Kinanti memejamkan matanya saat Wisnu sudah berada persis di hadapannya. Ia kembali menelan salivanya, berulang kali, sungguh ia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Hembusan nafas Wisnu yang beraroma khas menyapu wajah Kinanti, desiran darah mengalir begitu cepat dalam dada Kinanti. "Masihkah kamu tidak akan menandatangani surat kontrak ini?" "Tergantung!" "Tergantung apa, masih adakah tawaran yang kamu tawarkan untuk kesepakatannya?" "Iya!" "Sayang, saya tidak menerima tawaran apapun, apapun yang tertera dalam surat kontrak ini sudah menjadi keputusan yang tidak dapat di ganggu gugat. "Jadi percuma saja saya menawarkan sesuatu pada Bapak." "Ya, tanda tangani saja sekarang! lebih cepat lebih baik!" Sekali lagi kinanti tidak mampu berbuat apa-apa, ia hanya bisa pasrah, perlahan ia menghembuskan nafasnya yang terasa sesak. "Beri saya ruang untuk bergerak, mana bisa saya menandatangani jika saya berada dalam kungkungan tangan Bapak seperti ini!" desahnya. Wisnu melepaskan tangannya, ia membiarkan Kinanti pergi meninggalkan dirinya, tentu setelah mengambil pena yang di ulurkan nya. Kinanti tidak berpikir panjang lagi, ia menandatangani surat perjanjian kontrak nikah mereka, ya ... dengan segenap rasa tidak menentu dalam jiwanya yang bergejolak. *** “Bukankah hari ini sudah masuk hari ketiga Wisnu berada di rumahku, lalu kenapa tak pernah aku melihat istrinya menghubungi dirinya? Istri macam apa itu, pantas saja suaminya nikah lagi, ternyata dia punya istri yang tidak peduli dengan keberadaan suaminya, aku saja yang masih pacaran sama mas Bima, sering ingin mengetahui kabarnya, meski hanya satu hari, tapi ... apakah karena aku yang bersikap demikian sehingga mas Bima meninggalkan aku, ah, aku ingin sekali mendapatkan penjelasan, bagaimana pun aku tetap tidak bisa menerima penghinaan ini.” Hati Kinanti berkelana, berbicara seorang diri, memikirkan segala sesuatu yang terjadi begitu cepat. Wajahnya sejak tadi menatap keluar jendela, menyaksikan air hujan yang jatuh ke bumi, meski tidak begitu deras. “Saya perhatikan sejak tadi kamu bermenung, lagi memikirkan apa?” “Saya ... hanya tidak habis pikir, kenapa Bapak tidak pulang saja?” “Kamu mengusirku?” “Tidakkah istri Bapak menanyakan keberadaan Bapak?” “Seharusnya kamu itu senang, di nomor satukan, ini malah tanya kenapa saya tidak pulang.” “Saya tidak bisa bayangkan jika saya yang berada di posisi istri Bapak, saya tentu sangat sakit telah di khianati seperti ini.” “Sayang dia itu bukan kamu!” “Maksudnya?” “Semua tak perlu di perjelas, bukankah semuanya tidak ada untungnya buat kamu?” “Iya memang, tapi sebagai seorang wanita, saya bisa merasakan betapa akan kecewa istri Bapak.” “Ngomong-ngomong, tidakkah kamu sadar jika kamu sudah melakukan kesalahan pertama?” “Kesalahan? Kesalahan apa?” “Kamu tetap memanggil aku dengan sebutan Bapak, aku itu nikah dengan kamu, bukan dengan ibu kamu!” “Waduh kumat nih penyakit ini orang, dari apa sih terbuat otaknya?” keluh Kinanti dalam hati. “Kinan, aku bicara sama kamu, kenapa kamu diam saja?” “Bapak, saya ....” batin Kinanti lagi sambil menatap Wisnu dengan tidak mengerti. “Kinanti, aku bicara sama kamu, dengar nggak sih?” “Eh i-iya!” “Apa akan terus saja kamu memanggil aku dengan sebutan Bapak?” “Maunya Bapak bagaimana?” “Aku suami kamu, dan apakah pantas seorang suami di panggil bapak?” spontan Kinanti menggeleng. “Nah itu kamu tahu!” “Jadi?” “Ya, kamu panggil aku dengan selain Bapak!” “Selain Bapak? Aku panggil dengan suadak saja!” “Suadak, kapan aku ganti nama, namaku Wisnu, kok suadak?” “Maksudku suadak itu “Suami dadakan!” “Nggak, aku tidak mau!” “Kalau manusia dingin?” “Huh, kamu semakin bermain-main, tidak serius, aku tidak suka dengan orang yang terlalu meremehkan orang lain, panggil aku dengan sebutan mas, Mas Wisnu, titik.” “Siapa yang meremehkan?... tadi yang nanya siapa, yang marah akhirnya siapa, dasar orang aneh!” Kata Kinanti sambil berdiri dan melempar bantal di pangkuan Wisnu. Aneh, kenapa Wisnu suka melihat wajah Kinanti yang bersemu merah, menerima perlakuan darinya yang memang ia sengaja, ia memang ingin menggodanya, tapi ia tidak mau terkesan begitu agresif, jujur ini adalah sikap yang sama sekali tidak pernah di lakukan olehnya pada Miranda, istri pertamanya. Justru istri pertamanya itulah yang selalu menggoda dirinya, sedang dengan Kinanti berbanding terbalik. Kinanti tidak tahu harus melakukan apa, dalam suasana hujan rintik-rintik seperti itu ia kian risi berada dalam kamar, ia takut jika Wisnu akan melakukan sesuatu di luar dugaannya. Dalam lamunan yang tidak berujung, suara deheman Wisnu mengejutkan dirinya. Kinanti menoleh, ia sudah mendapati Wisnu berdiri persis di sampingnya, ikut menatap keluar menyaksikan bunga-bunga yang telah basah kuyup oleh air hujan. “Kenapa tersenyum? Memang ada yang lucu?” tegur Kinanti sinis. “Hm, bunga itu terlihat segar setelah beberapa saat terkena siraman air hujan!” “Lalu lucu gitu?” “Kok sewot? Apa aku salah jika tersenyum melihat bunga itu?” “Sejak dulu kalau bunga itu akan segar jika tersiram air, bukan hanya hari ini, jadi bersikap biasa saja manusia dingin!” kata Kinanti mengejek. “Apa kamu bilang?” Manusia dingin? Bukankah aku sudah mengatakan jika aku mau di panggil Mas? Panggilan itu adalah sebuah kesalahan, kamu tahu hukuman bagi sebuah kesalahan yang kamu lakukan barusan?” kata Wisnu mencekal lengan Kinanti erat, dengan wajah mendekat ke wajah Kinanti. “Maaf, saya ... saya tidak akan memanggil dengan manusia dingin lagi, janji!” jawab kinanti sambil menunjuk kan jari telunjuk dan jari tengah tangannya di dekat kepala sebagai isyarat janji yang di buatnya. “Kamu harus mendapatkan hukuman, agar kamu tidak mengulangi kesalahan lagi!” “Hu-hukuman apa?” “Ciuman!” “Nggak !” “Atau mau lebih?” “Nggak , saya tidak mau hukuman itu, saya mau hukuman yang lain saja!” “Tapi itu adalah hukuman yang tidak bisa di ganti dengan hukuman yang lain, atau kamu mau meminta hukuman yang jauh lebih menantang, cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran!” “Ba-baiklah, tapi pejamkan matamu!” “Harus memejamkan mata? Kenapa?” “Jika tidak mau memejamkan mata, anggap saja hukumannya batal!” “Baik, aku akan pejamkan mata.” Kata Wisnu sambil menutup matanya!” Kinanti memandang jari-jarinya, ia menempelkan kedua jarinya di bibir Wisnu, dan Wisnu seketika mengambil tangan Kinanti yang masih belum menjauh dari wajahnya. “Kamu curang!” Wisnu tersenyum menang karena menangkap basah kelakuan istri mudanya itu. Wisnu mendekat, ia menekan tubuh Kinanti hingga tersandar di dinding. “Bukankah hujan-hujan gerimis seperti ini akan menimbulkan sensasi tersendiri? Lalu kenapa kamu terus saja memancing aku untuk melakukan lebih?” “Ti-tidak seperti itu.” Jawab kinanti bergetar takut. Tangannya mulai berkeringat dingin. Wajah Wisnu terus mendekat, Kinanti tidak sanggup menatap wajah yang kini begitu dekat dengan wajahnya itu, hingga ia memejamkan matanya. Perlahan, bibir Wisnu telah menempel di bibirnya yang menawan. Kinanti membuka matanya dan langsung mendorong tubuh Wisnu kuat, hingga Wisnu menjauh beberapa langkah darinya.Perlahan, bibir Wisnu telah menempel di bibirnya yang menawan. Kinanti membuka matanya dan langsung mendorong tubuh Wisnu kuat, hingga Wisnu menjauh beberapa langkah darinya. "Jangan dekat-dekat lagi, aku tidak mau!" "Kenapa, bukankah sah-sah saja aku melakukan itu, aku ini suami kamu, dan kamu sudah berjanji memberikan anak buat aku, lalu di mana salahnya?" "Tidak untuk sekarang!" "Lalu kapan? sudah tiga hari aku berada di rumah ini, aku ingin segera membuktikan jika aku bukan laki-laki mandul!" Begitu pula dengan Kinanti, ia masih ragu untuk melanggengkan dan mendekatkan diri pada Wisnu, meski papanya selalu mengingatkan bahwa bagaimanapun Wisnu tetaplah suaminya meski pada kenyataannya semua mungkin akan berakhir jika ia sudah melahirkan seorang anak. Bukankah terbaik dalam bekerja bukan berarti terbaik dalam hal cinta, begitu menurut Kinanti. *** Hari ini seperti biasanya, Wisnu selalu pulang dari kantor menuju rumah Kinanti, didapatinya Kinanti sedang asyik melihat
“Untuk apa aku terus menangis, bukankah lepas dari laki-laki yang aneh itu adalah salah satu keinginanku? Lalu kenapa aku masih menangis saat tahu dia akan menceraikan aku setelah aku melahirkan seorang anak? Aneh kamu ini Kin, ingin lepas tapi malah menangis, oh kamu bingung masalah anak yang akan kamu lahirkan? Itu mudah Kin, kamu tinggal membawanya pergi bersamamu, apa susahnya sih?” berbagai hal berkecamuk dalam hati Kinanti. Sebagai seorang yang akan menjadi ibu, pastilah akan cemas jika setelah menikah dan melahirkan harus berpisah dengan anaknya sendiri, makanya dia menangis, tapi ... jika ia kembali berpikir, untuk mengakhiri semuanya setelah ia melahirkan seorang anak, bukankah memang itu adalah hal yang memang di inginkannya? "Ah, mungkin ini memang takdir yang harus terjadi dalam hidupku, punya suami sebatas pembuktian jika orang yang menikahiku bukan orang mandul!"Kinanti menyapu wajahnya dengan kedua belah tangannya, ia mencoba menyusut airmata yang mulai berhenti me
Wisnu membuka netranya, ia mendapati Kinanti tengah berjalan ke dekat ranjang, Wisnu berpura-pura memejamkan netranya, padahal ia mengintip setiap gerak Kinanti. Ia melihat Kinanti membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang, kemudian memejamkan netranya dan entah hingga kapan pula ia memperhatikan Kinanti, kini Wisnu akhirnya terlelap juga. Azan subuh mengusik ketenangan Kinanti yang sedang tertidur pulas, padahal baru beberapa jam ia kembali tertidur setelah mengerjakan shalat tahajud tadi. Netra Kinanti terbuka, mulutnya komat-kamit menjawab azan yang ia dengar, meski keluarganya tidak begitu terkenal sebagai keluarga santri, tapi memang keluarga ini adalah keluarga yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Perlahan ia kembali turun dari ranjang, ia kembali ke kamar mandi, ia sengaja mandi, agar seluruh tubuhnya terasa rileks, dan itu sudah menjadi kebiasaan pula bagi Kinanti, meski kadang suasana pagi dingin sekalipun. Suara gemercik air terdengar, Wisnu menarik
Wisnu berbaring sambil meringkuk, ia benar-benar merasa kedinginan.“Aku berdosa kali ya, telah membuat Kinanti malu? Ah masak sih, lagi pula aku tidak bermaksud membuatnya malu.” Rintih Wisnu sambil menggigil.Setelah Kinanti masuk lagi dengan membawa sepasang baju yang telah terlipat rapi, ia menatap Wisnu dengan perasaan bersalah, karena ia melihat Wisnu sedang berada dalam selimut sambil meringkuk, suaminya itu kedinginan setelah mengikuti kemauannya, mandi di saat hari begitu pagi.“Oh, bagaimana seandainya dia sakit, pasti dia menyalahkan aku!” Kata Kinanti resah.“Mas ....” panggil Kinanti sambil menyibakkan selimut hingga kepala Wisnu tersembul.“Aku benar-benar dingin Kin ....” sahut Wisnu dengan suara benar-benar terdengar bergetar.“Pakailah bajumu dulu, agar tidak kedinginan!”“Apa ... anu ... bisakah kamu menyembuhkan rasa dingin ini?”“Bagaimana, dengan apa?”“Saat aku masih kecil aku biasa di peluk oleh Mamaku, maukah kamu memelukku?”“Apa? Memelukmu? Tidak, a
Kinanti memutar vidio itu, namun sosok anak itu begitu asing, Kinanti tidak mengenalnya sama sekali, dan sampai detik berikutnya, Bima menggendong anak kecil yang berusia sekitar lima tahun itu, ada kemiripan di antara keduanya, dan Bima terlihat begitu menyayangi anak itu.“Siapa dia? Apakah ada hubungannya dengan pembatalan pernikahan yang di lakukan oleh Mas Bima? Jika iya, apa? “ Kinanti menutup gawainya, kepalanya mulai mendenyut, ia pusing, rasa sakit semakin menyiksanya.“Mungkin memang benar, jika aku memang harus melupakan mas Bima, tapi aku belum sanggup.” Keluhnya.Airmata Kinanti mulai merembes, ia mulai menyesali takdir yang terjadi akibat kelakuan kekasih yang begitu sangat di cintainya. “Non, ada apa dengan non Kinan?” tanya Bik Inah yang sudah datang di dekatnya. saking asyiknya dalam lamunannya, Kinanti sampai tidak menyadari pembantunya itu sudah ada di dekatnya.“Tidak ada Bik, saya Cuma lagi ingat mas Bima!”“Aduh Non ... laki-laki kayak gitu jangan di ing
Setelah Kinanti masuk dan duduk di jok depan di samping Wisnu, Bu Sukma semakin heran, begitu pula dengan pak Hermawan.“Kamu bilang tadi kan mau menjemput mertua, lalu di mana mereka? Apa tidak jadi pulang? Dan mana suami kamu Kin?” Tanya Bu Sukma tidak bisa menyembunyikan rasa heran yang ia dan suaminya rasakan.Tidak mendengar perkataan Mamanya, Wisnu menjalankan mobilnya, ia rasa tidak tepat jika harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut Mamanya itu. Sementara Kinanti hanya menunduk, ia tak bisa menjawab begitu saja, boleh jadi Wisnu merahasiakan pernikahan mereka dan ... ia tak ingin di salahkan, apalagi saat ini, Wisnu masih dalam keadaan marah padanya, gara-gara tidak di turuti kemauannya makan bersama di restoran tadi.“Di tanya kok diam? Bilang saja suami kamu pergi, bereskan? Dan kamu di suruh sama kami!”“Oh kamu kenal juga sama suaminya, Wis?”Seperti yang Wisnu duga, jika ia menjawab pertanyaan Mamanya, maka akan ada pertanyaan demi pertanyaan
Miranda duduk di sebuah sofa, ia melipat kakinya, yang sebelah kanan menindih yang sebelah kiri, keduanya menjuntai ke lantai, tangannya masih memainkan gawai, terlihat bias kekhawatiran di wajahnya yang memang terlihat begitu cantik. Ia teringat ketika ia adu mulut dengan Wisnu beberapa hari yang lalu. Ia yang selalu menyalahkan Wisnu atas rumah tangga mereka yang belum di karuniai anak. “Kenapa sih, kamu selalu menyalahkan aku? Mengatakan jika aku ini mandul? Memangnya kamu sendiri tahu kalau kamu itu bisa hamil?” Cerca Wisnu. “Mas sendiri tahu kan dokter bilang apa? Aku ini sehat, aku baik-baik saja!” “Kamu juga mendengar dokter juga mengatakan jika aku juga baik-baik saja dan kita masih belum beruntung.” “Lalu kenapa sampai dua tahun kita menikah aku belum hamil juga?” “Mana aku tahu.” “Nah kalau begitu mas Wisnu pasti yang mandul!” “Kamu selalu mengatakan seperti itu, lama-lama aku muak mendengarnya!” “Kalau kamu muak maka buktikan jika kamu itu meman
Wisnu mendesah berat sambil melempar ikan-ikan dengan makanan, ia belum juga berselera mengambil makanan itu, ia lebih mengingat ketika siang tadi pulang kerumah.Ia menemui Miranda yang baru pulang dari rumah ibunya, ia sengaja tidak mengatakan jika kedua orang tuanya akan kembali sore ini, dan entah mengapa ia lebih memilih mengajak Kinanti di bandingkan Miranda.Wisnu tahu alasannya, ia hanya ingin melihat ekspresi wajah Papa dan Mamanya setelah mendengar ia telah menikahi gadis lain.Tapi setelah melihat ekspresi keduanya yang bahkan sepertinya sangat mendukung, ia jadi resah sendiri.Ia tahu jika selama ini hubungan keduanya tidak begitu baik dengan Miranda, tapi ia tidak menduga jika Mamanya bahkan terlihat sangat bahagia.“Seburuk itukah perasaan Mama pada Miranda, apa benar ada sesuatu yang sama sekali tidak aku tahu dari Miranda, seperti kata Mama jika Miranda bukan wanita baik-baik, lalu apa yang Mama tutupi dariku?”“Mas ....” panggil Kinanti. Membuat Wisnu menoleh.