Devan mengeram kesal--pria itu telah kembali berada di dalam kamar. Mengusap wajahnya frustasi, Devan terlihat tidak baik-baik saja. Dan, apa yang terjadi pada pria itu menarik perhatian Deni yang kini tengah memperhatikannya. "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Deni takut-takut, menatap Devan dengan pandangan yang sangat sulit diartikan. Menarik napasnya kasar--bahkan tarikan napas pria itu mampu terdengar jelas, "Mana bisa aku baik-baik saja. Ruang gerakku sangat terbatas, rekeningku dibekukkan, dan siTua itu membawa Sarah kemari, dan Rania pun nomor ponselnya tak bisa dihubungi sama sekali. Jujur, pikiranku sedang kusut!" keluh Devan, pria itu mengeluarkan semua uneg-unegnya. "Seperti yang anda tahu, kalau Tuan besar sama sekali tidak menyetujui .hubungan anda, dan Nona Rania. Apa lagi dengan kejadian baru-baru ini, hal itu semakin menyulutkan kemarahannya. Dan, melihat sambutan hangatnya pada Nona Sarah--saya yakin kalau Tuan besar Darma ingin anda kembali bersama Nona Sarah," je
Dion tak mampu menyembunyikan keterjutannya setelah mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh pemilik kos kalau Rania tak lagi tinggal di kos miliknya. Raut wajah Dion telah berubah, seperti apa yang dia dengar begitu mengganggu pikirannya. Ntah, merasa kehilangan atau pun marah--karena Rania adalah alat balas dendamnya, hanyalah dialah yang tahu bagaimana menjabarkan suasana hatinya kini. "Baik Nyonya--kalau begitu saya permisi dulu," pamit Dion, berbalik dan segera melangkah pergi. Namun, baru beberapa langkah pria itu ambil-- tiba-tiba saja ada seseorang yang menyeruhkannya, "Tuan---," panggilnya, dan Dion yang merasa dirinya dipanggil segera berbalik dan mendapati seorang gadis yang berlari kecil menuju padanya. "Apakah anda memanggil saya, Nona?" tanya Dion memastikan, pria itu menatap ragu pada wanita muda di depannya. "Iya," sahut gadis muda itu dengan napas yang nampak tersenggal, dan tersenyum menatap Dion, Dion menyerngitkan keningnya--memicingkan kedua mata-me
Desi tersenyum kikuk--ada rasa tidak nyaman di dalam diri mengingat Deni adalah orang kepercayaan seorang Devan Wijaya, "Tidak usah-Pak, saya bisa bangun sendiri," tolak Desi halus, gadis itu kembali mencoba untuk bangun. Namun, kondisi lututnya benar-benar tidak bisa diajak kerja sama. Alhasil Desi kembali jatuh, gadis itu mengeram kesal--sebab lututnya benar-benar membuatnya tak berdaya. Keadaan seperti ini sangat tidak nyaman bagi keduanya--apa lagi melihat tatapan para karyawan WG pada dirinya dan Deni, sembari berbisik, membuat rasa tidak nyaman di dalam diri Desi kian saja menjadi. Namun, keadaan memaksakan keduanya untuk harus bersama, dengan Deni yang terus memegang lengan gadis itu kala keduanya membawa langkah menuju ruang kerja milik Devan. "~Pak, bisakah Bapak melepaskan saya? Saya bisa berjalan sendiri," pinta Desi dengan nada suaranya yang lirih, dan dengan gerakan yang pelan gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan Deni. "Kalau saya membiarkan kamu jalan send
Duduk di lantai dengan kedua kaki yang dia tekukkan sembari dua tangan memeluk erat, Rania tengah tenggelam dalam sesuatu yang membebani pikirannya. Bersandar pada dinding ruangan menatap langit-langit kamar yang telah terlihat usang dengan sorot mata yang hampa. Ntah, apa yang membebani pikiran wanita itu saat ini--namun kedua pipi Rania terus dibanjiri oleh air mata. Suara ketukkan menyapa pintu kamar kos--memalingkan wajah ke arahnya Rania pun bersuara, "Siapa---?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, suaranya pun terdengar parau akibat terlalu lama menangis. Satu detiik Dua detik Tiga detik terlewati pun tak kunjung adanya suara sambutan--dan hal itu, sontak menimbulkan rasa penasaran di dalam diri--Rania pun beranjak dari duduknya--dan menghampiri pintu kamar. Membuka pintunya dengan asal, mendapati seseorang yang tak dia harapkan kedatangannya Rania segera kembali merapatkan daun pintu. "Rania--buka, pintunya!" pinta Dion. Pria itu menahannya kuat, sebab Rania memaksa agar
Beberapa menit kemudian Rania mendesah lelah--pandangan itu terus tertuju pada sosok Dion yang sudah melangkah pergi, pria itu kian menjauh dari pandangannya. Dadanya berdenyut nyeri--saat ingatan itu kembali terhantar pada Devan yang memberi pelajaran pada Dion."Kasian-Dion. Padahal selama ini dia tidak melakukan hal yang buruk padaku," gumam Rania dalam hati, dia merasa ibah pada Dion atas apa yang terjadi pada pria itu tadi."Mau sampai kapan kau terus memandangnya?! Dia itu hanya seorang pria brengsek!"Nada kasar--bercampur cemburu yang mendengung ditelinganya memaksakan Rania untuk berbalik. Suara Devan cukup menyakiti gendang telinganya."Kau--sudah sangat keterlaluan, Dev! Bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Dion?!" cecar Rania, pandangan Rania telah berubah tajam--ada kemarahan yang nyata di sana."Dia memang pantas mendapatkannya!" sahut Devan acuh, dan kata-kata yang Devan lontarkan membuat Rania hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya-sebab tak terlihat s
Begitu dalam dia memandangnya-kedua mata Devan perlahan tertuju pada bibir merah jambu Rania. Lama menatap membuatnya bergairah, Devan merasa ingin. Dengan gerakan yang ragu pria itu membawa bibirnya-Devan ingin mencium bibir istrinya. Namun, baru saja akan menyentuh jari telunjuk Rania mendarat dipermukaan mulut, dan mendorongnya pelan. Dan apa yang Rania lakukan menimbulkan kekecewaan di wajah Devan, pria itu nampak marah. "Kenapa, Rania?! Aku ini suami-mu!" ujar Devan yang terdengar seperti sebuah protes, kekecewaan semakin nyata terlihat di wajahnya. "Aku tidak tinggal ditempat ini sendirian. Disamping kanan dan kiri kamar ini ada penghuninya. Apakah, kau mau mereka melihat apa yang kita lakukan?!" cecar Rania. Air muka Rania telah berubah masam, kelopak matanya memicing dan tajam--Rania benar-benar kesal dengan suaminya dan hal itu membuat Devan terkekeh--pria itu seperti baru disadarkan oleh keadaan. "Aku akan menutup pintunya!" ujar Devan dengan penuh semangat. Jujur, dia ing
Setelah memastikan kepulangan Dion--Deni kembali ke kos milik Rania. Kos yang ditempati wanita itu beberapa meter dari bibir jalan utama, dan tentunya Deni harus berjalan kaki agar dapat kembali tiba ditempat yang menjadi tujuannya. Sepanjang perjalanannya wajah Deni nampak tak biasa. Terlihat menegang, juga ada kilatan api yang membakar pada sepasang irish hitam pria itu. Bukan tanpa alasan mimik wajah Deni nampak tidak bersahabat, perkataan dari Dion tadi-terus saja terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Emosi yang sudah hampir meredup, kembali membakar. Untung saja Dion tidak berada di depannya kalau tidak! Mungkin Deni sudah memberikannya bogeman berkali-kali yang membuat Dion berpikir dua kali untuk melakukan rencananya. Tinggal beberapa meter lagi Deni tiba di kos milik Rania. Namun, tiba-tiba Deni memperlambat langkah kakinya saat mendapati pintu kamar yang berada dalam kondisi tertutup. "Pintu kamarnya terkunci? Ke mana Tuan, dan Nyonya Rania?" gumam Deni bertanya-tanya,
"Dia memang menghubungi saya--Tuan. Seperti yang sudah kita atur--kalau perginya anda dari perusahaan dalam rangka pekerjaan, karena ada pertemuan di luar kota dan Tuan besar mempercayainya." Usai perbincangan singkat itu suasana hening kembali menyelimuti di dalam mobil. Devan kembali diam, seolah tak ada yang perlu dia katakan lagi. Menolehkan wajahnya ke arah jendela, Devan menurunkan sedikit kaca jendela. Suasana kota J--dengan hembusan angin yang menerpa dipermukaan wajah mampu membuat kegamangan di hati sedikit berkurang. Ntah apa yang ada di dalam lamunan Devan saat ini, namun sepertinya pikiran pria itu tengah berkelana begitu jauh. Tiba-tiba terdengar hembusan napas yang lolos dari mulut Devan--seperti ada sesuatu yang begitu mengusiknya. Kembali tenggelam dalam lamunannya, bahkan Devan mengabaikan Deni yang diam-diam memperhatikannya. Namun, sejenak mimik wajah Devan berubah saat pikiran pria itu terhantar pada sesuatu hal. "Kau, tadi memberikan uang pada Rania'kan?!" Suar