Wisnu membuka netranya, ia mendapati Kinanti tengah berjalan ke dekat ranjang, Wisnu berpura-pura memejamkan netranya, padahal ia mengintip setiap gerak Kinanti. Ia melihat Kinanti membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang, kemudian memejamkan netranya dan entah hingga kapan pula ia memperhatikan Kinanti, kini Wisnu akhirnya terlelap juga.
Azan subuh mengusik ketenangan Kinanti yang sedang tertidur pulas, padahal baru beberapa jam ia kembali tertidur setelah mengerjakan shalat tahajud tadi. Netra Kinanti terbuka, mulutnya komat-kamit menjawab azan yang ia dengar, meski keluarganya tidak begitu terkenal sebagai keluarga santri, tapi memang keluarga ini adalah keluarga yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Perlahan ia kembali turun dari ranjang, ia kembali ke kamar mandi, ia sengaja mandi, agar seluruh tubuhnya terasa rileks, dan itu sudah menjadi kebiasaan pula bagi Kinanti, meski kadang suasana pagi dingin sekalipun. Suara gemercik air terdengar, Wisnu menarik kain selimut yang masih setia menemaninya tidur, ia tidak peduli dengan suara air yang terdengar di telinganya, karena ia sudah tahu jika suara itu berasal dari kamar mandi, pasti Kinanti yang tengah ada di dalamnya, sebab ia biasa mendengar sejak tiga hari terakhir, meski pada mulanya ia sempat terkejut. Karena ia tidak terbiasa melihat semua itu pada istrinya selama ini, justru ia dan istrinya malah menarik selimut untuk meneruskan tidur mereka. Setelah selesai dari kamar mandi, Kinanti langsung keluar, ia telah memakai pakaian secara langsung, karena ia langsung membawa baju ganti dan mengganti bajunya di sana, dan itu ia lakukan setelah pernikahan terjadi, ia tak berani memakai baju kimono atau semacamnya dikamar, rasa malu tentunya lebih mendominasi dari pada logika, jika Wisnu yang berada dalam kamarnya saat ini adalah suaminya, suami yang tentunya sudah halal melihat seluruh bagian tubuhnya. Kinanti mengambil mukena, ia mulai memakainya, dan ia terlihat begitu bersih bersinar, sungguh menawan. Sudah sejak tadi Wisnu memperhatikan setiap pergerakan Kinanti, ia kali ini ingin melihat istri mudanya itu, ia ingin melihat setiap gerakan shalatnya, dan tentunya hatinya mulai tidak menentu. Kagum, senang, bahkan rasa campur aduk yang tidak di mengerti oleh Wisnu sendiri. Seusai shalat, Kinanti berzikir, dan akhirnya ia menutupnya dengan doa, entah apa doa yang ia panjatkan, yang jelas Kinanti ingin memulai semuanya, mencoba menjalani takdir yang di gariskan Tuhan untuknya. Setelah selesai shalat, Kinanti tidak langsung membuka mukenanya, ia berjalan ke arah Wisnu, ia berdiri di sisi sofa, tangannya ingin menggapai pundak Wisnu, tapi tidak jadi, ia jadi ragu, padahal Wisnu mengetahuinya dan pura-pura memejamkan matanya. Ketika Kinanti menunduk menatap lantai, ia melihat ada sebuah kertas putih, dan hatinya terusik untuk mengambil kertas itu, hingga akhirnya iapun jongkok, berinisiatif untuk mengambil apa yang di lihatnya. Tepat setelah selesai ia mengambil kertas yang kini sudah berpindah di tangannya ia menoleh, Kinanti menoleh, tepat di depan wajah Wisnu, wajah mereka begitu dekat, netra Kinanti melihat alis Wisnu yang turun naik membuat Kinanti mengerutkan keningnya. “Ternyata sudah bangun?” Wisnu hanya tersenyum. “Kenapa tidak turun, jika sudah bangun? Apa sedang datang bulan?” Wisnu langsung duduk mendengar perkataan Kinanti. “Aku ini cowok ya, mana mungkin aku datang bulan!” sungutnya. “Oh ... begitu, jadi tidak datang bulan ya, aku pikir Mas Wisnu ini bukan cowok tulen, habis sejak kemarin aku tidak melihat Mas turun dan shalat, sorry sudah salah sangka.” Mendengar jawaban Kinanti, Wisnu terdiam, memang sejak ia tinggal di rumah mertuanya itu ia belum pernah melakukan shalat, mungkin ia yang terbiasa abai, sehingga ia menganggap semua itu adalah biasa saja. “Bangunlah Mas, segeralah mandi, rasakan sensasi lain dari mandi pagi, Mas pasti akan merasa lebih sehat.” “Dingin Kinanti !” “Itu semua karena Mas Wisnu belum terbiasa, cobalah!” jawab Kinanti seakan memaksa. “Nggak ah, nanti saja, aku masih ngantuk.” Jawab Wisnu sambil menarik selimutnya. “Untuk hari ini aku akan mengalah, aku akan membiarkan apa yang menjadi kemauanmu, tapi untuk waktu selanjutnya aku akan berusaha mengingatkan kamu kembali.” Bisik hati Kinanti. Kinanti berjalan meninggalkan Wisnu, ia membuka kain mukena yang masih menutup tubuhnya, kemudian ia melipatnya dan menggantungnya di tempat biasanya. Seperti kebiasaannya, Kinanti meninggalkan kamar, ia pergi keluar, menuju dapur untuk membantu memasak di sana. Sepeninggal Kinanti, Wisnu duduk, ia kemudian masuk ke kamar mandi, ia menghidupkan shower , air hangat membasahi seluruh tubuhnya, ada rasa yang nyaman, benar apa yang dikatakan Kinanti padanya, rasa rileks ia rasakan, dan bahkan ia ingin berlama-lama di sana, tapi ia tidak mau menghabiskan waktu begitu saja. Beda dengan Kinanti yang selalu mengganti pakaiannya di dalam kamar mandi, Wisnu keluar hanya mengenakan handuk yang terlilit mulai dari pinggir sampai lutut, eh salah, sudah memakai kain pengaman segitiga berwarna biru, jangan ngeres-ngeres otaknya ya, jangan buru-buru ke arah sana, oke? Kinanti masuk kedalam kamar, ia membawa baki berisi air hangat. Tapi ia berhenti melangkah ketika netranya melihat Wisnu yang tengah berdiri di depan lemari pakaian, ia lupa, jika ia tidak punya pakaian di rumah ini. “Ke-kenapa ti-tidak pakai baju?” tanya Kinanti terbata. “Aku lupa, aku tidak punya baju di sini, jadi aku belum pakai baju!” “Baju yang Mas pakai tadi di mana?” “Tentu dana sudah aku masukkan dalam kain kotor di kamar mandi, dan tentunya sudah basah terkena air.” Kinanti meletakkan baki yang masih di pegangnya, ia tidak berani menatap Wisnu, ia tertunduk sambil mengambil kain selimut. “Kamu mau apa?” tanya Wisnu yang tidak mengerti melihat Kinanti berjalan ke arahnya sambil membawakan kain selimut yang ia pakai tadi. Kinanti langsung menyerahkan kain selimut itu pada Wisnu, tentu saja tanpa melihat Wisnu, Wisnu tersenyum, sikap jahilnya muncul. Ia ingin mengerjai Kinanti. “Anu ... aku kedinginan, tolong kamu yang pakai kan!” Kinanti menoleh, tak menyangka jika Wisnu malah akan menyuruhnya. “Tapi ... Mas pasti bisa memakainya sendiri.” “Tidak kinanti, lihatlah tanganku yang keriput, ini semua karena kamu yang menyuruh aku mandi sepagi ini, aku juga masuk angin, perut aku sudah kembung nih!” “Oh ya, benarkah?” tanya Kinanti yang merasa khawatir, kemudian ia menutupi tubuh Wisnu. “Tunggu Kin, tanganku jangan ikut di bungkus semuanya, aku jadi tidak bisa gerak, aku duduk saja dulu di atas sofa baru kamu pakaikan selimutnya!” Kinanti hendak membuka selimut yang sudah menutupi tubuh Wisnu, tapi tangan Wisnu tanpa sengaja menarik ujung handuk yang kini ia pakai sehingga akhirnya Wisnu hanya memakai kain pengaman segitiga biru yang sempat di pakainya tadi. Kinanti melepaskan selimut yang tengah di pegangnya, ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. “Mas Wisnu sengaja melakukannya kan?” “Ah tidak siapa bilang?” jawab Wisnu sambil mengambil handuk yang terjatuh di atas lantai. Sementara Kinanti berlari keluar kamar. “Mas pakai sendiri selimutnya, aku tidak mau!” kata Kinanti sebelum menutup pintu kamar mereka. Wisnu tersenyum, “ kamu terlihat menarik dengan wajah merona seperti itu, Kinanti!” ujarnya nakal.Wisnu berbaring sambil meringkuk, ia benar-benar merasa kedinginan.“Aku berdosa kali ya, telah membuat Kinanti malu? Ah masak sih, lagi pula aku tidak bermaksud membuatnya malu.” Rintih Wisnu sambil menggigil.Setelah Kinanti masuk lagi dengan membawa sepasang baju yang telah terlipat rapi, ia menatap Wisnu dengan perasaan bersalah, karena ia melihat Wisnu sedang berada dalam selimut sambil meringkuk, suaminya itu kedinginan setelah mengikuti kemauannya, mandi di saat hari begitu pagi.“Oh, bagaimana seandainya dia sakit, pasti dia menyalahkan aku!” Kata Kinanti resah.“Mas ....” panggil Kinanti sambil menyibakkan selimut hingga kepala Wisnu tersembul.“Aku benar-benar dingin Kin ....” sahut Wisnu dengan suara benar-benar terdengar bergetar.“Pakailah bajumu dulu, agar tidak kedinginan!”“Apa ... anu ... bisakah kamu menyembuhkan rasa dingin ini?”“Bagaimana, dengan apa?”“Saat aku masih kecil aku biasa di peluk oleh Mamaku, maukah kamu memelukku?”“Apa? Memelukmu? Tidak, a
Kinanti memutar vidio itu, namun sosok anak itu begitu asing, Kinanti tidak mengenalnya sama sekali, dan sampai detik berikutnya, Bima menggendong anak kecil yang berusia sekitar lima tahun itu, ada kemiripan di antara keduanya, dan Bima terlihat begitu menyayangi anak itu.“Siapa dia? Apakah ada hubungannya dengan pembatalan pernikahan yang di lakukan oleh Mas Bima? Jika iya, apa? “ Kinanti menutup gawainya, kepalanya mulai mendenyut, ia pusing, rasa sakit semakin menyiksanya.“Mungkin memang benar, jika aku memang harus melupakan mas Bima, tapi aku belum sanggup.” Keluhnya.Airmata Kinanti mulai merembes, ia mulai menyesali takdir yang terjadi akibat kelakuan kekasih yang begitu sangat di cintainya. “Non, ada apa dengan non Kinan?” tanya Bik Inah yang sudah datang di dekatnya. saking asyiknya dalam lamunannya, Kinanti sampai tidak menyadari pembantunya itu sudah ada di dekatnya.“Tidak ada Bik, saya Cuma lagi ingat mas Bima!”“Aduh Non ... laki-laki kayak gitu jangan di ing
Setelah Kinanti masuk dan duduk di jok depan di samping Wisnu, Bu Sukma semakin heran, begitu pula dengan pak Hermawan.“Kamu bilang tadi kan mau menjemput mertua, lalu di mana mereka? Apa tidak jadi pulang? Dan mana suami kamu Kin?” Tanya Bu Sukma tidak bisa menyembunyikan rasa heran yang ia dan suaminya rasakan.Tidak mendengar perkataan Mamanya, Wisnu menjalankan mobilnya, ia rasa tidak tepat jika harus menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang keluar dari mulut Mamanya itu. Sementara Kinanti hanya menunduk, ia tak bisa menjawab begitu saja, boleh jadi Wisnu merahasiakan pernikahan mereka dan ... ia tak ingin di salahkan, apalagi saat ini, Wisnu masih dalam keadaan marah padanya, gara-gara tidak di turuti kemauannya makan bersama di restoran tadi.“Di tanya kok diam? Bilang saja suami kamu pergi, bereskan? Dan kamu di suruh sama kami!”“Oh kamu kenal juga sama suaminya, Wis?”Seperti yang Wisnu duga, jika ia menjawab pertanyaan Mamanya, maka akan ada pertanyaan demi pertanyaan
Miranda duduk di sebuah sofa, ia melipat kakinya, yang sebelah kanan menindih yang sebelah kiri, keduanya menjuntai ke lantai, tangannya masih memainkan gawai, terlihat bias kekhawatiran di wajahnya yang memang terlihat begitu cantik. Ia teringat ketika ia adu mulut dengan Wisnu beberapa hari yang lalu. Ia yang selalu menyalahkan Wisnu atas rumah tangga mereka yang belum di karuniai anak. “Kenapa sih, kamu selalu menyalahkan aku? Mengatakan jika aku ini mandul? Memangnya kamu sendiri tahu kalau kamu itu bisa hamil?” Cerca Wisnu. “Mas sendiri tahu kan dokter bilang apa? Aku ini sehat, aku baik-baik saja!” “Kamu juga mendengar dokter juga mengatakan jika aku juga baik-baik saja dan kita masih belum beruntung.” “Lalu kenapa sampai dua tahun kita menikah aku belum hamil juga?” “Mana aku tahu.” “Nah kalau begitu mas Wisnu pasti yang mandul!” “Kamu selalu mengatakan seperti itu, lama-lama aku muak mendengarnya!” “Kalau kamu muak maka buktikan jika kamu itu meman
Wisnu mendesah berat sambil melempar ikan-ikan dengan makanan, ia belum juga berselera mengambil makanan itu, ia lebih mengingat ketika siang tadi pulang kerumah.Ia menemui Miranda yang baru pulang dari rumah ibunya, ia sengaja tidak mengatakan jika kedua orang tuanya akan kembali sore ini, dan entah mengapa ia lebih memilih mengajak Kinanti di bandingkan Miranda.Wisnu tahu alasannya, ia hanya ingin melihat ekspresi wajah Papa dan Mamanya setelah mendengar ia telah menikahi gadis lain.Tapi setelah melihat ekspresi keduanya yang bahkan sepertinya sangat mendukung, ia jadi resah sendiri.Ia tahu jika selama ini hubungan keduanya tidak begitu baik dengan Miranda, tapi ia tidak menduga jika Mamanya bahkan terlihat sangat bahagia.“Seburuk itukah perasaan Mama pada Miranda, apa benar ada sesuatu yang sama sekali tidak aku tahu dari Miranda, seperti kata Mama jika Miranda bukan wanita baik-baik, lalu apa yang Mama tutupi dariku?”“Mas ....” panggil Kinanti. Membuat Wisnu menoleh.
Wisnu sudah bersiap, padahal ini adalah hari Minggu, Kinanti sudah bangun terlebih dulu, ia sengaja membantu mbok Mimi di dapur, pembantu keluarga Wisnu untuk menyiapkan sarapan pagi ini. Kinanti memang masih merasa asing dengan rumah keluarga Hermawan, keluarga yang telah menjadi bagian dari hidupnya itu, meski ia tak pernah menyangka sebelumnya. Hari menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, Kinanti kembali ke kamar, ia membawa dua gelas teh hangat, satu untuknya dan satu lagi untuk wisnu. Tidak lupa sebungkus roti, ia biasa memakan itu jika pagi, dengan di celupkan ke dalam teh hangatnya ia merasakan betapa nikmatnya rasa roti itu. Karena teh itu masih terlalu panas, Kinanti memutuskan untuk mandi terlebih dulu, sedangkan Wisnu hanya menatapnya dengan tatapan dingin, ia hanya melihat tanpa berkata sepatah kata pun, begitu juga dengan Kinanti, mulutnya enggan untuk mengeluarkan suara. Kinanti mengambil pakaian ganti dan membawanya ke dalam kamar mandi, ia tidak mau mengganti
“Aku dan Kinanti mau pulang ke rumah!” “Ke rumah siapa? Rumah Kinanti atau rumah Kamu dan Miranda i?” Tanya Mamanya lagi. “Rumahku, Ma!” Pak Hermawan langsung bangkit mendengar perkataan Wisnu. “Apa kamu sudah gila? Kamu mau membuat perang besar? Bisa-bisanya kamu akan membawa pulang Kinanti, apakah kamu tidak akan berpikir jika mereka akan bertengkar?” “Mereka tidak akan bertengkar Pa, saya bisa jamin.” “Dengan apa kamu menjaminnya, apa selama hidup bersama Miranda kamu sudah benar-benar mengenal dia? Seujung kuku pun, Mama rasa kamu tidak mengenal siapa istri kamu itu, dan aku melarang kamu membawa Kinanti pulang bersamamu, jika mau pulang kamu pergi saja sendiri.” “Tapi Ma ....” “Nggak ada tapi-tapi. Kinanti! masukkan semua pakaianmu lagi, kita akan segera pulang ke rumah kamu. Kami akan menemui kedua orang tuamu, membicarakan masalah resepsi pernikahan kalian.” “Kenapa Mama masih bersikeras mengadakan pesta? Aku tidak setuju!” “Pestanya menggunakan uan
Mobil yang di kendarai oleh keluarga Sukma, berhenti di pelataran sederhana yang tidak begitu luas, tempat yang kini tidak asing lagi bagi Wisnu.Sukma dan suaminya terlihat keluar, sedangkan Kinanti masih terpaku di tempat duduknya, ia masih belum yakin jika ia akan melangsungkan pesta pernikahan di kediaman mertuanya, baginya itu semuanya tidak perlu untuk di lakukan, menurutnya itu semua akan membuang-buang waktu saja.“Hus, apa kamu tidak akan keluar?” Usik Wisnu yang memperhatikan Kinanti masih saja diam termenung.“Eh i-iya, Mas sendiri?”Wisnu turun, kemudian ia dengan berlari mendekat ke arah Kinanti yang hendak turun.Ia mengulurkan tangannya, Kinanti yang melihat itu tertegun sebentar. Wisnu mencoba memberikan senyumnya.Melihat senyum ramah Wisnu, Kinanti menerima uluran tangan suaminya. Baru beberapa jam mereka berdebat gara-gara pulang kerumah Wisnu, kini senyum itu begitu manis.“Apa arti senyumnya itu, bikin aku salfok (salah fokus) saja.” Batin Kinanti.Wisnu m
Kinanti berjalan dengan tenang menuju ruang tamu, ia melihat Wisnu sudah berdiri menantinya. Laki-laki yang sok cool itu berdiri di dekat pintu keluar, menatap ramainya jalan yang terang oleh cahaya lampu.Mendengar suara langkah kaki Kinanti, Wisnu berpaling dan menatap Kinanti. Sungguh ia begitu terkejut melihat hasil balutan gaun yang ia berikan pada istrinya itu, sungguh mempesona.Dalam hati ia pun bertanya, sebenarnya ada apa sampai hati Bima meninggalkan Kinanti, ia jadi penasaran juga, bukan apa-apa, Cuma ia tidak habis pikir kenapa Kinanti yang begitu sempurna ini mendapat perlakuan yang begitu menyakitkan.“Kamu bodoh Wisnu, ya Alhamdulillah jika Bima meninggalkan Kinanti, itu namanya jodoh kamu, tahu!” sentak hati Wisnu.Ia terlihat tersenyum, ia baru mengucapkan rasa syukur dengan sangat jelas.“Alhamdulillah ....”“Hah, Alhamdulillah? Apanya?”“Eh ... anu ....” jawab Wisnu garuk-garuk kepala. Ia malah cengengesan.“Apa, kamu selesai lebih cepat dari perkiraanku, j
“Malam ini aku ingin mengajakmu makan malam di luar, apa kamu bersedia?” kata Wisnu dan kemudian duduk di dekat Kinanti “Makan malam di luar? Di mana?” Wajah Kinanti terlihat berubah, ada sesuatu yang sukar di tebak di dalam sana. Terus terang Kinanti jadi dag-dig-dug ser, duduk begitu dekat dengan Wisnu seperti ini.“Nanti kamu akan tahu.”“Tuhan ... jika suara dia selembut ini ... mana mungkin pertahananku akan tetap kekeh, aku paling tidak bisa menerima perlakuan lembut seperti ini.Kriiiing, Kinanti terkejut, ia tersadar dari lamunannya, ia menoleh ketika Wisnu mengangkat ponselnya.“Ya, ada apa?”Terlihatlah Wisnu bangkit dari duduknya, ia berdiri tidak jauh dari kinanti sementara sebelah tangannya ia masukkan ke dalam saku celana sebelah kanan, Kinanti menatap Wisnu dari ujung kepala sampai ujung kaki, semua terekspos secara sempurna. Ia mengakui jika suaminya memang begitu tampan dan penuh pesona. Tapi karena sikapnya yang dingin dan cuek, membuat hati membeku.Sayup te
Entah mengapa, hari ini terasa sangat membosankan. Kinanti mendengus serta menampar jok mobil yang di dudukinya. Kekesalan terpancar di mimik mukanya.Entah mengapa, hatinya terusik untuk sekedar tahu siapa sebenarnya perempuan yang kini sedang bersama Wisnu, hatinya masih menduga dan bertanya-tanya dan ia ingin memastikan.Keduanya terlihat begitu santai dan akrab, mereka tertawa bareng dengan begitu lepas, dari dalam hati Kinanti terbersit rasa iri, karena saat bersamanya, Wisnu jarang menunjukkan muka manis, mungkin hanya sekali ketika malam ia terjatuh, dan setelah itu tidak pernah.Tapi kali ini, tawa itu begitu berderai, tanpa beban sedikitpun, oleh karena itu Kinanti semakin bertambah penasaran, kakinya kembali turun, membimbingnya untuk keluar dari dalam mobil, dan ... tentu saja mengikuti Wisnu yang kini masuk ke dalam Mall.Kinanti terus berjalan di antara pengunjung yang lain, ia berada tidak begitu jauh dari Wisnu dan perempuan yang masih bersamanya ini.Keduanya berh
Setelah selesai sarapan, Wisnu berangkat ke kantor, sedangkan Kinanti bergegas kembali masuk ke dalam kamar. Ia termangu menatap ponsel yang masih utuh dalam kotak, ponsel baru yang sengaja di berikan oleh Wisnu padanya, ia tersenyum mengenang sikap Wisnu yang begitu salah tingkah ketika menyadari ponsel dalam tasnya jatuh begitu saja di atas lantai.Wajah kikuk dan grogi tergambar jelas, dan semuanya membuat Kinanti tidak habis pikir.“Apa sih susahnya tinggal mengatakan bahwa ia telah membelikan ponsel untuk dirinya, ini malah pura-pura mau berangkat ke kantor, dasar kamu memang pria aneh Wisnu!” gerutu Kinanti seorang diri.Tapi serupa dengan Wisnu, ia pun enggan untuk menyentuh ponsel itu. Rasa gengsi dan marah yang sengaja di buat-buat ia begitu berat hati untuk langsung begitu saja menerimanya, meski yang memberikan ponsel itu adalah suaminya sendiri. Namun baginya Wisnu tetaplah orang asing dan belum sepantasnya jika dirinya begini cepat dekat dan akrab.“Ah Bima, sebenar
Wisnu telah bersiap pergi ke kantor, seperti biasanya ia selalu memeriksa isi tas kantornya. Ia tertegun melihat kotak ponsel yang di belinya kemarin, ia belum memberikan ponsel itu pada Kinanti.Mukanya menoleh saat derit pintu kamar berbunyi, pertanda ada yang masuk.Tapi entah mengapa, bibir Wisnu seakan terkunci rapat untuk sekedar memanggil dan menyerahkan ponsel itu.Kinanti masih diam, ia masih bermuka datar, tak ada bias keramahan di wajah ayu miliknya, membuat Wisnu semakin membeku di tempatnya.“Mari kita sarapan di bawah, Papa dan Mama sudah menunggu.” Kata Kinanti masih berdiri di muka pintu, menanti Wisnu keluar dari kamar.“Aku tidak sarapan hari ini, aku pergi lebih awal ke kantor, ada pekerjaan yang harus aku selesaikan lebih cepat pagi ini.” Wisnu mencoba memberikan alasan.“Sarapan hanya memerlukan waktu sebentar, lagi pula hari masih terlalu pagi untuk berangkat, apakah itu bukan sekedar alasan kamu agar cepat-cepat pergi?”“Kamu selalu berburuk sangka padaku
“Mas, mau ambil ponsel yang kemarin saya bawa kemari ya?” Kata Kinanti pada tukang servis ponsel yang ia datangi kemarin.“Dengan mbak Kinanti ya?”“Iya mas, apakah sudah jadi?”“Waduh Mbak, maaf ponselnya sudah tidak bisa di perbaiki!”“Yang bener saja Mas, masak sih?”“Iya, maaf ya Mbak?”“Apa tidak bisa di usahakan lagi ya Mas?”“Kemarin sudah saya coba Mbak, tapi tetap tidak bisa!”“Ya sudah kalau begitu, saya permisi dulu.”Kinanti meninggalkan tempat itu dengan perasaan kecewa, bagaimana tidak, ia benar-benar kehilangan kenangan yang ia lalui bersama dengan Bima, tak ada lagi yang bisa ia harapkan, tapi tak ada yang bisa di lakukan olehnya kali ini.akhirnya ia kembali masuk ke dalam taksi online yang iya pesan. Dengan lesu ia duduk di jok belakang taksi tersebut dan menatap keluar setelah berbicara pada sang sopir jika ia siap meninggalkan tempat itu.Dalam perjalanan, ia menatap keluar tanpa semangat, tiba-tiba netranya menatap seorang pemuda yang sedang berjalan s
Wisnu meletakkan ponsel baru yang baru saja di belinya, ia bermaksud memberikan ponsel itu untuk Kinanti, setelah beberapa hari yang lalu ia berhasil membujuk tukang servis HP agar tidak memperbaiki ponsel milik Kinanti.Lama ia terdiam, sesekali ia mendesah, ia begitu bingung harus bersikap seperti apa, harus bagaimana cara memberikan ponsel itu. Wisnu memasukkan ponsel baru itu ke dalam tas kerjanya, kemudian melangkah keluar meninggalkan kantor dengan santai.Wisnu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, jujur ia begitu salah tingkah di hadapan istri mudanya itu.Dengan tekat yang kuat, akhirnya Wisnu memberanikan diri, ia mengetuk kamar yang masih tertutup rapat, mungkin Kinanti sedang istirahat.Lama tak ada sahutan, Wisnu masuk ke dalam kamar, ia melihat sekeliling kamar, namun ia tak menemukan keberadaan Kinanti di sana. Hanyalah suara gemercik dari arah kamar mandi, mungkin Kinanti sedang membersihkan diri.Wisnu tahu jika Kinanti masih marah padanya karena ponsel yang terj
Kinanti sibuk dengan gawai di tangannya, bahkan ia tidak menyadari jika kini Wisnu datang menghampirinya. Ia duduk di sebuah sofa panjang di ruang tamu.Wisnu menyusul Kinanti, setelah pertengkarannya dengan Miranda, ia tidak ingin memperpanjang masalah dengan Kinanti, makanya ia memutuskan untuk tinggal sementara waktu di kediaman keluarga Darmawan.Wajah teduh yang dingin itu seakan tak mengusik Kinanti, terbukti Kinanti yang masih memainkan gawai di tangannya, membuka galeri yang masih memamerkan kemesraannya dengan Bima.Wisnu mendekatkan dirinya kepada Kinanti, kepalanya agak melongok kedepan, sehingga Wisnu dengan bebas bisa melihat foto Kinanti yang di peluk dari belakang oleh Bima dengan begitu mesra. Dan Kinanti seakan tak mau berhenti menatapnya.Wisnu merasa darahnya berdesir.“Ah, mana mungkin aku cemburu, dia bukan siapa-siapa lagi bagi Kinanti, dia hanya masalalu.” Bisik hati Wisnu.Semakin lama wisnu melihat betapa lama Kinanti masih tetap pada posisi sebelum
“ Ayo Pa, kita berangkat, Kita yang jemput Kinanti sekarang!” Kata Sukma sangat bersemangat di dalam percakapannya dengan Pak Hermawan lewat ponsel. “Iya, tapi Papa masih meeting Ma .... tunggu sebentar lagi nanti Mama Papa jemput!” “Pokoknya Mama tak mau tahu, setengah jam lagi kita berangkat, atau Mama akan pergi sendiri!” “Kan tadi sudah Papa bilang, Mama saja yang jemput, sama sopir, Mama ngotot kita pergi!” “Ya sudah kalau Papa keberatan, aku pergi sendiri saja!” “Ya, oke Ma, tunggu ya ....” jawab Pak Hermawan akhirnya, ia tak bisa mendengar istrinya merajuk, karena tak selalu istrinya itu minta di turuti kemauannya, tapi jika sudah ingin maka harus mendapatkan apa yang di inginkannya. Selang beberapa menit, Pak Hermawan sudah datang menjemput Bu Sukma, sebab Bu Sukma sudah menunggu di tempat yang tidak jauh dari kantor mereka. “Masih ngambek?” canda Pak Hermawan sambil mencolek pipi istrinya mesra. “Pa ... Mama mau melihat wajah pucat Kinanti bersama Papa,