Jeritan dari Rasty membuat Papa Hendra, dan Mama Anita yang tengah menikmati waktu santai mereka dengan menikmati kopi panas, sembari cemilan ringan segera berlari kecil meninggalkan apa yang menjadi sarapan keduanya."Ada-apa, Rasty?!" tanya Mama Anita, tanpa mengurangi kekalutan di wajah, nada suara wanita paruhbaya itu pun terdengar emosi. "Iya-Rasty, ada apa?" tanya Papa Hendra yang nampak jauh lebih tenang, suaranya pun jauh lebih lembut. "Lihat-ini, Maa--Paaa!" sahut Rasty, tanpa mengurangi shyok di wajah. Dengan raut wajah yang nampak menahan kemarahan--Mama Anita menghampiri depan televisi, dengan angkuhnya wanita paruhbaya itu melemparkan pandangannya pada layar televisi. Telah berhadapan dengan layar televisi, Mama Anita mendadak shyok--bahkan tubuh itu nyaris ambruk kalau Papa Hendra tidak cepat-cepat menahannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, seperti banyak kupu-kupu yang tengah beterbangan disekitarnya.Papa Hendra mengarahkan pandangannya pada layar televisi, bolam
Panggilan teleponenya yang kesekian kalinya akhirnya terjawab oleh Rania, dan itu membuat Desi terlihat sangat bahagia. "Ran, aku pengen ketemuan sama kamu!" ujar Desi, yang segera mengutarakan niatnya. "Bisa, nggak jangan hari ini? Aku lagi nggak sehat," sahut Riana dengan nada yang masih sama. Airmuka Desi tak lagi sama. Suara Rania yang terdengar parau--memancing rasa ingin tahu Desi. Dia yakin kalau ada hal serius yang tengah terjadi pada sahabat baiknya itu, "Ran, kamu baik-baik saja, ya? Sepertinya kamu sedang tidak sehat," tanya Desi, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. "Aku memang lagi ada masalah. Suami aku Devan---." Riana tak mampu menyelesaikan ucapannya, wanita itu telah terdengar menangis di sana. Dan, apa yang Rania katakan menciptakan berbagai prasangka dalam diri Desi kini. "Ran, kamu baik-baik saja?! Bagaimana kalau kita bertemu?! Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu!" pinta Desi, dengan nada suaranya yang terdengar memaksa. "Baiklah, ak
Desi duduk dengan diam. Wanita itu membiarkan Rania menangis sepuas hati meluapkan semua sesak yang bersaran dalam dadanya. Masih membiarkan Rania seperti itu, kalau dengan menangis bisa membuatnya jauh lebih lega. Tangis Rania benar-benar terdengar pilu, dan sungguh-menyayat di hati-dan itu semakin membuat Desi turut larut dalam kesedihan Rania, sebab dia dapat merasakan besarnya cinta Rania pada seorang Devan Wijaya. "Kasian Rania. Dia benar-benar tulus mencintai Devan--terlepas dari pria ituadalah seorang cucu konglomerat kaya. Namun, kalau dia tetap memaksakan untuk tetap membinah rumah tangga dengan Devan--aku yakin kalau Darma Wijaya pasti akan menghancurkan hidupnya, dan mungkin juga dengan keluarga angkatnya," gumam Desi dalam hati, tanpa memutuskan pandangannya sama sekali dari Rania yang masih saja terisak.Beberapa menit setelahnya, tangis Rania perlahan mulai mereda. Wanita itu tersenyum--seraya punggung tangannya mengusap jejak basah yang tertinggal pada kedua pipinya.
Dua hari kemudian Tidak terasa dua hari telah berlalu sejak perginya Devan dari hidup seorang Rania. Hidupnya terasa sunyi, hari-hari yang dilaluinya pun begitu hambar tanpa adanya Devan disisinya, namun bagaimanapun hidup harus tetap berjalan. Rindu, bercampur kecewa. Itulah gambaran perasaan seorang Rania saat ini. Setelah mengetahui siapa Devan--sebenarnya? Rania memutuskan untuk ke luar dari apartemen. Tinggal disebuah kos kecil, yang tentunya jauh berbeda suasana dengan apartemen yang dia tempati bersama Devan dulu. "Jadi, dia telah pergi dari apartemen, dan sekarang tinggal di kos. Bahkan telah dipecat dari Wijaya Group," ujar Dion. Pria itu tengah berada di dalam mobil, dan sedang berbicara dengan salah satu anak buahnya yang duduk di kursi kemudi. Dan, pandangan itu Dion lemparkan ke arah Rania yang berbicara dengan seorang wanita di depan supermarket. "Iya-Tuan, dan sepertinya Nona Rania sedang mencari pekerjaan." Seringai licik terukir di sudut bibir Dion, dengan soro
Devan begitu resah. Sejak Deni menunjukkan foto-foto Dion bersama Rania istrinya, membuat pria itu tak dapat tenang. "Aku harus menemui Rania!" gumam Devan, pria. Dirinya takut kalau Dion akan melakukan hal yang buruk pada istrinya--mengingat dendam pria itu pada sang kakek. "Sangat tidak mungkin-Tuan. Penjagaan di sini sangatlah ketat. Hampir disetiap sudut area rumah, ada anak buah dari Tuan besar," papar Deni. "Tapi, bagaimanapun-aku harus menemui Rania. Dia sama sekali tidak mengetahui siapa-itu Dion. Bagaimana, kalau Dion--menyakitinya?!" sahut Devan, resah yang kian menjadi membuat nada suara pria itu telah meninggi dari sebelumnya. "Saya harap anda tenang-Tuan. Saya akan memikirkan caranya. Dan, kalau begitu saya permisi dulu. Kalau terlalu lama-lama di sini--bisa-bisa Tuan besart curiga," pamit Dion, dan pria itu segera berlalu dari dalam kamar. Hening kembali menyelimuti di dalam kamar--setelah perginya Deni. Devan yang kembali sendiri, membuat pria itu kembali teng
Sejak tadi Rania masih merasa dirinya dejafu. Namun, semua itu nyata-rasa kecewa yang bertumpuk segera Rania luapkan. Wanita itu enggan dipeluk oleh Devan."Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskan!" Rania memberontakkan tubuhnya sekuat mungkin, dengan tangis yang telah pecah. Dia benar-benar merasakan sakit hati yang teramat sangat pada pria berstatus suaminya itu.Airmata pun tak terbendung lagi oleh Devan. Dia tahu--Rania begitu marah atas kebohongan yang dia lakukan selama ini, "Maafkan aku, maafkan aku. Aku terpaksa melakukannya. Aku terpaksa. Tapi, aku benar-benar tulus dan serius dengan pernikahan ini," ujar Devan tergesa-gesa, dengan air mata yang terus saja luruh.Ucapan Devan bagai sebuah percikan api. Amarah di dalam dirinya pada Devan semakin bertambah, rasa sakit hati itu pun semakin saja menjadi. Dengan sekuat tenaga Rania kembali memberontakkan tubuhnya, "Lepaskan aku, Dev! Lepaskan aku!" Dan, kali ini Rania berhasil melepaskan pelukan Devan, dan apa yang wanita itu lakukan hamp
Ada hal janggal yang dia temui pada layar computernya, kakek Darma beranjak dari singgasananya. Dia yakin Devan telah melakukan sesuatu. "Kita ke kamar Devan!" ujarnya datar, dan segera melangkahkan kakinya dari dalam ruangan yang disusul oleh anak buah dari belakang. Tak ada senyuman-atau apa pun itu. Tetap tanpa ekspresi, dengan sorot mata tajam, dan hal itu menimbulkan suasana tegang disekitarnya. Para pelayan yang berpapasan dengan laki-laki tua itu, segera menepi dan tentunya memberi hormat., namun wajah mereka telah dipenuhi tanda tanya. "Apakah, ada hal buruk yang terjadi?" gumam seorang pelayan wanita. Mendapati hal yang menegangkan yang ditunjukkan seorang Darma Wijaya, seorang pelyan wanita meyakini ada hal serius yang terjadi di rumah mewag itu. "Sepertinya Tuan Besar pergi ke kamar Tuan muda Devan. Mungkinkah, Tuan muda Devan telah melakukan kesalahan lagi?" sahut rekannya dengan tatapan penuh tanda tanya, dan disambut pelayan wanita itu dengan mengangkat kedua pundakn
Rania sontak memalingkan pandangannya pada arah pandang Desi--dan nampak sedikit kaget setelah melihat pemandangan pada gedung bertingkat. "Bahkan aku pun tak mengetahui kalau Komisaris akan menyerahkan jabatannya pada Pak Devan hari ini,"gumam Desi--dengan wajah bodohnya, dan itu mengalihkan pandangan Rania sekilas padanya. Rania kembali menonton tayangan pada gedung bertingkat itu dengan begitu khusuk. Wanita itu menonton--rangkain demi rangkaian acara yang tengah dilangsungkan di Wijaya Group. Devan terlihat begitu tampan, dan juga berwibawa dalam balutan jas berwarna hitam yang sangat pas di tubuhnya, dan terlihat semakin menawan, dengan tatanan rambutnya yang dibuat sedemikian rupa. Pria itu terus melepaskan senyumnya, saat menyambut jabatan tangan dari para petinggi perusahaan, dan juga rekan bisnis atau pun colega. Dan tak berlangsung lama, nampak seorang wanita cantik dengan penampilannya yang modis, memberi selamat--dan keduanya berfoto bersama, dengan sang wanita yang men