Walaupun tengah terbakar oleh api amarahnya yang teramat sangat--sebisa mungkin Devan menahan bara yang hampir meledak di dalam diri. Bagaimana tidak? Sebab dalam acara penyerahan jabatan ada pula seorang wanita yang tidak asing bagi diri pria itu. "Tuan, anda baik-baik saja?" tanya Deni dengan setengah berbisik, mendapati adanya sosok wanita masa lalu sang Tuan muda-pria itu yakin kalau Devan pasti sedang tidak baik-baik saja. Devan mendesahkan napasnya kasar--bahkan tarikan napas pria itu mampu terdengar jelas. Devan nyata terlihat sedang tidak baik-baik saja--namun sebisa mungkin pria itu menahannya agar terlihat baik-baik saja. "Kapan, wanita itu datang?" tanya Devan dengan nada suaranya yang datar--terlihat tenang--namun aura yang pria itu tunjukkan terasa mencekam. Sorot mata Devan laksana mata pisau yang mengeluarkan kemilaunya. "Nona Sarah datang dua hari yang lalu, dan Tuan besar yang mengundangnya khusus agar datang ke acara ini," ujar Deni dengan nada yang masih sama. Pr
Devan masih tetap setia membiarkan tangan Sarah mengudara--Devan seolah enggan menyambut uluran tangan wanita itu. Apa lagi melihat senyuman di wajah Sarah seperti tak ada rasa bersalah sama sekali membuat rasa sakit itu kian menusuk.Masih setia mengabaikannya--hingga bisikan dari Deni membuat pria itu sekilas menatap anak buahnya itu."Tuan. Segera sambut jabatan tangan Nona Sarah semua orang memperhatikan kalian berdua," ujar Deni pelan, dan kembali menjauhkan wajahnya dari telinga Devan. Sudah beberapa detik tangannya mengudara--apa lagi melihat banyak pasang mata yang menatap mereka membuat betapa malunya Sarah kini. Sarah memang benar-benar malu, sebab Devan nampak mengabaikannya. Tetap terseyum, namun ada pias di wajah cantik itu. Saat tangan itu akan berangsut turun--Devan meraihnya. "Hai juga Sarah," sahut Devan dengan nada suaranya yang datar, ada lengkungan sinis yang tersungging di kedua sudut bibir pria itu. Dia sangat membenci wanita di depannya ini.Sudah lama tak bers
Kenyataan yang baru saja Desi dengar--bukan hanya membuatnya kaget saja, namun juga shyok. Apa lagi hubungan Rania dan Devan yang masih terus terjalin hingga saat ini membuat kekhawatiran di dalam diri Desi kian menjadi saja. "Aku harus mengatakan semua ini pada Rania-sebab bagaimanapun dia harus mengetahuinya--kalau mantan kekasih Devan telah kembali!" gumam Desi dengan nada berapi-api, dan segera melangkah pergi dari ruangan itu. Satu jam kemudian Acara yang diselenggarakan telah usai. Para tamu undangan pun banyak yang sudah pulang. Devan masih berbincang dengan beberapa tamu yang tersisah, dan hal itu tak luput dari pandangan seorang Sarah yang terus memperhatikan pria itu. UHUUK UHUUK Kakek Darma berpura-pura batuk, dan apa yang lelaki tua itu lakukan membuat Sarah tercengang--wanita itu menoleh sekilas pada kakek Darma, wajahnya pun telah bersemu merah. "Sepertinya kau masih begitu mencintai cucuku-Sarah!" goda kakek Darma dengan datar,, ada lengkungan kecil yang terlukis
Devan mengeluarkan pandangan lewat kaca jendela mobil--guna mengintip apa yang kini menjadi pusat perhatian para pengguna jalan lainnya. Sontak, kedua mata pria itu membelalak lebar begitu mendapati sosok tidak asing untuknya. Kedua pria muda nampak menghancurkan dagangan milik Rania, dan yang lebih menyedihkan orang-orang disekitar hanya menontonnya saja. Devan geram--pria itu benar-benar tidak terima dengan apa yang kedua pria asing itu lakukan pada istrinya. Membuka pintu mobil dengan kasar, Devan akan menurunkan kedua kakinya. Namun cekalan tangan Deni, menghentikan gerakan kaki itu. Berbalik, dan menatap Deni dengan penuh tanda tanya."Saya mohon, jangan lakukan ini, Tuan, Ini terlalu beresiko-untuk anda!" ujar Deni memperingatkan, kekhawatiran nyata terlihat di wajah pria yang usianya satu tahun di bawah Devan itu.Devan menghempaskan kuat tangan Deni--yang membuat cekalan tangan pria itu seketika terlepas. Bara kian terlihat nyata di wajah tampan Devan, "Kau tidak dapat memaham
Begitu lembut ciuman yang Devan ciptakan, mampu menghadirkan gelenyar aneh yang menembus hingga ke tulang sum-sum. Bagai benang kusut, Rania mencoba untuk mengenyahkan semua hal buruk akan kenyataan hubungannya dan Devan yang sebenarnya. Dia menikmati ciuman panas suaminya--membiarkan diri itu tenggelam dalam lautan birahi bersama pria yang dia cintai. Hanyut, bolamata Rania telah nampak sayup-sayup Devan berhasil membangkitkan napsu birahi yang sudah lama hilang. Namun, kenyataan itu kembali melintas--begitu kuat dalam ingatan memaksa Rania agar ke luar. Membiarkan Devan beraksi--sebab semua telah terasa hambar. Hingga, remassan pada salah satu dadanya membuat tautan bibir itu sontak Rania lepaskan. Segera memberi jarak antara dirinya dan suami, dengan napas yang masih tersenggal-membiarkan diri tersiksa dalam birahi yang tak mampu tersalur. "Kenapa? Apakah, ada yang salah? Aku ini suami mu, Rania---?" Suara bariton itu telah berubah parau, awan hitam pun sudah menyelimuti wajah t
RumahDevan telah kembali berada di rumah-duduk santai pada sebuah kursi tunggal-- pria itu sengaja mengabaikan sang kakek yang tengah menatapnya dengan murka. Kakek Darma nampak terlihat marah, dan itu nyata terlihat dari rahangnya yang mengeras, dengan bolamata yang menggelap. Devan benar-benar menguji kesabaran lelaki tua itu. "Jangan membuat kesabaran Kakek habis." Begitu tenang lelaki tua itu bersuara, namun nyatanya ucapan itu penuh dengan sebuah ancaman.Ada lengkungan kecil yang tersungging di sudut bibir Devan. Menurunkan surat kabar, kedua kaki yang bertaut Devan lepaskan. Pria itu nampak tenang, namun ada kilatan yang membakar pada iris hitamnya."Aku tidak bisa membohongi diriku--kalau aku jatuh cinta pada wanita itu, itulah kenyataan yang sebenarnya,"ujar Devan, kembali menyeringai seraya beranjak dari duduknya dan melangkah pergi. Namun, baru saja Devan mengambil beberapa langkah--suara kakek Darma begitu menggelegar di dalam ruangan berhasil menghentikan langkah kaki p
Telah memiliki ponsel-Devan mencoba untuk menghubungi Rania--istrinya. Namun, dirinya harus menelan kekecewaan sebab nomor wanita itu tak dapat dihubungi. Devan resah, juga gelisah--pria itu semakin terlihat tak baik-baik saja. Hal buruk telah memenuhi isi kepala Devan tentang Rania.Devan melangkah menuju balkon kamar--menurunkan pandangan--namun dia hanya bisa menghela napasnya berat saat mendapati begitu banyak anak buah kakeknya yang berjaga tepat di bawah kamar. Devan mengeram kesal. "SHIT!" umpatnya, Devan terlihat frustasi, "Rania--, kenapa nomor HP mu--tidak aktif?" gumamnya dengan lirih, ada pedih yang nyata terlihat pada mahik hitam legamnya.Suara ketukkan menyapa pintu kamar Devan, pria itu sontak menoleh dan mendapati kedatangan salah satu anak buah kakeknya. "Tuan, Tuan besar meminta anda untuk segera turun. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda. Nona Sarah juga ada di sini," ujar lelaki berperawakan tinggi itu dengan sopan. "Aku akan segera turun, dan kau pergilah!" D
Devan mengeram kesal--pria itu telah kembali berada di dalam kamar. Mengusap wajahnya frustasi, Devan terlihat tidak baik-baik saja. Dan, apa yang terjadi pada pria itu menarik perhatian Deni yang kini tengah memperhatikannya. "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Deni takut-takut, menatap Devan dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. Menarik napasnya kasar--bahkan tarikan napas pria itu mampu terdengar jelas, "Mana bisa aku baik-baik saja. Ruang gerakku sangat terbatas, rekeningku dibekukkan, dan siTua itu membawa Sarah kemari, dan Rania pun nomor ponselnya tak bisa dihubungi sama sekali. Jujur, pikiranku sedang kusut!" keluh Devan, pria itu mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Seperti yang anda tahu, kalau Tuan besar sama sekali tidak menyetujui .hubungan anda, dan Nona Rania. Apa lagi dengan kejadian baru-baru ini, hal itu semakin menyulutkan kemarahannya. Dan, melihat sambutan hangatnya pada Nona Sarah--saya yakin kalau Tuan besar Darma ingin anda kembali bersama Nona Sarah," je