Beberapa mobil berwarna hitam metalik melaju pelan, memasuki area gedung apartemen, dan hal itu menarik perhatian orang-orang yang berada disekitarnya. Beberapa menit terparkir, dari dalamnya ke luar beberapa pria bertubuh kekar dalam balutan jas berwarna hitam, dan raut wajah pria-pria itu nampak menyeramkan. Dan kedatangan pria-pria itu mampu menarik perhatian orang-orang yang berada disekitarnya. Berpijak sedikit lama, pria-pria itu akhirnya membawa langkah kaki mereka ke dalam gedung apartemen. "Siapa, mereka?" ujar salah satu wanita parubaya, dengan terus membawa pandangannya pada pria-pria berjas itu. "Iya. Siapa, ya-kira pria-pria itu? Mereka sepertia anak buah dari seorang mafia," timpal seorang wanita muda, yang berdiri bersama wanita paruh baya itu. *** *** Devan tengah larut dalam-apa yang menjadi kekhawatirannya. Pria itu terlihat panik, sebab saat ini Rania sedang tidak bersamanya. Wanita itu sedang berada di luar, Rania sedang berbelanja kebutuhan dapur disalah
Jeritan dari Rasty membuat Papa Hendra, dan Mama Anita yang tengah menikmati waktu santai mereka dengan menikmati kopi panas, sembari cemilan ringan segera berlari kecil meninggalkan apa yang menjadi sarapan keduanya."Ada-apa, Rasty?!" tanya Mama Anita, tanpa mengurangi kekalutan di wajah, nada suara wanita paruhbaya itu pun terdengar emosi. "Iya-Rasty, ada apa?" tanya Papa Hendra yang nampak jauh lebih tenang, suaranya pun jauh lebih lembut. "Lihat-ini, Maa--Paaa!" sahut Rasty, tanpa mengurangi shyok di wajah. Dengan raut wajah yang nampak menahan kemarahan--Mama Anita menghampiri depan televisi, dengan angkuhnya wanita paruhbaya itu melemparkan pandangannya pada layar televisi. Telah berhadapan dengan layar televisi, Mama Anita mendadak shyok--bahkan tubuh itu nyaris ambruk kalau Papa Hendra tidak cepat-cepat menahannya. Kepalanya tiba-tiba terasa pening, seperti banyak kupu-kupu yang tengah beterbangan disekitarnya.Papa Hendra mengarahkan pandangannya pada layar televisi, bolam
Panggilan teleponenya yang kesekian kalinya akhirnya terjawab oleh Rania, dan itu membuat Desi terlihat sangat bahagia. "Ran, aku pengen ketemuan sama kamu!" ujar Desi, yang segera mengutarakan niatnya. "Bisa, nggak jangan hari ini? Aku lagi nggak sehat," sahut Riana dengan nada yang masih sama. Airmuka Desi tak lagi sama. Suara Rania yang terdengar parau--memancing rasa ingin tahu Desi. Dia yakin kalau ada hal serius yang tengah terjadi pada sahabat baiknya itu, "Ran, kamu baik-baik saja, ya? Sepertinya kamu sedang tidak sehat," tanya Desi, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. "Aku memang lagi ada masalah. Suami aku Devan---." Riana tak mampu menyelesaikan ucapannya, wanita itu telah terdengar menangis di sana. Dan, apa yang Rania katakan menciptakan berbagai prasangka dalam diri Desi kini. "Ran, kamu baik-baik saja?! Bagaimana kalau kita bertemu?! Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu!" pinta Desi, dengan nada suaranya yang terdengar memaksa. "Baiklah, ak
Desi duduk dengan diam. Wanita itu membiarkan Rania menangis sepuas hati meluapkan semua sesak yang bersaran dalam dadanya. Masih membiarkan Rania seperti itu, kalau dengan menangis bisa membuatnya jauh lebih lega. Tangis Rania benar-benar terdengar pilu, dan sungguh-menyayat di hati-dan itu semakin membuat Desi turut larut dalam kesedihan Rania, sebab dia dapat merasakan besarnya cinta Rania pada seorang Devan Wijaya. "Kasian Rania. Dia benar-benar tulus mencintai Devan--terlepas dari pria ituadalah seorang cucu konglomerat kaya. Namun, kalau dia tetap memaksakan untuk tetap membinah rumah tangga dengan Devan--aku yakin kalau Darma Wijaya pasti akan menghancurkan hidupnya, dan mungkin juga dengan keluarga angkatnya," gumam Desi dalam hati, tanpa memutuskan pandangannya sama sekali dari Rania yang masih saja terisak.Beberapa menit setelahnya, tangis Rania perlahan mulai mereda. Wanita itu tersenyum--seraya punggung tangannya mengusap jejak basah yang tertinggal pada kedua pipinya.
Dua hari kemudian Tidak terasa dua hari telah berlalu sejak perginya Devan dari hidup seorang Rania. Hidupnya terasa sunyi, hari-hari yang dilaluinya pun begitu hambar tanpa adanya Devan disisinya, namun bagaimanapun hidup harus tetap berjalan. Rindu, bercampur kecewa. Itulah gambaran perasaan seorang Rania saat ini. Setelah mengetahui siapa Devan--sebenarnya? Rania memutuskan untuk ke luar dari apartemen. Tinggal disebuah kos kecil, yang tentunya jauh berbeda suasana dengan apartemen yang dia tempati bersama Devan dulu. "Jadi, dia telah pergi dari apartemen, dan sekarang tinggal di kos. Bahkan telah dipecat dari Wijaya Group," ujar Dion. Pria itu tengah berada di dalam mobil, dan sedang berbicara dengan salah satu anak buahnya yang duduk di kursi kemudi. Dan, pandangan itu Dion lemparkan ke arah Rania yang berbicara dengan seorang wanita di depan supermarket. "Iya-Tuan, dan sepertinya Nona Rania sedang mencari pekerjaan." Seringai licik terukir di sudut bibir Dion, dengan soro
Devan begitu resah. Sejak Deni menunjukkan foto-foto Dion bersama Rania istrinya, membuat pria itu tak dapat tenang. "Aku harus menemui Rania!" gumam Devan, pria. Dirinya takut kalau Dion akan melakukan hal yang buruk pada istrinya--mengingat dendam pria itu pada sang kakek. "Sangat tidak mungkin-Tuan. Penjagaan di sini sangatlah ketat. Hampir disetiap sudut area rumah, ada anak buah dari Tuan besar," papar Deni. "Tapi, bagaimanapun-aku harus menemui Rania. Dia sama sekali tidak mengetahui siapa-itu Dion. Bagaimana, kalau Dion--menyakitinya?!" sahut Devan, resah yang kian menjadi membuat nada suara pria itu telah meninggi dari sebelumnya. "Saya harap anda tenang-Tuan. Saya akan memikirkan caranya. Dan, kalau begitu saya permisi dulu. Kalau terlalu lama-lama di sini--bisa-bisa Tuan besart curiga," pamit Dion, dan pria itu segera berlalu dari dalam kamar. Hening kembali menyelimuti di dalam kamar--setelah perginya Deni. Devan yang kembali sendiri, membuat pria itu kembali teng
Sejak tadi Rania masih merasa dirinya dejafu. Namun, semua itu nyata-rasa kecewa yang bertumpuk segera Rania luapkan. Wanita itu enggan dipeluk oleh Devan."Lepaskan! Lepaskan aku! Lepaskan!" Rania memberontakkan tubuhnya sekuat mungkin, dengan tangis yang telah pecah. Dia benar-benar merasakan sakit hati yang teramat sangat pada pria berstatus suaminya itu.Airmata pun tak terbendung lagi oleh Devan. Dia tahu--Rania begitu marah atas kebohongan yang dia lakukan selama ini, "Maafkan aku, maafkan aku. Aku terpaksa melakukannya. Aku terpaksa. Tapi, aku benar-benar tulus dan serius dengan pernikahan ini," ujar Devan tergesa-gesa, dengan air mata yang terus saja luruh.Ucapan Devan bagai sebuah percikan api. Amarah di dalam dirinya pada Devan semakin bertambah, rasa sakit hati itu pun semakin saja menjadi. Dengan sekuat tenaga Rania kembali memberontakkan tubuhnya, "Lepaskan aku, Dev! Lepaskan aku!" Dan, kali ini Rania berhasil melepaskan pelukan Devan, dan apa yang wanita itu lakukan hamp
Ada hal janggal yang dia temui pada layar computernya, kakek Darma beranjak dari singgasananya. Dia yakin Devan telah melakukan sesuatu. "Kita ke kamar Devan!" ujarnya datar, dan segera melangkahkan kakinya dari dalam ruangan yang disusul oleh anak buah dari belakang. Tak ada senyuman-atau apa pun itu. Tetap tanpa ekspresi, dengan sorot mata tajam, dan hal itu menimbulkan suasana tegang disekitarnya. Para pelayan yang berpapasan dengan laki-laki tua itu, segera menepi dan tentunya memberi hormat., namun wajah mereka telah dipenuhi tanda tanya. "Apakah, ada hal buruk yang terjadi?" gumam seorang pelayan wanita. Mendapati hal yang menegangkan yang ditunjukkan seorang Darma Wijaya, seorang pelyan wanita meyakini ada hal serius yang terjadi di rumah mewag itu. "Sepertinya Tuan Besar pergi ke kamar Tuan muda Devan. Mungkinkah, Tuan muda Devan telah melakukan kesalahan lagi?" sahut rekannya dengan tatapan penuh tanda tanya, dan disambut pelayan wanita itu dengan mengangkat kedua pundakn
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j