Share

Bab 4. Hukuman pertama

Kinanti memejamkan matanya saat Wisnu sudah berada persis di hadapannya. Ia kembali menelan salivanya, berulang kali, sungguh ia berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.

Hembusan nafas Wisnu yang beraroma khas menyapu wajah Kinanti, desiran darah mengalir begitu cepat dalam dada Kinanti.

"Masihkah kamu tidak akan menandatangani surat kontrak ini?"

"Tergantung!"

"Tergantung apa, masih adakah tawaran yang kamu tawarkan untuk kesepakatannya?"

"Iya!"

"Sayang, saya tidak menerima tawaran apapun, apapun yang tertera dalam surat kontrak ini sudah menjadi keputusan yang tidak dapat di ganggu gugat.

"Jadi percuma saja saya menawarkan sesuatu pada Bapak."

"Ya, tanda tangani saja sekarang! lebih cepat lebih baik!"

Sekali lagi kinanti tidak mampu berbuat apa-apa, ia hanya bisa pasrah, perlahan ia menghembuskan nafasnya yang terasa sesak.

"Beri saya ruang untuk bergerak, mana bisa saya menandatangani jika saya berada dalam kungkungan tangan Bapak seperti ini!" desahnya.

Wisnu melepaskan tangannya, ia membiarkan Kinanti pergi meninggalkan dirinya, tentu setelah mengambil pena yang di ulurkan nya.

Kinanti tidak berpikir panjang lagi, ia menandatangani surat perjanjian kontrak nikah mereka, ya ... dengan segenap rasa tidak menentu dalam jiwanya yang bergejolak.

***

“Bukankah hari ini sudah masuk hari ketiga Wisnu berada di rumahku, lalu kenapa tak pernah aku melihat istrinya menghubungi dirinya? Istri macam apa itu, pantas saja suaminya nikah lagi, ternyata dia punya istri yang tidak peduli dengan keberadaan suaminya, aku saja yang masih pacaran sama mas Bima, sering ingin mengetahui kabarnya, meski hanya satu hari, tapi ... apakah karena aku yang bersikap demikian sehingga mas Bima meninggalkan aku, ah, aku ingin sekali mendapatkan penjelasan, bagaimana pun aku tetap tidak bisa menerima penghinaan ini.” Hati Kinanti berkelana, berbicara seorang diri, memikirkan segala sesuatu yang terjadi begitu cepat.

Wajahnya sejak tadi menatap keluar jendela, menyaksikan air hujan yang jatuh ke bumi, meski tidak begitu deras.

“Saya perhatikan sejak tadi kamu bermenung, lagi memikirkan apa?”

“Saya ... hanya tidak habis pikir, kenapa Bapak tidak pulang saja?”

“Kamu mengusirku?”

“Tidakkah istri Bapak menanyakan keberadaan Bapak?”

“Seharusnya kamu itu senang, di nomor satukan, ini malah tanya kenapa saya tidak pulang.”

“Saya tidak bisa bayangkan jika saya yang berada di posisi istri Bapak, saya tentu sangat sakit telah di khianati seperti ini.”

“Sayang dia itu bukan kamu!”

“Maksudnya?”

“Semua tak perlu di perjelas, bukankah semuanya tidak ada untungnya buat kamu?”

“Iya memang, tapi sebagai seorang wanita, saya bisa merasakan betapa akan kecewa istri Bapak.”

“Ngomong-ngomong, tidakkah kamu sadar jika kamu sudah melakukan kesalahan pertama?”

“Kesalahan? Kesalahan apa?”

“Kamu tetap memanggil aku dengan sebutan Bapak, aku itu nikah dengan kamu, bukan dengan ibu kamu!”

“Waduh kumat nih penyakit ini orang, dari apa sih terbuat otaknya?” keluh Kinanti dalam hati.

“Kinan, aku bicara sama kamu, kenapa kamu diam saja?”

“Bapak, saya ....” batin Kinanti lagi sambil menatap Wisnu dengan tidak mengerti.

“Kinanti, aku bicara sama kamu, dengar nggak sih?”

“Eh i-iya!”

“Apa akan terus saja kamu memanggil aku dengan sebutan Bapak?”

“Maunya Bapak bagaimana?”

“Aku suami kamu, dan apakah pantas seorang suami di panggil bapak?” spontan Kinanti menggeleng.

“Nah itu kamu tahu!”

“Jadi?”

“Ya, kamu panggil aku dengan selain Bapak!”

“Selain Bapak? Aku panggil dengan suadak saja!”

“Suadak, kapan aku ganti nama, namaku Wisnu, kok suadak?”

“Maksudku suadak itu “Suami dadakan!”

“Nggak, aku tidak mau!”

“Kalau manusia dingin?”

“Huh, kamu semakin bermain-main, tidak serius, aku tidak suka dengan orang yang terlalu meremehkan orang lain, panggil aku dengan sebutan mas, Mas Wisnu, titik.”

“Siapa yang meremehkan?... tadi yang nanya siapa, yang marah akhirnya siapa, dasar orang aneh!” Kata Kinanti sambil berdiri dan melempar bantal di pangkuan Wisnu.

Aneh, kenapa Wisnu suka melihat wajah Kinanti yang bersemu merah, menerima perlakuan darinya yang memang ia sengaja, ia memang ingin menggodanya, tapi ia tidak mau terkesan begitu agresif, jujur ini adalah sikap yang sama sekali tidak pernah di lakukan olehnya pada Miranda, istri pertamanya.

Justru istri pertamanya itulah yang selalu menggoda dirinya, sedang dengan Kinanti berbanding terbalik.

Kinanti tidak tahu harus melakukan apa, dalam suasana hujan rintik-rintik seperti itu ia kian risi berada dalam kamar, ia takut jika Wisnu akan melakukan sesuatu di luar dugaannya.

Dalam lamunan yang tidak berujung, suara deheman Wisnu mengejutkan dirinya. Kinanti menoleh, ia sudah mendapati Wisnu berdiri persis di sampingnya, ikut menatap keluar menyaksikan bunga-bunga yang telah basah kuyup oleh air hujan.

“Kenapa tersenyum? Memang ada yang lucu?” tegur Kinanti sinis.

“Hm, bunga itu terlihat segar setelah beberapa saat terkena siraman air hujan!”

“Lalu lucu gitu?”

“Kok sewot? Apa aku salah jika tersenyum melihat bunga itu?”

“Sejak dulu kalau bunga itu akan segar jika tersiram air, bukan hanya hari ini, jadi bersikap biasa saja manusia dingin!” kata Kinanti mengejek.

“Apa kamu bilang?” Manusia dingin? Bukankah aku sudah mengatakan jika aku mau di panggil Mas? Panggilan itu adalah sebuah kesalahan, kamu tahu hukuman bagi sebuah kesalahan yang kamu lakukan barusan?” kata Wisnu mencekal lengan Kinanti erat, dengan wajah mendekat ke wajah Kinanti.

“Maaf, saya ... saya tidak akan memanggil dengan manusia dingin lagi, janji!” jawab kinanti sambil menunjuk kan jari telunjuk dan jari tengah tangannya di dekat kepala sebagai isyarat janji yang di buatnya.

“Kamu harus mendapatkan hukuman, agar kamu tidak mengulangi kesalahan lagi!”

“Hu-hukuman apa?”

“Ciuman!”

“Nggak !”

“Atau mau lebih?”

“Nggak , saya tidak mau hukuman itu, saya mau hukuman yang lain saja!”

“Tapi itu adalah hukuman yang tidak bisa di ganti dengan hukuman yang lain, atau kamu mau meminta hukuman yang jauh lebih menantang, cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran!”

“Ba-baiklah, tapi pejamkan matamu!”

“Harus memejamkan mata? Kenapa?”

“Jika tidak mau memejamkan mata, anggap saja hukumannya batal!”

“Baik, aku akan pejamkan mata.” Kata Wisnu sambil menutup matanya!”

Kinanti memandang jari-jarinya, ia menempelkan kedua jarinya di bibir Wisnu, dan Wisnu seketika mengambil tangan Kinanti yang masih belum menjauh dari wajahnya.

“Kamu curang!” Wisnu tersenyum menang karena menangkap basah kelakuan istri mudanya itu.

Wisnu mendekat, ia menekan tubuh Kinanti hingga tersandar di dinding.

“Bukankah hujan-hujan gerimis seperti ini akan menimbulkan sensasi tersendiri? Lalu kenapa kamu terus saja memancing aku untuk melakukan lebih?”

“Ti-tidak seperti itu.” Jawab kinanti bergetar takut. Tangannya mulai berkeringat dingin.

Wajah Wisnu terus mendekat, Kinanti tidak sanggup menatap wajah yang kini begitu dekat dengan wajahnya itu, hingga ia memejamkan matanya.

Perlahan, bibir Wisnu telah menempel di bibirnya yang menawan. Kinanti membuka matanya dan langsung mendorong tubuh Wisnu kuat, hingga Wisnu menjauh beberapa langkah darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status