Perlahan, bibir Wisnu telah menempel di bibirnya yang menawan. Kinanti membuka matanya dan langsung mendorong tubuh Wisnu kuat, hingga Wisnu menjauh beberapa langkah darinya.
"Jangan dekat-dekat lagi, aku tidak mau!" "Kenapa, bukankah sah-sah saja aku melakukan itu, aku ini suami kamu, dan kamu sudah berjanji memberikan anak buat aku, lalu di mana salahnya?" "Tidak untuk sekarang!" "Lalu kapan? sudah tiga hari aku berada di rumah ini, aku ingin segera membuktikan jika aku bukan laki-laki mandul!" Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. *** Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat album pernikahan mereka, Wisnu tersenyum. Biasanya Wisnu selalu berpenampilan dingin, tapi hari ini ia terlihat lembut, seperti apa sebenarnya sifat asli dari suami misteriusnya ini? “Kamu cantik dalam foto itu!” ujarnya sekedar memulai percakapan mereka. Kinanti berpaling menatap Wisnu, ia tersenyum, antara manis dan asam, gimana tuh? “Apakah Bima masih saja menemani hatimu?” "Itu bukan urusanmu!” jawab Kinanti masih bernada ketus “Aku paham, bukankah kalian sudah lama menjalin hubungan, tentu saja banyak kisah yang tidak bisa kalian lupakan.” Jawab Wisnu. “Boleh aku minta sesuatu?” “Apa, katakan saja!” “Bolehkah aku datang kerumah keluarga Bima?” perkataan dan permintaan Kinanti membuat mood nya hilang, ia kembali dingin. Wisnu terdiam, ia sendiri tidak tahu, apakah ia akan memberi izin atau tidak. Bagaimana seandainya Kinanti bertemu dengan Bima, apa yang akan terjadi? akankah Kinanti akan kembali kepada Bima meski laki-laki itu sudah meninggalkan dirinya, akankah dia gagal membuktikan pada Miranda jika ia bisa memiliki keturunan? "Tidak, meski baru beberapa hari aku melewati hari-hari bersama Kinanti, aku merasa ada yang berbeda dari Kinanti, semuanya berbeda!" bisik hati Wisnu. Kinanti yang terlihat begitu pemalu, yang jinak jinak merpati, susah untuk di dekati membuat Wisnu ingin selalu ada bersamanya, bukan seperti Miranda yang selalu agresif, bahkan memang dirinya sering merasa kewalahan menghadapinya, sehingga ia di katakan bahwa dirinya adalah laki-laki lemah yang tak bisa memuaskan istrinya. "tapi benarkah aku ini lemah?" Wisnu menghela nafas berat. "Apakah engkau keberatan?" “Aku belum bisa kasih jawaban, aku akan memikirkannya?” jawab Wisnu bernada dingin. Bagaimanapun Wisnu pasti merasakan rasa sakit karena kehilangan orang yang demikian kita cintai, Tapi Wisnu tidak bisa mengambil resiko. “Aku janji tidak akan ngapa-ngapain, aku Cuma ingin menuntut penjelasan, tidak lebih!” “Iya, aku paham maksudmu, tapi bukan sekarang." “Ya, oke kalau begitu!" “Kita pikirkan kembali besok!" jawaban Wisnu begitu membuat Kinanti langsung diam, ia tak mau lagi membicarakan hal itu pada wisnu, karena wajah suaminya begitu dingin dan menyeramkan. “Aku mau membahas masalah pernikahan kita sekarang.” Kata Wisnu kemudian dengan mendesah berat. "Memangnya kenapa dengan pernikahan kita?" jawab Kinanti pura-pura tidak tahu dan kemudian Kinanti diam, ia seperti sudah tahu kemana arah pembicaraan suaminya itu. “Kin!” ulang Wisnu terkesan dingin. “Ya!” jawab Kinanti tersentak. "Apa kamu menerima pernikahan ini?" “Tentu!” jawabnya berdebar, "Meski dengan kontrak konyol yang engkau buat itu." “Sebelumnya, tataplah aku, lihatlah mataku, apakah aku terlihat begitu jahat dan menakutkan?” “Aku tidak paham maksudmu, Mas ....” Wisnu tersenyum, panggilan mas yang terlontar dari bibir Kinanti begitu terdengar manis, membuat Wisnu bahagia, entah mengapa. "Kenapa tersenyum, apa ada yang lucu?" "Kamu memanggil aku Mas, aku senang!" "Hanya itu?" "Entahlah!" Wisnu menunduk dan agak lama terdiam, ia masih takut untuk mengatakan apa yang sebenarnya ia rasakan pada Kinanti. Wisnu terdiam melihat mata Kinanti yang sudah mulai berkaca-kaca, ia tak tega melanjutkan kalimatnya. Sikap cuek bebeknya berganti kepedulian yang begitu besar. "Kenapa kamu begitu kejam Mas ... mengambil kesempatan dalam kesempitan?" keluh Kinanti "Bukan itu maksudku!" jawab Wisnu tenang. "Terus?" "Bukankah itu adil, aku menyelamatkan nama baik keluargamu, dan kamu sebagai seorang istri sudah sepantasnya memberikan keturunan?" kata Wisnu tidak mau kalah. "Masalahnya sekarang adalah kamu sudah punya istri, Mas!" jawab Kinanti tak kuasa membendung airmata nya yang sejak tadi sudah berlinang. "Sungguh aku tidak pernah berpikir akan menyakiti dirimu, kita nikah dan kita punya anak, apa susahnya?" Jawab Wisnu mulai naik nada suaranya. "Aku kecewa mas, ternyata aku menikahi laki-laki yang tak punya hati kayak kamu."sahut Kinanti dan Wisnu terdiam sejenak. Kinanti menatap mata Wisnu tajam, matanya bulat seakan keluar. Bulir air mata masih saja menetes di pipi Kinanti. “Kenapa kamu tega Mas? jawab!" Entah mengapa, Wisnu tak tahan melihat air mata itu terus menetes, ia mendekati Kinanti, ia mencoba memeluk Kinanti, namun tangan Kinanti mendorong Wisnu begitu saja. “Aku terpaksa Kinanti ... sudah aku bilang aku sangat menginginkan seorang anak." Kinanti berlari kesudut ruangan, ia ingin rasanya menjerit tapi ia takut jika Papanya akan mendengar jeritannya, akhirnya ia hanya mampu terisak sambil menggigit jari-jarinya. "Aku tidak ingin kamu menganggap aku jahat, aku hanya ...." entah kemana sifat arogan yang selalu saja tampak pada sikap suaminya, kini suara itu terdengar begitu lembut. "Bagaimana seandainya aku juga tidak bisa memiliki keturunan, apakah engkau akan meninggalkan aku juga, atau menikah lagi dengan wanita lain?" "Kenapa kamu jadi berpikir sejauh itu? kita jalani saja dulu, baru kita bahas masalah itu nanti!" “Lalu aku harus berpikir bagaimana Mas, aku harus ngapain, diam saja? apalagi kamu tahu papaku sakit-sakitan, kamu pasti dengan leluasa memperlakukan aku sesukamu, coba kamu ada di posisiku." Wisnu hanya diam. "Kamu akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anakmu, kamu akan meneruskan hubungan dengan pasanganmu, sungguh malang sekali nasibku, puas kamu mas, puas ...." "Kin ...." sentak Wisnu sambil mengguncang pundak Kinanti yang kian tergugu. “Ya, kamu benar Mas ... tapi apakah kita akan tetap meneruskan pernikahan ini?” kata Kinanti masih dengan isaknya, tidak peduli apapun yang di katakan Wisnu. "Maafkan aku Kinanti, tapi biarkan semua mengalir dengan sendirinya, pikirkan kesehatan Papamu." jawab Wisnu berusaha menghibur Kinanti. “Entahlah, kenyataan ini begitu menyakitkan hatiku, bisakah Mas Wisnu meninggalkan aku sendiri?” pinta Kinanti. "Aku tidak akan meninggalkan kamu, aku akan tetap di sini." Bujuk Wisnu. "Pergi Mas ... pergi!" kata Kinanti sambil mendorong tubuh Wisnu yang memegangi pundaknya sejak tadi. Wisnu keluar dari kamar, ia tinggalkan Kinanti seorang diri, ia mengemudikan mobilnya, entah hendak kemana, ia tidak tahu. Yang aneh ia juga merasakan ada yang sakit di ujung hatinya yang paling dalam mengatakan semuanya, apalagi melihat air mata yang mengalir begitu deras di pipi istri mudanya itu. Apakah benar Kinanti adalah istri yang siap untuk ditinggalkan olehnya jika telah melahirkan seorang anak? “Bagaimana mungkin aku berpikir sejahat itu. Ya aku terlalu jahat berniat meninggalkan Kinanti setelah ia melahirkan anakku."kata Wisnu lirih. “Aku bisa gila Kin ... tapi mana mungkin aku tak meninggalkan dirimu, jika aku terus bersamamu bagaimana dengan Miranda . Atau ... apakah aku akan jatuh cinta padamu?” kata Wisnu langsung menghentikan mobilnya. “Gila, aku benar-benar gila!” kata Wisnu sambil meremas rambutnya sendiri. ***“Untuk apa aku terus menangis, bukankah lepas dari laki-laki yang aneh itu adalah salah satu keinginanku? Lalu kenapa aku masih menangis saat tahu dia akan menceraikan aku setelah aku melahirkan seorang anak? Aneh kamu ini Kin, ingin lepas tapi malah menangis, oh kamu bingung masalah anak yang akan kamu lahirkan? Itu mudah Kin, kamu tinggal membawanya pergi bersamamu, apa susahnya sih?” berbagai hal berkecamuk dalam hati Kinanti. Sebagai seorang yang akan menjadi ibu, pastilah akan cemas jika setelah menikah dan melahirkan harus berpisah dengan anaknya sendiri, makanya dia menangis, tapi ... jika ia kembali berpikir, untuk mengakhiri semuanya setelah ia melahirkan seorang anak, bukankah memang itu adalah hal yang memang di inginkannya? "Ah, mungkin ini memang takdir yang harus terjadi dalam hidupku, punya suami sebatas pembuktian jika orang yang menikahiku bukan orang mandul!"Kinanti menyapu wajahnya dengan kedua belah tangannya, ia mencoba menyusut airmata yang mulai berhenti me
Wisnu membuka netranya, ia mendapati Kinanti tengah berjalan ke dekat ranjang, Wisnu berpura-pura memejamkan netranya, padahal ia mengintip setiap gerak Kinanti. Ia melihat Kinanti membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang, kemudian memejamkan netranya dan entah hingga kapan pula ia memperhatikan Kinanti, kini Wisnu akhirnya terlelap juga. Azan subuh mengusik ketenangan Kinanti yang sedang tertidur pulas, padahal baru beberapa jam ia kembali tertidur setelah mengerjakan shalat tahajud tadi. Netra Kinanti terbuka, mulutnya komat-kamit menjawab azan yang ia dengar, meski keluarganya tidak begitu terkenal sebagai keluarga santri, tapi memang keluarga ini adalah keluarga yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Perlahan ia kembali turun dari ranjang, ia kembali ke kamar mandi, ia sengaja mandi, agar seluruh tubuhnya terasa rileks, dan itu sudah menjadi kebiasaan pula bagi Kinanti, meski kadang suasana pagi dingin sekalipun. Suara gemercik air terdengar, Wisnu menarik
Wisnu berbaring sambil meringkuk, ia benar-benar merasa kedinginan.“Aku berdosa kali ya, telah membuat Kinanti malu? Ah masak sih, lagi pula aku tidak bermaksud membuatnya malu.” Rintih Wisnu sambil menggigil.Setelah Kinanti masuk lagi dengan membawa sepasang baju yang telah terlipat rapi, ia menatap Wisnu dengan perasaan bersalah, karena ia melihat Wisnu sedang berada dalam selimut sambil meringkuk, suaminya itu kedinginan setelah mengikuti kemauannya, mandi di saat hari begitu pagi.“Oh, bagaimana seandainya dia sakit, pasti dia menyalahkan aku!” Kata Kinanti resah.“Mas ....” panggil Kinanti sambil menyibakkan selimut hingga kepala Wisnu tersembul.“Aku benar-benar dingin Kin ....” sahut Wisnu dengan suara benar-benar terdengar bergetar.“Pakailah bajumu dulu, agar tidak kedinginan!”“Apa ... anu ... bisakah kamu menyembuhkan rasa dingin ini?”“Bagaimana, dengan apa?”“Saat aku masih kecil aku biasa di peluk oleh Mamaku, maukah kamu memelukku?”“Apa? Memelukmu? Tidak, a
Kinanti memutar vidio itu, namun sosok anak itu begitu asing, Kinanti tidak mengenalnya sama sekali, dan sampai detik berikutnya, Bima menggendong anak kecil yang berusia sekitar lima tahun itu, ada kemiripan di antara keduanya, dan Bima terlihat begitu menyayangi anak itu.“Siapa dia? Apakah ada hubungannya dengan pembatalan pernikahan yang di lakukan oleh Mas Bima? Jika iya, apa? “ Kinanti menutup gawainya, kepalanya mulai mendenyut, ia pusing, rasa sakit semakin menyiksanya.“Mungkin memang benar, jika aku memang harus melupakan mas Bima, tapi aku belum sanggup.” Keluhnya.Airmata Kinanti mulai merembes, ia mulai menyesali takdir yang terjadi akibat kelakuan kekasih yang begitu sangat di cintainya. “Non, ada apa dengan non Kinan?” tanya Bik Inah yang sudah datang di dekatnya. saking asyiknya dalam lamunannya, Kinanti sampai tidak menyadari pembantunya itu sudah ada di dekatnya.“Tidak ada Bik, saya Cuma lagi ingat mas Bima!”“Aduh Non ... laki-laki kayak gitu jangan di ing
Setelah Kinanti masuk dan duduk di jok depan di samping Wisnu, Bu Sukma semakin heran, begitu pula dengan pak Hermawan.“Kamu bilang tadi kan mau menjemput mertua, lalu di mana mereka? Apa tidak jadi pulang? Dan mana suami kamu Kin?” Tanya Bu Sukma tidak bisa menyembunyikan rasa heran yang ia dan suaminya rasakan.Tidak mendengar perkataan Mamanya, Wisnu menjalankan mobilnya, ia rasa tidak tepat jika harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut Mamanya itu. Sementara Kinanti hanya menunduk, ia tak bisa menjawab begitu saja, boleh jadi Wisnu merahasiakan pernikahan mereka dan ... ia tak ingin di salahkan, apalagi saat ini, Wisnu masih dalam keadaan marah padanya, gara-gara tidak di turuti kemauannya makan bersama di restoran tadi.“Di tanya kok diam? Bilang saja suami kamu pergi, bereskan? Dan kamu di suruh sama kami!”“Oh kamu kenal juga sama suaminya, Wis?”Seperti yang Wisnu duga, jika ia menjawab pertanyaan Mamanya, maka akan ada pertanyaan demi pertanyaan
Miranda duduk di sebuah sofa, ia melipat kakinya, yang sebelah kanan menindih yang sebelah kiri, keduanya menjuntai ke lantai, tangannya masih memainkan gawai, terlihat bias kekhawatiran di wajahnya yang memang terlihat begitu cantik. Ia teringat ketika ia adu mulut dengan Wisnu beberapa hari yang lalu. Ia yang selalu menyalahkan Wisnu atas rumah tangga mereka yang belum di karuniai anak. “Kenapa sih, kamu selalu menyalahkan aku? Mengatakan jika aku ini mandul? Memangnya kamu sendiri tahu kalau kamu itu bisa hamil?” Cerca Wisnu. “Mas sendiri tahu kan dokter bilang apa? Aku ini sehat, aku baik-baik saja!” “Kamu juga mendengar dokter juga mengatakan jika aku juga baik-baik saja dan kita masih belum beruntung.” “Lalu kenapa sampai dua tahun kita menikah aku belum hamil juga?” “Mana aku tahu.” “Nah kalau begitu mas Wisnu pasti yang mandul!” “Kamu selalu mengatakan seperti itu, lama-lama aku muak mendengarnya!” “Kalau kamu muak maka buktikan jika kamu itu meman
Wisnu mendesah berat sambil melempar ikan-ikan dengan makanan, ia belum juga berselera mengambil makanan itu, ia lebih mengingat ketika siang tadi pulang kerumah.Ia menemui Miranda yang baru pulang dari rumah ibunya, ia sengaja tidak mengatakan jika kedua orang tuanya akan kembali sore ini, dan entah mengapa ia lebih memilih mengajak Kinanti di bandingkan Miranda.Wisnu tahu alasannya, ia hanya ingin melihat ekspresi wajah Papa dan Mamanya setelah mendengar ia telah menikahi gadis lain.Tapi setelah melihat ekspresi keduanya yang bahkan sepertinya sangat mendukung, ia jadi resah sendiri.Ia tahu jika selama ini hubungan keduanya tidak begitu baik dengan Miranda, tapi ia tidak menduga jika Mamanya bahkan terlihat sangat bahagia.“Seburuk itukah perasaan Mama pada Miranda, apa benar ada sesuatu yang sama sekali tidak aku tahu dari Miranda, seperti kata Mama jika Miranda bukan wanita baik-baik, lalu apa yang Mama tutupi dariku?”“Mas ....” panggil Kinanti. Membuat Wisnu menoleh.
Wisnu sudah bersiap, padahal ini adalah hari Minggu, Kinanti sudah bangun terlebih dulu, ia sengaja membantu mbok Mimi di dapur, pembantu keluarga Wisnu untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Kinanti memang masih merasa asing dengan rumah keluarga Hermawan, keluarga yang telah menjadi bagian dari hidupnya itu, meski ia tak pernah menyangka sebelumnya. Hari menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, Kinanti kembali ke kamar, ia membawa dua gelas teh hangat, satu untuknya dan satu lagi untuk wisnu. Tidak lupa sebungkus roti, ia biasa memakan itu jika pagi, dengan di celupkan ke dalam teh hangatnya ia merasakan betapa nikmatnya rasa roti itu. Karena teh itu masih terlalu panas, Kinanti memutuskan untuk mandi terlebih dulu, sedangkan Wisnu hanya menatapnya dengan tatapan dingin, ia hanya melihat tanpa berkata sepatah kata pun, begitu juga dengan Kinanti, mulutnya enggan untuk mengeluarkan suara. Kinanti mengambil pakaian ganti dan membawanya ke dalam kamar mandi, ia tidak mau mengganti