Kemarahan Devan telah berada dipuncaknya. Rania yang terus terisak--frustasi memikirkan dirinya yang dipecat membuat Devan tak mampu menahan dirinya untuk segera bertemu dengan sang kakek. Dalam balutan pakaian kasualnya, pria itu setengah berlari saat membawa langkah kakinya menuju lantai bawa. Rania sontak menghentikan tangisan itu, nampak terperanjat saat mendapati Devan yang nampak akan pergi, dan pria itu terlihat terburu-buru. Devan seperti tengah mengejar sesuatu."Devan---." Rania menyeruhkan nama sang suami, pria itu bahkan mengaikan keberadaan dirinya.Pemilik tubuh jangkung itu sontak menghentikan langkah kakinya, dan berbalik menatap Rania, "Apakah kau, akan pergi?" Seolah melupakan kesedihan yang tengah dia rasakan--kini Rania menatap Devan dengan tatapan penasaran."Iya," sahut Devan pendek. Awan hitam kembali ada di wajah Rania. Wajah itu menunduk, airmata kembali luruh membasahi kedua pipi Rania, "Aku sedang bersedih, tapi ini kau malah ingin pergi," lirih Rania, wan
Harapan besar Devan kalau sang kakek mau memperkerjakan kembali Rania. Namun, keras kepala seorang Darma Wijaya, membuat Devan pulang dengan tangan hampa. Devan, dan Deni--kini berada di dalam lift--yang akan membawa kembali kedua pria itu menuju lantai bawa. Berkali-kali Devan menghela napasnya berat--bagaimana bayangan tangiasan Rania melintas dalam ingatannya. Pria itu terlihat uring-uringan, dan apa yang terjadi pada Devan begitu menarik perhatian Deni. "Tuan, anda baik-baik saja?" tanya Deni. Pria itu menatap Devan dengan tatapan penuh perhatian. Devan menghentikan gerakan tangannya. Pria itu sedang memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Memicingkan sepasang mata itu, menatap Deni dengan datar. Devan berbicara setelah beberapa detik kemudian, "Bagaimana aku bisa baik-baik saja. Rania begitu bersedih karena kehilangan pekerjaan ini. Dia terus saja menangis. Gara-gara pemberitaan sialan itu--membuat istriku begitu terus saja menangis hari ini!" umpat Devan, wajah pria i
Suara pintu terbuka membuat Ibu Enda yang tengah fokus pada lembaran yang berada di atas meja--seketika mengangkat pandangannya. Terperangah, bahkan bolamatanya membelalak--wanita bertubuh tambun itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat di depan matanya kini. Devan Wijaya kini berada di dalam ruangannya. "Bolehkah, saya masuk?" tanya Devan dengan sopan. Namun, suara dan airmuka yang pria itu tunjukkan mampu menciptakan atmosfer yang seketika berbeda di dalam ruangan, tentunya menciptakan ketegangan untuk Ibu Enda. Ibu Enda masih tak memindai pandangannya dari Devan--=namun seketika timbul tanda tanya di dalam diri wanita paruhbaya itu untuk apa cucu--dari Darma Wijaya datang ke ruangannya. "Apakah, saya boleh masuk?" Devan kembali bersuara, saat setelah sekian detik lamanya Ibu Enda mengabaikan keberadaannya. Tersentak, dari lamunan panjang itu--dengan airmuka yang nampak menahan kegugupan Ibu Enda akhirnya bersuara, "Tentu saja-boleh, Pak. Dan, silahkan duduk!" u
Dion begitu fokus pada kegiatannya mengotak-ngatik laptope miliknya. Namun, pandangan itu teralihkan saat terdengar suara ketukan pada pintu ruangan. "Masuk!" ujar Dion dengan setengah teriakkan. Pintu ruangan terbuka lebar. Mendapati kedatangan sosok yang sudah dia tunggu kedatangannya sedari tadi--Dion memutuskan untuk menghentikan kegiatannya dan mematikan laptope itu. Melemparkan pandangannya pada anak buahnya, dan bersuara. "Apakah, kau mendapatkan hasilnya?" tanya Dion dengan suaranya yang datar, pria itu menatap sang anak buah dengan lekat-lekat. "Seperti sesuai dengan kecurigaan anda selama ini, Tuan. Tuan Devan ternyata benar-benar memiliki hubungan dengan OG itu, bahkan keduanya telah menempati satu apartemen," ujar pria itu. Mengambil beberapa langkah, sedikit menunduk--saat meletakkan dua lembar foto di atas meja kerja Dion. Dion--terperangah, sepasang iris hitam pria itu lebih membulat, menatap tidak percaya dengan dua gambar yang berada di depan matanya kini. De
Ternyata ucapan itu hanya sebuah bualan--untuk membuat seorang Darma Wijaya marah. Devan saat ini berada disebuah restorant mewah, yang ada di tengah kota J. Pria bertubuh jangkung itu bertemu dengan seorang wanita muda, yang tak lain adakah karyawati dari Wijaya Group. "Saya sudah mendengarnya dari Pak Deni--dan saya menyetujuinya--asalkan Bapak-berani membayar saya dengan bayaran yang mahal. Saya siap melakukannya!" ujar wanita cantik itu mantap, sorot matanya menatap dengan penuh keyakinan. Devan terkekeh. Kalimat yang baru saja terucap dari mulut wanita di depannya--mampu mengocok perut pria itu. Menyeringai, Devan akhirnya kembali bersuara setelah sekian detik. "Untuk masalah bayarannya--kamu tidak perlu khawatir. Saya akan membayar kamu berkali-kali lipat dari gaji kamu di Wijaya Group, asalkan kamu dapat melakukan tugas ini sampai berhasil. Yaitu, membuat rumah tangga Andra dan istrinya hancur!" Devan menekan kata dipenghujung ucapannya. Sorot matanya menukik tajam, kala
Seperti merasakan jatuh cinta untuk kedua kali--Andra terlihat begitu bahagia. Kebersamaannya dengan Susi benar-benar mampu menghapus kegamangan di hati akibat pertengkarannya dengan Rasty. Menatap paha mulus Susi, Andra benar-benar tak mampu menahan diri untuk menyentuhnya. Bagaimanapun dirinya adalah pria normal. Dengan memikirkan cara licik, Andra akhirnya mampu menyentuh paha mulus itu. Berpura-pura tidak sengaja melakukannya, Andra segera meminta maaf pada Susi. "Maafkan saya Susi. Maafkan saya. Niatnya mau megang tuas, eh, malah nyentuh paha kamu!" ujar Andra, pria itu menunjukkan wajah sesalnya. "Nggak apa-apa, kok!" sahut Susi, wanita itu mengulas senyum manisnya. Adra membelalakkan kedua matanya--menatap tidak percaya pada gadis didekatnya ini. Andra sama sekali tidak menyangkah kalau Susi tidak akan marah padanya. Bahkan wanita itu seperti memberikan lampu hijau. Andra kian bersemangat. Baginya, Susi adalah wanita yang mudah didekati. "Rumah, kamu masih jauh-Sus?" tanya
Hancur benar-benar hati seorang Rasty. Pengakuan Andra--benar-benar membuat dunianya terguncang. Dia sedang mengandung anak dari pria itu, namun dengan gamblangnya Andra mengakui kalau dia masih memiliki rasa pada Rania, wanita yang tak lain adalah adik-angkatnya. Rasty tak mampu menahan diri untuk menumpahkan airmata yang sedari tadi dia bendung. Butir-butir kristal itu--kini luruh membasahi kedua pipi wanita itu. "Rasty!" Suara panggilan dari sang Bunda, membuat Rasty tercengang. Tak, ingin Mama Anita mengetahui kalau dia tengah menangis dengan cepat punggung tangan Rasty mengujap jejak basah yang tertinggal pada kedua pipinya. Telah mendekat dengan Rasty--airmuka Mama Anita mendadak berubah--begitu dirinya mendapati mata Rasty yang nampak memerah. Telah mendengar pertengkaran, emosi yang sudah ada di dalam diri kian menyeruak. "Kamu, bertengkar dengan Andra-lagi?!" tanya Mama Rasty dengan nada suaranya yang penuh emosi. Rasty hanya diam, wanita itu seolah kehilangan kata-k
Suara panggian dari Rasty cukup membuat Andra terkejut. Lelaki itu memutuskan untuk mengakhiri panggilan teleponenya dan Susi. "Sus, Mas tutup teleponenya--istri Mas datang," bisik Andra dengan nada suaranya yang tergesa-gesa, namun pias yang juga kepanikan nyata terlihat di wajah pria itu. Susi tersenyum--sebelumnya akhirnya wanita itu bersuara, "Oke, Mas~sampai ketemu nanti," pamit Susi dengan nada suaranya yang mendayu-dayu, dan memutuskan sambungan teleponenya dan Andra. Andra mengeram kesal. Wajahnya itu menegang, nyata terlihat kilatan api yang membakar manik hitam legamnya-bagi pria itu-kedatangan Rasty hanya mengganggu kesenangannya saja. "Andra! Mas Andra!" Terdengar kembali Rasty yang menyeruhkan dirinya dengan lantang, seraya memaksa membuka pintu kamar mandi. Suara panggilan dari Rasty lagi semakin menyalahkan api amarah di dalam diri Andra. Memasukkan gawai ke dalam saku celana, dan membuka pintu kamar mandi dengan kasar. "Apa yang kamu lakukan di dalam?!" tany