Terima kasih bagi yang masih membaca novel ini, dan jangan lupa, follow akun I* @popy-yanni, untuk melihat visual Devan dan Rania.
Pagi hari Kediaman Papa Hendra Mama Anita tak mampu menyembunyikan keterjutannya--begitu melihat video yang dikirimkan oleh salah satu temannya pada aplikasi WA. "Nggak! Ini nggak mungkin. Ini pasti bukan Andra!" gumam Mama Anita, jantungnya berdebar cepat--wajahnya pucat pasih bagai tak teraliri darah sama sekali. Tak-ingin mempercayai video yang dia lihat--Mama Anita memperbesar tampilan layarnya--menatap wajah sosok pemeran pria. Namun, pemeran pria dalam vide panas itu benar-benar Andra--Menantunya. "Ini benar-benar, Andra! Oh Tuhan---, bagaimana bisa?" gumam Mama Anita, dengan wajah shyoknya--wanita itu membekap mulutnya kuat-kuat dengan satu tangannya melihat bagaimana panasnya Andra bercinta dengan wanita itu. Suara pintu terbuka--tak mampu menarik perhatian Mama Anita. Wanita paruhbaya itu hanya sekilas melirik dan kembali memfokuskan pandangannya pada layar HP dan ternyata hal itu menarik perhatian Papa Hendra, yang seketika menyimpan rasa penasaran video apa yang ditont
Melangkah kakinya ke dalam bangunan Wijaya Group--raut wajah Andra nampak seperti seseorang yang kebingungan. Bagaimana, tidak? Sebab sepanjang perjalanan pria itu-karyawan-karyawan dari Wijaya Group menatapnya sembari berbisik, ada pun yang menertawakan dirinya dan tentu saja hal itu memancing tanda tanyabesar dalam diri seorang Andra. "Apakah, ada yang salah dengan penampilan aku? Ataukah, karyawan-karyawan di sini-sudah mengetahui hubungan aku dan Susi? Dan, mereka sedang menggosipkan aku," gumam Andra dalam hati, pria itu nampak berpikir keras. Andra telah tiba di lantai--lantai di mana ruang kerjanya berada. Sudah tidak sabar mengetahui Susi masih bekerja atau tidak di Wijaya Group, pria itu segera melayangkan pertanyaan namun dengan berbagai cara agar tak memancing kecurigaan karyawan. "Ehem-ehem--." Andra berpura-pura berdehem, hanya untuk memberitahukan kedatangannya. Sontak ketiga karyawati yang tengah bergosip segera menolehkan wajah mereka pada asal suara, airmuka yang
Kesedihan membuat Andra seolah melupakan rasa malunya. Pria itu melangkahkan kakinya berat--dengan menenteng sebuah kotak di mana berisi barang-barang miliknya. Sepanjang perjalanan--Andra tak luput dari pandangan karyawan-karyawan Wijaya Group yang menatapnya dengan mencemooh, dan mencibir."Dasar nggak tahu, malu!" hardik seorang wanita berkemeja hitam. "Iya. Benar-benar nggak punya malu!" timpal seorang wanita berkemeja putih, menatap Andra dengan mencemoh. Namun, semua cemohoan itu benar-benar tak diperdulikan oleh Andra. Frustasi memikirkan permasalahan yang terjadi di dalam hidupnya, dan juga kehilangan pekerjaan membuatnya tak memperdulikan bagaimana cara karyawan Wijaya Group memperlalukan dirinya. Beberapa menit kemudian Andra telah tiba di depan gedung. Andra tak langsung melangkah menghampiri kendaraan roda empatnya yang terparkir di halaman parkir. Pria itu menengadah- menatap langit biru yang terlihat begitu cerah, dengan mentari yang bersinar begitu terang hari ini.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian Devan yang tengah duduk santai sembari membaca buku. Hanya melirik sebentar pada Rania, dan kembali memfokuskan pandangan pada buku yang dibacanya. Rania menutup kembali pintu apartemen--setelah beberapa detik mematung di depan pintu. Membawa langkah kakinya masuk dengan pandangan yang tak terputus sama sekali dari Devan. "Apakah, kamu ingin mengatakan sesuatu padaku?" tanya Devan dengan nada suaranya yang datar, dan hal itu mampu membuat seorang Rania tercengang. Wanita itu mendaratkan tubuhnya dengan tergesa-gesa, airmuka yang Rania tunjukkan nampak tidak sabaran. Dan, Devan segera meletakkan buku dalam genggamannya, dan menatap Rania dengan lekat, "Katakan. Apa, yang ingin kamu katakan?" "Ini mengenai Andra." Devan berpura-pura tertarik, walaupun sesungguhnya dia sudah mengetahui apa yang akan Rania katakan. Tersenyum samar, ada kebahagiaan di wajah Devan, "Apa, itu?" tanya Devan, masih menatap Rania dengan tatapan yang sama."Andra---.
Dua hari kemudian Deni baru saja menyelesaikan makan malamnya. Masuk ke dalam kamar-pria itu merentangkan kedua tangan lebar-lebar, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Mematahkan lehernya kekiri dan kanan, Deni merasakan tubuhnya jauh lebih baik setelah melakukan olah raga kecil."Hari yang melelahkan," gumamnya. Mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana--Deni mendapati gawainya yang mati total. Seharian beraktifitas di luar rumah-membuat daya ponsel pria itu habis. Mendaratkan tubuh pada sebuah kursi, Deni memakai kabel power bank untuk menyalahkan benda pipih miliknya itu.Begitu ponselnya telah kembali menyalah-- banyak pesan yang masuk ke dalam aplikasi WAnya, pria itu segera membaca beberapa pesan yang masuk dari beberapa teman, dan ada juga dari Devan. Setelah membalas pesan dari Devan, dengan iseng Deni masuk ke dalam aplikasi TIK-TOK nya. Senyuman membingkai di wajah pria itu, kala menonton berbagai video yang melewati berandanya.Hingga, seketika gerakan jari Deni m
Suara tawa begitu menggelegar--menggema di dalam ruangan, menciptakan kesan mistis bagi hunian yang berada tepat di bawah kaki bukit. Suara angin malam, dan suara lolongan anjing, menyatu dengan sempurna, menambah kesan horor, dan mampu membuat bulu kudukmu meremang. Tawa itu perlahan meredah. Menurunkan kedua kaki yang tersimpan di atas meja kerja, pria itu menyandarkan punggung kokohnya pada sandaran kursi--dengan senyuman kecil yang terpatri di wajahnya. "Jadi, foto-foto pada akun Tik-Tok bernama Wardhan telah terhapus?" tanya Dion, yang nampak menahan tawa. Iya-Tuan," sahut sang anak buah dengan nada suaranya yang takut-takut. Dion kembali terkekeh. Mendengar kepanikan Devan membuat pria itu terlihat sungguh sangat begitu bahagia. Dion-yakin kalau Devan pasti takut kalau foto-fotonya dan Rania, sampai terlihat oleh seorang Darma Wijaya. Tawa itu perlahan menghilang. Iris hitam Dion--telah menggelap, kala emosi telah berkobar di dalam diri pria itu. Menyeringai, laksana mata pi
Beberapa mobil berwarna hitam metalik melaju pelan, memasuki area gedung apartemen, dan hal itu menarik perhatian orang-orang yang berada disekitarnya. Beberapa menit terparkir, dari dalamnya ke luar beberapa pria bertubuh kekar dalam balutan jas berwarna hitam, dan raut wajah pria-pria itu nampak menyeramkan. Dan kedatangan pria-pria itu mampu menarik perhatian orang-orang yang berada disekitarnya. Berpijak sedikit lama, pria-pria itu akhirnya membawa langkah kaki mereka ke dalam gedung apartemen. "Siapa, mereka?" ujar salah satu wanita parubaya, dengan terus membawa pandangannya pada pria-pria berjas itu. "Iya. Siapa, ya-kira pria-pria itu? Mereka sepertia anak buah dari seorang mafia," timpal seorang wanita muda, yang berdiri bersama wanita paruh baya itu. *** *** Devan tengah larut dalam-apa yang menjadi kekhawatirannya. Pria itu terlihat panik, sebab saat ini Rania sedang tidak bersamanya. Wanita itu sedang berada di luar, Rania sedang berbelanja kebutuhan dapur disalah
Jeritan dari Rasty membuat Papa Hendra, dan Mama Anita yang tengah menikmati waktu santai mereka dengan menikmati kopi panas, sembari cemilan ringan segera berlari kecil meninggalkan apa yang menjadi sarapan keduanya."Ada-apa, Rasty?!" tanya Mama Anita, tanpa mengurangi kekalutan di wajah, nada suara wanita paruhbaya itu pun terdengar emosi. "Iya-Rasty, ada apa?" tanya Papa Hendra yang nampak jauh lebih tenang, suaranya pun jauh lebih lembut. "Lihat-ini, Maa--Paaa!" sahut Rasty, tanpa mengurangi shyok di wajah. Dengan raut wajah yang nampak menahan kemarahan--Mama Anita menghampiri depan televisi, dengan angkuhnya wanita paruhbaya itu melemparkan pandangannya pada layar televisi. Telah berhadapan dengan layar televisi, Mama Anita mendadak shyok--bahkan tubuh itu nyaris ambruk kalau Papa Hendra tidak cepat-cepat menahannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, seperti banyak kupu-kupu yang tengah beterbangan disekitarnya.Papa Hendra mengarahkan pandangannya pada layar televisi, bolam
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j