Rania menghembuskan napas leganya---bersyukur sebab pewaris dari Wijaya Group mau mempercayai dirinya, dan tentunya dia tidak jadi kehilangan pekerjaan. Berbalik menatap Devan--dengan posisi sedikit berjarak. Tak tahan menahan rasa haru yang sudah membuncahdi dalam diri, membuat airmata Rania terlebih dahulu menetes saat dia akan bersuara, "Terima kasih, Pak--Terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya, dan tidak memecat saya," imbuh Rania, tersenyum dengan airmata yang terus saja jatuh. Hujan airmata Rania--bak ribuan anak panah yang sengaja ditancapkan di dada Devan. Rasanya begitu sakit, Devan merasa dirinya gagal menjadi seorang suami. Bahkan hari ini istrinya dipermalukan di depan orang--dan bersyukur dia datang tepat waktu. Tak sanggup lagi Devan bertahan, airmata Rania membuatnya benar-benar lemah. Tanpa sadar, pria itu membawa langkah kakinya menuju Rania. "Tuan--." Deni bersuara, berniat menyadarkan Tuannya--kalau dia tidak boleh melakukan hal itu--namun hal i
Masih jelas dalam ingatan Rania--walaupun pertemuan itu hanya sebentar saja bagaimana suara cucu dari Darma Wijaya. Pria itu mengatakan sebuah kalimat yang sama, dan itu terekam dengan jelas dalam ingatan seorang Rania. Lembut, dan berserak persis dengan suara suaminya. Rania ingin menolak untuk mempercayainya--namun suara-suara yang mengatakan kalau Devan--suaminya adalah cucu dari seorang Darma Wijaya, mendengung begitu kuat--namun diri itu masih berusaha untuk tidak mempercayainya. "Nggak mungkin. Nggak mungkin Devan suamiku, adalah cucu dari Darma Wijaya!" gerutu Rania dalam hati, menolak untuk mempercayainya. Namun, mengilas balik keanehan-keanehan yang dia temukan dalam diri Devan selama ini, membuat raut wajah itu kembali bimbang. Uang dua puluh juta. Berbagai makanan enak. Dan, juga apartemen mewah yang mereka tempati saat ini. Semua fakta itu kembali membuat Rania dilema, apakah benar-benar adalah pewaris dari Wijaya Group? Cucu dari Darma Wijaya. Membeo, Rania nampa
Tautan alis kakek Darma menekuk dengan sempurna, sorot mata itu lebih tajam dan dalam menatap sebuah gambar pada layar ponsel anak buahnya. "Siapa wanita ini?" tanya kakek Darma, mendongak menatap anak buahnya yang kini berdiri di depannya. "Dia adalah OG dari Wijaya Group, Tuan. Anda bisa melihat dari pakaian yang dia kenakan," sahut pria berbaju hitam itu dengan nada suaranya yang rendah. Dahi kakek Darma berkerut samar, bahkan kerutan itu menumpuk dengan sangat sempurna--saat rasa terkejut seketika datang dalam diri lelaki tua itu. Mencoba memperbesar tampilan layarnya, dan benar saja kemeja yang digunakan oleh wanita itu sangat tidak asing untuknya."Anak ini benar-benar memalukan! Bahkan gara-gara foto ini membuat orang memuat sebuah berita omong kosong, kalau cucu seorang Darma Wijaya saat ini tengah menjalin hubungan dengan seorang OG. Memalukan!" geram kakek Darma, wajahnya mengeras amarah nyata terlihat di sana. Nada dering yang berasal dari gawainya mengalihkan pandanga
Esok harinya Rania membelalakkan kedua matanya lebar-lebar, bahkan pupil mata itu nyaris melompat dari sarangnya setelah menatap layar ponsel milik Desi, di mana bertuliskan sebuah artikel tentangnya dan cucu, dari Darma Wijaya. CUCU DARI DARMA WIJAYA KINI TENGAH MENJALIN CINTA DENGAN SEORANG OG DARI PERUSAHAAN KAKEKNYA SENDIRI. Rania terkekeh tertahan. Amarah, dan juga shyok melebur jadi satu di dalam diri wanita itu. Apalagi melihat komentar-komentar orang-orang yang menyudutkan dirinya. "Mereka ini pasti penggemar-penggemar berat dari Pak Dev. Kata-kata mereka cukup mengerihkan. Apakah, mereka mengirah aku seperti mereka? Yang begitu mengeluk-ngelukkan Cucu dari Darma Wijaya. Aku sudah bersuami, dan aku bahagia bersamanya. Dan, apakah mereka mengirah cucu dari Darma Wijaya itu sudah nggak waras, mau sama OG seperti aku!" gerutu Rania, dengan wajah masamnya. "Tapi, aku sangat yakin kalau wanita--wanita di luar sana pasti kini sedang mengguncing, karena iri padamu. Hanya seor
Kemarahan Devan telah berada dipuncaknya. Rania yang terus terisak--frustasi memikirkan dirinya yang dipecat membuat Devan tak mampu menahan dirinya untuk segera bertemu dengan sang kakek. Dalam balutan pakaian kasualnya, pria itu setengah berlari saat membawa langkah kakinya menuju lantai bawa. Rania sontak menghentikan tangisan itu, nampak terperanjat saat mendapati Devan yang nampak akan pergi, dan pria itu terlihat terburu-buru. Devan seperti tengah mengejar sesuatu."Devan---." Rania menyeruhkan nama sang suami, pria itu bahkan mengaikan keberadaan dirinya.Pemilik tubuh jangkung itu sontak menghentikan langkah kakinya, dan berbalik menatap Rania, "Apakah kau, akan pergi?" Seolah melupakan kesedihan yang tengah dia rasakan--kini Rania menatap Devan dengan tatapan penasaran."Iya," sahut Devan pendek. Awan hitam kembali ada di wajah Rania. Wajah itu menunduk, airmata kembali luruh membasahi kedua pipi Rania, "Aku sedang bersedih, tapi ini kau malah ingin pergi," lirih Rania, wan
Harapan besar Devan kalau sang kakek mau memperkerjakan kembali Rania. Namun, keras kepala seorang Darma Wijaya, membuat Devan pulang dengan tangan hampa. Devan, dan Deni--kini berada di dalam lift--yang akan membawa kembali kedua pria itu menuju lantai bawa. Berkali-kali Devan menghela napasnya berat--bagaimana bayangan tangiasan Rania melintas dalam ingatannya. Pria itu terlihat uring-uringan, dan apa yang terjadi pada Devan begitu menarik perhatian Deni. "Tuan, anda baik-baik saja?" tanya Deni. Pria itu menatap Devan dengan tatapan penuh perhatian. Devan menghentikan gerakan tangannya. Pria itu sedang memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Memicingkan sepasang mata itu, menatap Deni dengan datar. Devan berbicara setelah beberapa detik kemudian, "Bagaimana aku bisa baik-baik saja. Rania begitu bersedih karena kehilangan pekerjaan ini. Dia terus saja menangis. Gara-gara pemberitaan sialan itu--membuat istriku begitu terus saja menangis hari ini!" umpat Devan, wajah pria i
Suara pintu terbuka membuat Ibu Enda yang tengah fokus pada lembaran yang berada di atas meja--seketika mengangkat pandangannya. Terperangah, bahkan bolamatanya membelalak--wanita bertubuh tambun itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depan matanya kini. Devan Wijaya kini berada di dalam ruangannya. "Bolehkah, saya masuk?" tanya Devan dengan sopan. Namun, suara dan airmuka yang pria itu tunjukkan mampu menciptakan atmosfer yang seketika berbeda di dalam ruangan, tentunya menciptakan ketegangan untuk Ibu Enda. Ibu Enda masih tak memindai pandangannya dari Devan--=namun seketika timbul tanda tanya di dalam diri wanita paruhbaya itu untuk apa cucu--dari Darma Wijaya datang ke ruangannya. "Apakah, saya boleh masuk?" Devan kembali bersuara, saat setelah sekian detik lamanya Ibu Enda mengabaikan keberadaannya. Tersentak, dari lamunan panjang itu--dengan airmuka yang nampak menahan kegugupan Ibu Enda akhirnya bersuara, "Tentu saja-boleh, Pak. Dan, silahkan duduk!" u
Dion begitu fokus pada kegiatannya mengotak-ngatik laptope miliknya. Namun, pandangan itu teralihkan saat terdengar suara ketukan pada pintu ruangan. "Masuk!" ujar Dion dengan setengah teriakkan. Pintu ruangan terbuka lebar. Mendapati kedatangan sosok yang sudah dia tunggu kedatangannya sedari tadi--Dion memutuskan untuk menghentikan kegiatannya dan mematikan laptope itu. Melemparkan pandangannya pada anak buahnya, dan bersuara. "Apakah, kau mendapatkan hasilnya?" tanya Dion dengan suaranya yang datar, pria itu menatap sang anak buah dengan lekat-lekat. "Seperti sesuai dengan kecurigaan anda selama ini, Tuan. Tuan Devan ternyata benar-benar memiliki hubungan dengan OG itu, bahkan keduanya telah menempati satu apartemen," ujar pria itu. Mengambil beberapa langkah, sedikit menunduk--saat meletakkan dua lembar foto di atas meja kerja Dion. Dion--terperangah, sepasang iris hitam pria itu lebih membulat, menatap tidak percaya dengan dua gambar yang berada di depan matanya kini. De