Beberapa menit melakukan perjalanan dari kontrakkan Susi, kini Devan telah kembali tiba di depan sebuah gedung bertingkat. Pria itu tak langsung turun dari dalam mobil. Devan terlihat sedang sibuk, pria itu sedang menggantikan pakaian mewahnya, dengan pakaian yang begitu sederhana. Membuka kaos bermerek, dan menggantikannya dengan kaos yang memiliki harga yang murah, dan apa yang pria itu lakukan ternyata mengalihkan perhatian Deni. Lelaki muda itu terus menatap sang Majikan lewat kaca spion dalam mobil, dengan senyum yang menbungkus. Deni seperti tengah menahan tawa. "Hidup anda benar-benar merepotkan. Cinta benar-benar bisa membuat orang jadi gila, dan terlihat bodoh," gumam Deni dalam hati, masih dengan diam-diam menatap Devan. Tak sengaja melemparkan pandangannya ke arah lain. Gerakan tangan Devan sontak berhenti, kala mendapati senyuman Deni [padanya. Pria itu yakin, kalau Deni tengah menertawakan dirinya dalam hati. Wajahnya menegang, sorot mata Devan--sontak berubah tajam
Wajahnya membeku, dengan tak ada kedipan sama sekali, berkali-kali Andra menelan ludanya kelat, pemandangan di depan mata--sungguh menggiurkan. Bagaimana Andra tidak tergoda, kini Susi melebarkan kedua paha--wanita itu kini terlentang pasrah, memamerkan inti miliknya yang sudah basah. Telah terbakar oleh api gairahnya, Susi benar-benar tersiksa kala Andra tak kunjung memasukinya. Menurunkan pandangan di mana Andra masih setia menatap pada area intinya. "Mas Andra, ayo--," lirih Susi, dengan nada suaranya yang seperti desahan. Wanita itu menatap Andra dengan harap, nyata terlihat kabut gairah yang sudah membakar pada kedua manik hitam legamnya. Panggilan dari Susi berhasil membela dunia dari Andra. Pria itu sontak melemparkan pandangannya pada Susi, di mana wanita itu tengah menatapnya dengan penuh napsu. Sebagai pria normal--tentunya Andra pasti sangat menginginkannya. Apa lagi melihat inti Susi yang sudah sangat basah oleh cairannya, Andra benar-benar tidak tahan. Namun, kedu
Rasty benar-benar tak mampu membendung rasa sakit hatinya itu lagi. Riana! Riana! Riana! Dia yakin--kalau hanya nama itu yang menjadi semua akar dari permasalahannya dan Andra. Tak, memperdulikan guncingan orang-orang nanti, tak memperdulikan kehamilannya yang sudah membesar--Rasty kembali mendatangi Wijaya Group. Sengaja datang lebih awal, menunggu kedatangan Rania--yang juga belum menunjukkan batang hidungnya. Rasty benar-benar menebalkan mukanya, tak memperdulikan tatapan para karyawan WG--yang menatapnya seraya berbisik. "Aku nggak perduli kalau sampai Mas Andra, yang semakin membenciku--yang jelas aku harus memberikan pelajaran pada Rania!" geram Rasty dengan wajah yang kian mengeras, bahkan dadanya sampai kembang-kempis akan emosinya yang teramat sangat. Duduk disebuah bangku yang terletak tak jauh dari bibir jalan raya--pandangan Rasty terus dia lemparkan pada arah, di mana biasanya kedatangan Rania. Lama menunggu, sosok yang ditunggu akhirnya datang juga. Rasty bera
Seolah melupakan kesedihan yang tengah dia rasakan--Rania begitu terkejut, bahkan juga shyok saat melihat pemandangan di depan mata. Takut, sesuatu terjadi pada Rasty dan bayinya dengan segera Rania menghampiri Rasty yang terus meringis kesakitan, bahkan telah menangis. Menyentuh pundak Rasty, namun langsung ditepis oleh wanita itu. "Lepaskan! Jangan menyentuhku! Aku tidak sudi disentuh--oleh anak pelacur, dan pembawa sial seperti dirimu!" teriak Rasty dengan nada penuh emosi. Begitu membenci Rania--membuatnya enggan disentuh oleh wanita itu. "Aku juga tidak sudi menolongmu, sebab aku tahu--kau begitu membenciku. Namun, kau harus segera dilarikan ke rumah sakit!" sahut Rania dengan lantang. "Lepaskan! Pergi kau, Rania---Pergi!" teriak Rasty dengan kemarahan semakin menjadi-jadi, wanita itu benar-benar enggan ditolong oleh Rania. Namun, sekejap Rasty berteriak kesakitan--kala merasakan sakit pada perutnya. "Mas, Andra cepat bawa mobil kamu kemari, kita bawa kak Rasty ke rumah sakit
Dahi Rania berkerut samar--pertanyaan yang sang ayah angkat--layangkan menciptakan kebingungan di wajah wanita berusia 25 tahun itu. Rania menatap papa Hendra dengan pandangan yang sangat sulit untuk diartikan. "Andra?" sahut Rania setelah sekian detik lamanya. "Iya. Apakah, kau masih berhubungan dengannya?" tanya Papa Hendra, kedua pualam laki-laki berusia setengah abad itu menatap Rania dengan lekat-lekat. Rania terkekeh tertahan--airmuka tak lagi sama. Ada rasa menggelitik, namun juga marah,"Aku dan Mas Andra, benar-benar sudah berakhir, Paa--, jadi apa yang dituduhkan Mama dan kak Rasty itu sama sekali tidak benar! Aju benar-benar sudah mengikhlaskan Mas Andra untuk kak Rasty!" Rania menekan kata dipenghujung ucapannya, agar Papa Hendra dapat percaya dengan kebenaran yang dia katakan. Airmuka Papa Hendra tak lagi sama. Berarti selama ini kecemburuan putrinya tak beralasan. Rania-anak angkatnya ternyata telah benar-benar berakhir dengan Andra, "Papa mengirah kau dan Andra, diam
Andra mengayunkan langkah kaki--membawa kembali diri pada ruangan yang menjadi ruang operasi sang istri. Dari jauh airmuka itu mendadak berubah begitu dirinya mendapati sang Ibu mertua yang tengah terisak, dan nampak sang ayah mertua sedang berusaha menenangkan. Penasaran--dengan apa yang terjadi, Andra mempercepat langkah kaki itu."Paa, Maa, apa yang terjadi?!" tanya Andra dengan nada suaranya yang menuntut, pria itu menurunkan pandangannya menatap kedua sosok mertua yang duduk disebuah kursi tunggu. Papa Hendra, dan Mama Anita--sontak mengangkat wajah mereka. Airmuka Mama Anita berubah tegang begitu dirinya mendapati keberadaan Andra di depan mata. Menyalahkan atas apa yang terjadi pada putrinya akibat sang menantu, dengan segera Mama Anita bangkit berdiri. Membawa langkah kakinya pada Andra, dan setelah mendekat, wanita paruhbaya itu segera menghadiai pipi Andra dengan sebuah tamparan yang cukup keras.PLAAK!Papa Hendra terperangah--mulutnya setengah terbuka--lelaki paruhbaya it
Hawa dingin yang menyeruak di dalam tubuh, dan pemandangan taman yang menghijau, dengan beraneka bunga yang tersaji di depan mata, mampu membuat suasana hati Rania jauh lebih baik. Setidaknya kesedihan itu sedikit mampu terobati walaupun hanya sesaat saja. "Bagaimana? Apakah, sudah jauh lebih baik?" tanya Devan setelah sekian detik lamanya, dan saat mendapati ice cream milik Rania hanya tersisa setengah saja, Mengulas senyum di wajah, dan bersuara, "Setidaknya suasana hatiku sudah jauh lebih baik," sahut Rania, dan diakhir ucapannya wanita itu kembali menciptakan senyum kecilnya. Hening kembali menyelimuti--kala Devan dan Rania kembali diam, menikmati keindahan taman larut dalam dunianya masing-masing. Begitu menikmati dunia mereka, membuat pasangan suami-istri itu sampai tidak menyadari kalau sedari tadi ada seseorang yang mengabadikan kebersamaan keduanya. Seringai licik tersungging disudut bibir Dion, saat melihat gambar-gambar hasil jepretannya, "Aku tidak bisa membayangka
Satu minggu kemudian Satu minggu telah berlalu--dan dalam satu minggu terakhir ini hubungan Susi dan Andra semakin mesrah, dan hal itu, memberi dampak buruk--untuk rumah tangganya dan Rasty. "Kamu, dari mana saja--Andra?! Kenapa, kemarin kamu tidak pulang?!" tanya Rasty dengan nada penuh emosi, seraya membawa langkah kakinya menyusul Andra--yang melangkah masuk ke dalam kamar. Hal yang terjadi menarik perhatian pada Hendra, dan juga Mama Anita yang nampak terusik dengan kemarah dari putri mereka. Mama Anita terlihat terpancing oleh amarahnya. Wanita paruhbaya itu akan bangkit berdiri, namun cekalan tangan papa Hendra--membuat tubuh yang akan bangkit dari kursi kembali dia urungkan. "Jangan," pinta Papa Hendra dengan lirih, seraya menatap Mama Anita dengan tatapan memohon. Mama Anita mendaratkan tubuh dengan gerakan yang kasar, wajahnya pun nampak mengeras,"Jangan, bagaimana?! Papa lihat sendiri sikap Andra akhir-akhir ini pada Rasty, menurut Mama sudah sangat keterlaluan! Mun