur berdua.Ada hal lain yang mereka lakukan dan jika Ginanjar tahu, bencana besar akan menimpa mereka.Monica dan Erlangga bukan dua orang yang asing. Keduanya sempat dekat puluhan tahun silam sebelum akhirnya Monica menikah dengan Ginanjar.Be
***"Bumbunya udah kecampur kok, enggak usah diaduk terus.""Eh, hah? Gimana, Dan?"Adara yang sejak tadi melamun sambil mengaduk macaroni schotel miliknya sedikit terkesiap mendengar ucapan Danendra."Kamu ngomong apa barusan?""Kamu cantik," jawab Danendra asal. Berbeda dengan Adara yang memilih macaroni sebagai sarapan, Danendra sejak tadi menyantap wafflenya dengan lahap."Enggak, bukan itu. Aku dengernya tadi kamu ngomong panjang kok," kata Adara. "Ngomong apa?""Aku ngomong, bumbu macaroni schotelnya udah kecampur. Enggak usah diaduk terus," kata Danendra.Adara menunduk lalu memandang makanannya yang memang sudah tak berbentuk karena yang dia lakukan sejak tadi adalah terus mengaduknya.Pulang dari pantai usai menikmati sunrise, Danendra mengajak Adara untuk sarapan sebelum kembali ke kamar hotel.Namun, alih-alih menyantap sarapannya dengan lahap, Adara justru sibuk memikirkan Monica.Mendapat telepon dari sang Mama yang mengatakan jika dia baik-baik saja di Puncak Bogor, haru
***"Aku bisa bawa kamu pergi kemanapun kamu mau."Monica tersenyum ketika pernyataan tersebut kembali dilontarkan Erlangga untuk yang kesekian kalinya."Aku enggak bisa.""Ginanjar hanya bisa menyakiti kamu, Monica," desah Erlangga. "Sedangkan aku? Aku bisa bahagiakan kamu.""Kamu bisa bahagiakan perempuan lain," kata Monica lagi. "Setelah ini, aku mungkin enggak akan bisa bebas pergi lagi sama kamu. Aku enggak mau cari gara-gara sama Mas Ginanjar.""Monica.""Enggak, Erlangga."Monica dan Erlangga yang semula berniat menghabiskan waktu dua malam di villa, membatalkan rencana mereka karena Monica yang berubah pikiran.Ini semua salah. Apa yang dilakukan Monica di belakang Ginanjar jelas salah karena tak seharusnya dia mengkhianati suaminya itu.Sejahat apapun Ginanjar, Tak sepantasnya Monica bermain di belakang pria itu karena sebaik-baiknya perselingkuhan, tetap saja semua itu tak baik.Lagipula, Monica tak mau mengecewakan Adara. Sebagai seorang ibu, dia harus menjadi contoh yang b
***"Udah bangun?"Adara menoleh ke arah pintu ketika pertanyaan tersebut terdengar di telinganya. Baru bangun dari tidur siangnya, dia memandang Danendra yang kini datang sambil membawa dua gelas es kelapa muda."Dan," panggil Danendra.Danendra yang semula tersenyum, perlahan melunturkan senyumannya ketika menyadari ada yang tak beres dengan Adara.Istrinya itu terlihat gelisah dengan keringat yang membasahi wajah cantiknya."Kamu kenapa?""Aku ... a-aku ...."Adara terbata. Sebelum menjawab pertanyaan Danendra, yang dia lakukan sekarang adalah beringsut dari kasur lalu berjalan menghampiri Danendra yang masih berdiri di dekat pintu.Tanpa ragu, Adara tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di pinggang Danendra lalu menenggelamkan kepala di dada bidang sang suami."Dan.""Hey, kamu kenapa?" tanya Danendra sambil menunduk—memandang Adara. Membawa dua gelas es kelapa di kedua tangannya, dia tak bisa membalas pelukan sang istri. "Ada apa?""Mimpi buruk," ucap Adara tanpa melepaskan
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat