Share

Bab 7. Gara-gara selimut

Wisnu membuka netranya, ia mendapati Kinanti tengah berjalan ke dekat ranjang, Wisnu berpura-pura memejamkan netranya, padahal ia mengintip setiap gerak Kinanti. Ia melihat Kinanti membaringkan tubuhnya kembali di atas ranjang, kemudian memejamkan netranya dan entah hingga kapan pula ia memperhatikan Kinanti, kini Wisnu akhirnya terlelap juga.

Azan subuh mengusik ketenangan Kinanti yang sedang tertidur pulas, padahal baru beberapa jam ia kembali tertidur setelah mengerjakan shalat tahajud tadi.

Netra Kinanti terbuka, mulutnya komat-kamit menjawab azan yang ia dengar, meski keluarganya tidak begitu terkenal sebagai keluarga santri, tapi memang keluarga ini adalah keluarga yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama.

Perlahan ia kembali turun dari ranjang, ia kembali ke kamar mandi, ia sengaja mandi, agar seluruh tubuhnya terasa rileks, dan itu sudah menjadi kebiasaan pula bagi Kinanti, meski kadang suasana pagi dingin sekalipun.

Suara gemercik air terdengar, Wisnu menarik kain selimut yang masih setia menemaninya tidur, ia tidak peduli dengan suara air yang terdengar di telinganya, karena ia sudah tahu jika suara itu berasal dari kamar mandi, pasti Kinanti yang tengah ada di dalamnya, sebab ia biasa mendengar sejak tiga hari terakhir, meski pada mulanya ia sempat terkejut. Karena ia tidak terbiasa melihat semua itu pada istrinya selama ini, justru ia dan istrinya malah menarik selimut untuk meneruskan tidur mereka.

Setelah selesai dari kamar mandi, Kinanti langsung keluar, ia telah memakai pakaian secara langsung, karena ia langsung membawa baju ganti dan mengganti bajunya di sana, dan itu ia lakukan setelah pernikahan terjadi, ia tak berani memakai baju kimono atau semacamnya dikamar, rasa malu tentunya lebih mendominasi dari pada logika, jika Wisnu yang berada dalam kamarnya saat ini adalah suaminya, suami yang tentunya sudah halal melihat seluruh bagian tubuhnya.

Kinanti mengambil mukena, ia mulai memakainya, dan ia terlihat begitu bersih bersinar, sungguh menawan.

Sudah sejak tadi Wisnu memperhatikan setiap pergerakan Kinanti, ia kali ini ingin melihat istri mudanya itu, ia ingin melihat setiap gerakan shalatnya, dan tentunya hatinya mulai tidak menentu. Kagum, senang, bahkan rasa campur aduk yang tidak di mengerti oleh Wisnu sendiri.

Seusai shalat, Kinanti berzikir, dan akhirnya ia menutupnya dengan doa, entah apa doa yang ia panjatkan, yang jelas Kinanti ingin memulai semuanya, mencoba menjalani takdir yang di gariskan Tuhan untuknya.

Setelah selesai shalat, Kinanti tidak langsung membuka mukenanya, ia berjalan ke arah Wisnu, ia berdiri di sisi sofa, tangannya ingin menggapai pundak Wisnu, tapi tidak jadi, ia jadi ragu, padahal Wisnu mengetahuinya dan pura-pura memejamkan matanya.

Ketika Kinanti menunduk menatap lantai, ia melihat ada sebuah kertas putih, dan hatinya terusik untuk mengambil kertas itu, hingga akhirnya iapun jongkok, berinisiatif untuk mengambil apa yang di lihatnya.

Tepat setelah selesai ia mengambil kertas yang kini sudah berpindah di tangannya ia menoleh, Kinanti menoleh, tepat di depan wajah Wisnu, wajah mereka begitu dekat, netra Kinanti melihat alis Wisnu yang turun naik membuat Kinanti mengerutkan keningnya.

“Ternyata sudah bangun?” Wisnu hanya tersenyum.

“Kenapa tidak turun, jika sudah bangun? Apa sedang datang bulan?” Wisnu langsung duduk mendengar perkataan Kinanti.

“Aku ini cowok ya, mana mungkin aku datang bulan!” sungutnya.

“Oh ... begitu, jadi tidak datang bulan ya, aku pikir Mas Wisnu ini bukan cowok tulen, habis sejak kemarin aku tidak melihat Mas turun dan shalat, sorry sudah salah sangka.”

Mendengar jawaban Kinanti, Wisnu terdiam, memang sejak ia tinggal di rumah mertuanya itu ia belum pernah melakukan shalat, mungkin ia yang terbiasa abai, sehingga ia menganggap semua itu adalah biasa saja.

“Bangunlah Mas, segeralah mandi, rasakan sensasi lain dari mandi pagi, Mas pasti akan merasa lebih sehat.”

“Dingin Kinanti !”

“Itu semua karena Mas Wisnu belum terbiasa, cobalah!” jawab Kinanti seakan memaksa.

“Nggak ah, nanti saja, aku masih ngantuk.” Jawab Wisnu sambil menarik selimutnya.

“Untuk hari ini aku akan mengalah, aku akan membiarkan apa yang menjadi kemauanmu, tapi untuk waktu selanjutnya aku akan berusaha mengingatkan kamu kembali.” Bisik hati Kinanti.

Kinanti berjalan meninggalkan Wisnu, ia membuka kain mukena yang masih menutup tubuhnya, kemudian ia melipatnya dan menggantungnya di tempat biasanya.

Seperti kebiasaannya, Kinanti meninggalkan kamar, ia pergi keluar, menuju dapur untuk membantu memasak di sana. Sepeninggal Kinanti, Wisnu duduk, ia kemudian masuk ke kamar mandi, ia menghidupkan shower , air hangat membasahi seluruh tubuhnya, ada rasa yang nyaman, benar apa yang dikatakan Kinanti padanya, rasa rileks ia rasakan, dan bahkan ia ingin berlama-lama di sana, tapi ia tidak mau menghabiskan waktu begitu saja.

Beda dengan Kinanti yang selalu mengganti pakaiannya di dalam kamar mandi, Wisnu keluar hanya mengenakan handuk yang terlilit mulai dari pinggir sampai lutut, eh salah, sudah memakai kain pengaman segitiga berwarna biru, jangan ngeres-ngeres otaknya ya, jangan buru-buru ke arah sana, oke?

Kinanti masuk kedalam kamar, ia membawa baki berisi air hangat. Tapi ia berhenti melangkah ketika netranya melihat Wisnu yang tengah berdiri di depan lemari pakaian, ia lupa, jika ia tidak punya pakaian di rumah ini.

“Ke-kenapa ti-tidak pakai baju?” tanya Kinanti terbata.

“Aku lupa, aku tidak punya baju di sini, jadi aku belum pakai baju!”

“Baju yang Mas pakai tadi di mana?”

“Tentu dana sudah aku masukkan dalam kain kotor di kamar mandi, dan tentunya sudah basah terkena air.”

Kinanti meletakkan baki yang masih di pegangnya, ia tidak berani menatap Wisnu, ia tertunduk sambil mengambil kain selimut.

“Kamu mau apa?” tanya Wisnu yang tidak mengerti melihat Kinanti berjalan ke arahnya sambil membawakan kain selimut yang ia pakai tadi.

Kinanti langsung menyerahkan kain selimut itu pada Wisnu, tentu saja tanpa melihat Wisnu, Wisnu tersenyum, sikap jahilnya muncul. Ia ingin mengerjai Kinanti.

“Anu ... aku kedinginan, tolong kamu yang pakai kan!” Kinanti menoleh, tak menyangka jika Wisnu malah akan menyuruhnya.

“Tapi ... Mas pasti bisa memakainya sendiri.”

“Tidak kinanti, lihatlah tanganku yang keriput, ini semua karena kamu yang menyuruh aku mandi sepagi ini, aku juga masuk angin, perut aku sudah kembung nih!”

“Oh ya, benarkah?” tanya Kinanti yang merasa khawatir, kemudian ia menutupi tubuh Wisnu.

“Tunggu Kin, tanganku jangan ikut di bungkus semuanya, aku jadi tidak bisa gerak, aku duduk saja dulu di atas sofa baru kamu pakaikan selimutnya!”

Kinanti hendak membuka selimut yang sudah menutupi tubuh Wisnu, tapi tangan Wisnu tanpa sengaja menarik ujung handuk yang kini ia pakai sehingga akhirnya Wisnu hanya memakai kain pengaman segitiga biru yang sempat di pakainya tadi.

Kinanti melepaskan selimut yang tengah di pegangnya, ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya.

“Mas Wisnu sengaja melakukannya kan?”

“Ah tidak siapa bilang?” jawab Wisnu sambil mengambil handuk yang terjatuh di atas lantai. Sementara Kinanti berlari keluar kamar.

“Mas pakai sendiri selimutnya, aku tidak mau!” kata Kinanti sebelum menutup pintu kamar mereka.

Wisnu tersenyum, “ kamu terlihat menarik dengan wajah merona seperti itu, Kinanti!” ujarnya nakal.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Setia R
ayo tunjukkan dukungan kalian!...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status