Orang-orang yang berada di sekitar lorong rumah sakit itu pun, mulai melirik ke arah mereka. Bagaimana tidak, posisi mereka berada di lorong Rumah Sakit. Meskipun lorong itu berhadapan langsung dengan kantin yang cukup padat dengan lalu lalang orang, tapi teriakan Dania mampu membuat semua orang mengalihkan atensinya kepada mereka.
Kasak kusuk pun mulai terdengar, membuat Dania merasa akan mendapatkan simpati dari orang yang mendengarkannya."Aku siapa, Mas?” tanya Dania sekali lagi, dengan suara yang lebih lirih dan terdengar penuh luka. Bahkan, kali ini Ia memanggil Roy dengan sebutan 'Mas.’ Padahal biasanya, Dania memanggil suaminya dengan menyebut nama saja.Bertahun-tahun Kita hidup bersama, dari hidup kita susah sampai berada di Puncak, Aku yang selalu menemani kamu dalam keadaan apapun. Lalu, sekarang apa balasan kamu Mas? " ucap Dania dengan berurai air mata wajahnya yang Ia arahkan ke arah pengunjung yang nampak sedang merekam perdebatan di antarDania menoleh ke arah suara. Betapa terkejutnya Ia, karena mendengar pembelaan dari orang kepercayaan Roy yaitu Beni. Beni menoleh ke arah Dania, kemudian tersenyum penuh arti. Wanita itu masih ternganga karena kaget dengan kalimat pembelaan yang diucapkan oleh Beni barusan. Ia pikir, Beni akan selalu berada di pihak Roy sebagaimana biasanya tanpa tapi, namun perkiraannya salah. "Bu Dania tenang saja, Saya pastikan bahwa Saya akan menegakkan cinta sejati! " ucap Beni meraya mengepalkan tangan kirinya ke atas, menyemangati Dania. "Sungguh?" tanya Dania masih butuh diyakinkan. "Ya. Sekarang Ibu pulang saja dulu! Nanti, urusan pak Roy dan Bu Sova biar Saya yang menyelesaikan. Ibu terima beres saja, " ucap Beni lagi begitu meyakinkan. "Ya. Terima kasih banyak, Ben! " ucap Dania dengan senyum sumringahnya. Bahkan, wanita itu memeluk Beni, saking senangnya. Beni segera melepaskan pelukan Dania karena tak ingin dianggap menjadi pebinor bos-nya sendiri. Lebih dari itu, Ia merasa risih de
Sova menoleh ke arah sumber suara. Di sana, nampak Hilda yang sedang berjalan ke arahnya seraya merentangkan kedua tangannya. Sedangkan Sari, ia meletakkan beberapa paper bag yang dibawa oleh Hilda sebagai hadiah atas kelahiran baby boy Sova dan Roy." Apa kabar, Mama muda? " ucap Hilda seraya memeluk Sova. Psikiater muda itu begitu antusias saat mendengar bahwa Sova telah melahirkan dengan selamat, meskipun dengan keadaan bayi yang prematur. "Baik mbak Hilda. Mbak sendiri apa kabar? " tanya balik Sova."Baik. Dan lebih baik lagi karena sudah punya keponakan," ucap Hilda dengan tawanya yang lebar. Sedangkan matanya, Ia memindai ke seluruh ruangan. Ia mencari keberadaan ranjang bayi yang mungkin saja disimpan sekamar dengan ibu-nya. “Bayi kita di NICU, Mbak,” ucap Sova sekedar memberikan informasi. Ia tahu bahwa psikiater cantik itu sedang mencari keberadaan bayinya. “Oh... Terus, gimana keadaannya? Bisa ditengok enggak?“ sahut Hilda seraya memperpanjang dengan rentetan pertany
"Hei!" ucap Roy seraya mengibaskan tangannya di depan Hilda.Psikiater muda itu pun segera mengerjapkan matanya, kemudian mengulas sedikit senyum.Beni segera berdiri dari kursi, kemudian Ia pamit undur diri dan pergi bersama Bi Ais."Baru datang atau udah lama?" tanya Roy sekali lagi. Setelah itu, Ia pun segera duduk di brankar, tepat di samping Sova. Lelaki paruh baya itu pun memeluk pinggang Sova yang sedang duduk menjuntaikan kakinya, kemudian melirik ke arahnya. “Sayang, kok nggak bilang-bilang Kalau ada Hilda?” tanya Roy kepada Sova."Baru aja datang, Kang!” sahut Sova seraya melirik ke arah Hilda. “ Iya kan?" tanya Sova kepada Hilda."Iii...iya, " sahut Hilda. Lidahnya seolah latah mengikuti apa yang diucapkan oleh Sova."Wah, makasih banyak Hil ... tantenya udah nengokin, tapi baby boy masih di ruang NICU." Roy menghembuskan nafasnya pelan. "Iya nih."Hilda tak bisa banyak bicara karena pikirannya terbagi dengan ucapan Beni tadi. Di hatinya, Ia ingin membahas tentang apa yang
"Bibi senang banget diajakin nengok Den Rafa di rumah sakit. Kelihatannya... Den Rafa sudah semakin sehat ya, Non? " ucap Bi Ais dengan wajah penuh senyuman. Di pelupuk matanya, Ia seolah masih melihat dengan jelas bagaimana Rafa, Baby Boy milik Sova dan Roy itu nampak semakin sehat. Bahkan, tangisannya sudah mengeluarkan suara. " Iya, Bi." Hanya kalimat itu yang Sova ucapkan, tanpa memperpanjang basa-basi. Pandangannya fokus ke arah handphone yang membuka GPS, arah cafe yang menjadi tempat janji bertemu antara dia dan Hilda.Sebenarnya, Sova tak serta-merta mengajak Bi Ais untuk menengok baby Rafa, selain karena permintaan Hilda untuk membawanya. Entahlah, dia tak begitu memahami keinginan Hilda untuk bertemu dengannya sekaligus dengan bi Ais. Ia hanya mengiyakan saja."Nah, ini kayaknya," gumam Sova seraya melirik ke sebelah kiri, ke cafe yang menjadi tujuannya."Tujuan anda berada di sebelah kiri. "Terdengar suara wanita memberitahunya bahwa ia telah sampai. Suara wanita yan
“Ada apa dengan mbak Dania? Apa kalian memintaku untuk mundur?” tanya Sova terdengar sarkas. Semua orang yang berada di meja itu pun saling berpandangan mendengar kalimat sarkas dari Sova. Tak sempat terpikir oleh mereka jika Sova akan berpikiran demikian. Mereka hanya sibuk dengan pikiran dan teka-teki mereka sendiri. “Aku memang masih muda. Aku bisa pergi dari kehidupan Akang dan mengejar cita-cita yang sempat tertunda. Aku juga bisa jadi janda muda yang kaya raya karena Akang pasti akan memberiku kehidupan yang layak. Tapi, apa kalian pernah memikirkan Rafa? Bayi yang baru saja melewati masa kritisnya, akan kalian paksa untuk kehilangan orang tuanya yang utuh?” tanya Sova menggebu-gebu. Matanya memerah dengan rahang mengeras, menahan amarah di kepalan tangannya. “Kalian memang paling dekat dengan mbak Dania, tapi jangan sampai kedekatan kalian membuat hati kalian mati!” ucap Sova seraya berdiri. Ia tak ingin berlama-lama duduk di sana, jika hanya akan mendapatka
Sova melirik sekilas ke arah dokter Hilda, kemudian ke arah bi Ais secara bergantian. Ada kata yang menggelitik pendengarannya, meminta kejelasan bahwa apa yang Ia dengar tak salah. “Ya, kami... bukan hanya pak Beni.” Bi Ais melihat Sova dengan sorot mata sendu. “Maksudnya?” tanya Sova dengan suara yang melemah. Sorot matanya meminta penjelasan yang lebih. "Kami yakin bahwa bu Dania sudah meninggal,” ucap Beni meyakinkan maksud mereka."Kalian ini aneh. Sudah jelas-jelas di hadapan kalian ada Mbak Dania dalam keadaan hidup. Lalu, bagaimana ceritanya dua orang yang sama dengan keadaan yang berbeda berada dalam satu waktu. Mustahil! " ucap Sova sedikit menertawakanTadinya, Ia berharap bahwa mereka memberikan solusi yang jelas bagi Sova dan Roy. Atau, setidaknya mereka tidak mengganggu kehidupan Sova dan suaminya, dengan memintanya untuk mundur. Namun, harapannya seolah bertepuk sebelah tangan. Sova menangkap kalimat mereka adalah kalimat yang mustahil terjadi. Mungkin, mereka
Hari ini Baby Rafa sudah boleh dibawa pulang ke rumah. Meskipun kondisi badannya masih nampak kecil, tapi sudah kuat untuk diperlakukan seperti bayi normal pada umumnya. Namun, tetap saja Sova memilih seorang perawat untuk membantunya merawat Rafa. Ia tak ingin coba-coba untuk urusan bayi prematurnya. Sova menurunkan kakinya dari mobil, menginjakkan kaki di halaman rumah dengan menggendong Rafa untuk pertama kalinya. Sova begitu enggan mengalihkan pandangan dari baby Rafa yang terbungkus selimut dan Ia dekap di dadanya. Ia seolah tak ingin melewatkan momen mengurusi Rafa walau sedetikpun. “Hati-hati, Sayang!” ucap Roy seraya memeluk bahu Sova. “Iya, Papa,” sahut Sova tanpa mengalihkan perhatiannya dari Baby R. Bahkan, senyumnya bertambah merekah seolah Ia sedang berbincang dengan bayinya. “Eh, anak Papa lelap banget bobo-nya,” sambung Roy. Ia mendekap Sova dengan mata ikut menatap baby R yang sebenarnya nampak terlelap. “Selamat datang anakku!” Suara seseorang menghentik
SLTC - 091Roy menatap ke arah Sova yang sudah berlalu meninggalkannya. Ia ingin menghentikan langkah Sova dan berlalu ke dalam rumah, hanya dengan Sova dan Rafa. Tapi, istrinya itu tak mau mengerti. Roy mendengkus sepelan mungkin, agar Ia tak menyakiti hati Dania. "Ayo, Mas. Kita masuk!" ajak Dania seraya meraih tangan Roy. Wanita cantik itu hendak mengalungkan tangannya di lengan Roy, namun ditolak halus oleh Roy. "Aku cuma mau pegang lengan suamiku. Apa salah?" tanyanya dengan wajah sendu. Bukan Dania jika Ia menyerah begitu saja. Dengan segala cara, Ia akan mempertahankan cinta Roy dan dirinya sampai ajal menjemput. "Wah, Nyonya dan Tuan sudah baikan? Memang pasangan yang sangat serasi!" celetuk bi Ais yang baru muncul dari ruang tamu. "Biasa aja, kelles!" sahut Sari yang mengekori Roy dari belakang dengan membawa beberapa peralatan yang baru dibawa dari rumah sakit. Namun suaranya hanya terdengar oleh Hari ya
"Jadi benar?" desis Roy. Matanya masih menatap hampir tak berkedip pada rekaman-rekaman yang sedang terputar di sana. "Apanya Kang?" tanya Sova saat Ia melihat wajah tegang suaminya. "Akang, benar apanya?" tanya Sova sekali lagi, karena Ia tak mendapatkan jawaban apapun dari Roy. "Akang sudah salah menilai, Sayang." Roy menatap Sova seraya mengelus pipi wanita itu, meminta kekuatan dalam hatinya. "Menilai apa?" tanya Sova. Namun, lagi-lagi Roy tak memberinya jawaban. Sova mencebik, kesal karena merasa diabaikan. Bukankah Ia yang seharusnya masih marah dan mendiamkan Roy? Kenapa malah terjadi hal sebaliknya? Sova mengambil ponsel miliknya dari tangan Roy, penasaran dengan apa yang dilihat oleh suaminya. Sedangkan Roy, Ia tak lagi berusaha mengambil lagi ponsel tersebut. Semua kejadian dimana Lina datang sampai Ia membawa Dania pergi, terekam jelas oleh CCTV yang terkoneksi dengan ponsel Sova. Sedangkan, di CCTV rumah yang sengaja Ia pasang, tak ada satu pun bayangan Lina masuk ke
"Apa maksudnya, Kang? Masa pak Beni resign? Mbak Hilda gimana? Mana mbak Hilda?" tanya Sova beruntun. "Mereka memfitnah Lina. Padahal, Beni... ah, entahlah. Apa dia sedang dekat dengan Hilda? Jadi dia selingkuh?" desis Roy namun masih bisa didengar oleh Sova. "Rupanya ini karena mbak Lina? Selingkuh? Benarkah? Jadi, mereka menjebakku agar mau menerima mbak Dania di rumah ini?" tanya Sova sangat lirih, namun masih jelas terdengar oleh Roy. "Apa? Jadi mereka yang memintamu untuk memasukkan Dania ke rumah? Memintamu untuk menerima Dania di rumah ini?" tanya Roy seraya menatap Sova, mencari kebenaran di kedalaman mata istrinya. "Emmhhh... iya, Kang." Sova akhirnya jujur akan hal yang tak Ia bicarakan kepada Roy. Bahkan, Ia cenderung melakukan hal itu di belakang Roy. Roy menyugar rambutnya frustasi. Kesalahan adalah kata yang tepat untuk apa yang telah dilakukan Sova, itu menurut Roy. "Tapi kenapa? Kenapa kamu lakukan itu semua, Sayang? Kau undang penyakit ke dalam rumah tangga kit
Roy tak peduli saat Hilda mengejar Beni untuk keluar dari sana. Ia segera melangkahkan kakinya menuju lift. Ia berniat untuk menyusul Sova, membiarkan masalah Dania diurus oleh anak buahnya, sedangkan dia hanya akan menyelesaikan masalahnya dengan Sova. Roy hendak meraih handle pintu saat pintu itu terbuka dari dalam. Di hadapannya ada suster Rina yang membawa botol susu bekas pakai. "Sus, biarkan kami dulu ya. Nanti kalau kami perlu, baru akan Saya panggil lagi," ucap Roy dengan tatapan mengintimidasi. Dia tak ingin terganggu oleh orang lain saat sedang bicara dengan Sova. "Emmhhh," Suster Rina menoleh ke dalam, memastikan keadaan Rafa baik-baik saja. "Tapi Pak... " tolak Suster Rina, berusaha memberikan argumen. "Enggak ada tapi-tapian... " kesal Roy saat perawat yang Ia pekerjakan hendak menolak titahnya. "Ba... baik, Pak," sahutnya cepat, kemudian berlalu dari kamar tersebut. Sova yang begitu serius mengurusi Rafa,
SLTC 103"Ada apa?" tanya Roy setelah Beni duduk di sebrangnya. "Maafkan Saya, Pak. Tapi Saya enggak tahu lagi harus berbuat apa," ucap Beni membuat Roy mengerutkan keningnya. "Katakanlah!" titah Roy seraya memandangi Beni lebih seksama. Ia curiga akan ada hal tak beres yang diceritakan oleh Beni. "Saya sangat mencintai Lina," ucap Beni pada akhirnya. "Lantas?" tanya Roy merasa apa yang disampaikan oleh Beni bukanlah poin utamanya. Beni hanya diam. Lelaki yang telah lama mengabdi pada Roy itu tak lagi mengatakan apapun, membuat Roy tak sabar. "Jangan bilang gara-gara Lina belum juga hamil, kamu berniat poligami. Begitu?" tanya Roy membuat Beni mengangkat wajahnya kaget, menatap Roy dengan tatapan tak percaya. "Tuh kan, ketebak." Roy terkekeh seraya geleng-geleng kepala. "Bukan Pak Bos, bukan itu," ucap Beni buru-buru. "Jangan berkilah, Ben. Apa kurangnya Lina sampai-sampai kamu tega mau menduakannya? Apa kau sudah menemukan perempuan lain? Apa kau sudah memberi tahu Lina renc
SLTC 102Roy masih tertegun setelah mendengar ucapan Sova barusan. Ia berpikir jika apa yang dikatakan Sova sangat masuk akal dan memungkinkan dan memiliki nilai kebenaran. "Apa benar seperti apa yang istriku bilang, Ben?" tanya Roy benar-benar meminta pendapat. "Menurutku demikian," sahut Beni membuat Roy kaget. Roy tak menyangka jika jawaban Beni begitu singkat, padat dan langsung pada point nya. "Ya sudah, ayo kita kembali ke ruang kerja!" ajak Roy. "Ben, Aku mengizinkanmu untuk membongkar makam Dania dan mengambil sampel dna-nya, untuk dites dan dibandingkan dengan DNA perempuan itu, " ucap Roy tiba-tiba.Beni yang sedang memikirkan baik-baik apa yang dilaporkan oleh anak buahnya tadi tentang Lina, tak mendengar apa yang diucapkan oleh Roy. Bahkan pandangan Beni nampak kosong di hadapan Roy."Ben" Ucap Roy lagi seraya menepuk pundaknya cukup keras. "Ada apa?" teriak Beni Karena ia merasa kaget dengan tepukan di bahunya."Sejak kapan kamu hobi melamun?" Ucap Roy yang sebenarny
Mata Roy berkilat merah. Ia begitu marah dengan apa yang disampaikan oleh anak buahnya barusan. "Jaga kedua tua bangka ini, jangan sampai mereka berdua kabur!" titah Roy membuat semua orang yang berada di sana saling melemparkan pandangan. "Siapa yang kau sebut dengan tua bangka?! " teriak Pak Tejo dengan geram. Namun, Roy tak mendengarkannya sama sekali. Ia terus melenggang pergi, keluar dari ruang kerja. Beni mengikuti Roy dengan segera. ia belum tahu apa yang terjadi, namun Ia tak merecoki Roy dengan berbagai macam pertanyaan. Saat tiba di kamar tamu, Roy langsung masuk ke dalam kamar dengan pintu yang memang sudah terbuka. Begitupun dengan Beni, Ia langsung ikut masuk ke dalam kamar dan mendapati kesalahan apa yang telah terjadi. "Mana dia? " tanya Roy dengan mata yang masih berkilat merah."A... Ampun Tuan! Kami tidak tahu, kami betul-betul tidak tahu! " ucap anak buah Roy yang seharusnya ditugaskan berjaga di sana.Saat Roy dan Beni keluar dari ruang kerja tadi, sebenarnya
"Ap...pa maksudmu?" Tanya Pak Tejo tergagap."Sudah jelas saya katakan barusan bahwa Anda berdua tidak mengenali siapa Dania. Anda berdua sudah abai kepadanya dari dulu Lalu, kenapa sekarang kalian begitu mati-matian membela? Itu karena anda hanya menginginkan harta milik Roy dan kalian tidak mengenali yang mana anak kalian. " Hilda mengatakan hal itu dengan tenggebu-gebu. Ia puas karena telah mengeluarkan unek-uneknya selama ini terhadap Pak Tejo dan istrinya. Sedari Dulu, Ia selalu menjadi tumpuan bagi Dania. Bahkan, seringkali ia membagi uang sakunya untuk Dania meskipun Dania sendiri menolaknya."Jangan berburuk sangka kamu sama kami, Roy. Siapa lagi yang akan menyayangi Dania selain daripada kami, hah? " ucap Bu Tejo seraya memalingkan mukanya. Ia Sedikit lega karena dari perkataan Hilda, menyiratkan bahwa wanita tersebut bukan mencurigai tentang siapa Dania, tetapi mencurigai bahwa dirinya tidak begitu memperhatikan Dania saja. "Ya Sudahlah, jangan terlalu diperpanjang. Sekar
SLTC 99"Pelakor miskin sepertimu tak perlu ikut bicara! Tak ada kepatutan dari setiap ucapanmu," hardik pak Tejo dengan mata nyalang. "Jangan pernah menghina istriku! Wanita yang kau sebut miskin ini adalah is-tri-ku. Camkan itu!" sahut Roy membalas tatapan nyalang pak Tejo seraya menunjuk tepat ke arah wajahnya. "Jangan lupa kalau istrimu adalah Dania. Hanya Dania," teriak bu Tejo dengan mata melotot. "Dan ya... selama pernikahanku dengan mendiang Dania, Saya baru ingat bahwa kalian tak pernah peduli padanya. Hanya jika kalian menginginkan sesuatu, maka kalian akan mencari istriku, Dania. Tapi sekarang apa? Kalian begitu membabi buta membela Dania. Ada apa sebenarnya?" tanya Roy dengan raut wajah sinis. Pasangan suami istri lanjut usia itu pun menelan salivanya, kaget dengan tuduhan yang diucapkan oleh Roy. Benar, karena itu memang kenyataannya. Dania kecil tak pernah mendapatkan kasih sayang seperti yang mereka limpahkan pada Rania, anak kandung mereka yang hadir setelah bebera
SLTC 98"Siapa?" semua orang bertanya dengan serempak. "Hemmhhh... " Sova menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. "Siapa?" tanya Roy sekali lagi. Sova meliriknya, kemudian memalingkan lagi mukanya dari Roy. "Coba kalian ingat-ingat, apa selama ini kalian bertemu... "Brakkk... Tiba-tiba pintu ruang kerja tersebut dibuka dengan kasar. Nampak pak Tejo mengepalkan tangannya seraya mencari sosok Roy. "Ada apa?" tanya Roy berdiri menghadap ke arah pak Tejo. Akhirnya, tanpa bersusah payah mencari keberadaan Roy, lelaki yang pernah menjadi menantunya itu berdiri dengan sendirinya, memudahkan Ia untuk menemukan Roy. Pak Tejo langsung meringsek masuk dan langkahnya mengarah pada Roy. Ia sudah bersiap untuk menghantamkan bogem mentah kepada lelaki yang kini berstatus sebagai suami Sova itu. "Dasar b****at!" Langkahnya ditahan oleh Beni dan Hari yang langsung