Setelah memastikan kepulangan Dion--Deni kembali ke kos milik Rania. Kos yang ditempati wanita itu beberapa meter dari bibir jalan utama, dan tentunya Deni harus berjalan kaki agar dapat kembali tiba ditempat yang menjadi tujuannya. Sepanjang perjalanannya wajah Deni nampak tak biasa. Terlihat menegang, juga ada kilatan api yang membakar pada sepasang irish hitam pria itu. Bukan tanpa alasan mimik wajah Deni nampak tidak bersahabat, perkataan dari Dion tadi-terus saja terngiang-ngiang di dalam ingatannya. Emosi yang sudah hampir meredup, kembali membakar. Untung saja Dion tidak berada di depannya kalau tidak! Mungkin Deni sudah memberikannya bogeman berkali-kali yang membuat Dion berpikir dua kali untuk melakukan rencananya. Tinggal beberapa meter lagi Deni tiba di kos milik Rania. Namun, tiba-tiba Deni memperlambat langkah kakinya saat mendapati pintu kamar yang berada dalam kondisi tertutup. "Pintu kamarnya terkunci? Ke mana Tuan, dan Nyonya Rania?" gumam Deni bertanya-tanya,
"Dia memang menghubungi saya--Tuan. Seperti yang sudah kita atur--kalau perginya anda dari perusahaan dalam rangka pekerjaan, karena ada pertemuan di luar kota dan Tuan besar mempercayainya." Usai perbincangan singkat itu suasana hening kembali menyelimuti di dalam mobil. Devan kembali diam, seolah tak ada yang perlu dia katakan lagi. Menolehkan wajahnya ke arah jendela, Devan menurunkan sedikit kaca jendela. Suasana kota J--dengan hembusan angin yang menerpa dipermukaan wajah mampu membuat kegamangan di hati sedikit berkurang. Ntah apa yang ada di dalam lamunan Devan saat ini, namun sepertinya pikiran pria itu tengah berkelana begitu jauh. Tiba-tiba terdengar hembusan napas yang lolos dari mulut Devan--seperti ada sesuatu yang begitu mengusiknya. Kembali tenggelam dalam lamunannya, bahkan Devan mengabaikan Deni yang diam-diam memperhatikannya. Namun, sejenak mimik wajah Devan berubah saat pikiran pria itu terhantar pada sesuatu hal. "Kau, tadi memberikan uang pada Rania'kan?!" Suar
Devan mendesahkan napasnya berat--wajah tampan pria itu telah berubah keruh--mengetahui sang kakek yang saat ini berada di perusahaan membuat moodnya benar-benar buruk, "Kalau bukan karena memikirkan dia yang sudah merawatku sejak kepergian Papa dan Mama, mungkin aku tidak sudi mengenalnya sebagai kakek'ku, lagi!" gerutu Devan dalam hati, dia benar-benar muak dengan kakeknya itu. Moodnya yang sedang tidak bagus--membuat Devan enggan untuk berbicara. Pria itu kini nampak tenggelam dalam dunianya sendiri, mengabaikan Deni yang kini tengah bersamanya. Dan, apa yang terjadi pada Devan--menarik perhatian sang anak buah yang diam-diam memperhatikan gelagat Tuannya dari kaca spion dalam mobil. "Tuan besar yang memaksanya berpisah dengan Nona Rania--membuatnya seperti malas untuk bertemu dengan kakeknya. Di rumah saja Tuan Devan selalu tidak sudi melihat wajah Tuan Darma kalau bukan karena sesuatu hal yang memaksa," gumam Deni dalam hati, yang sesekali masih melirik pada kaca spion dalam mob
"Seperti yang kau tahu, kalau Sarah memiliki usaha toko perhiasan, dan perhiasan yang dia dagangkan banyak dipakai oleh kalangan atas, maupun artis-artis tanah air dan harganya cukup terjangkau. Dan, kebetulan kita akan meluncurkan sebuah produk baru-Kakek ingin model yang mempromosikan produk baru kita memakai perhiasan, dari toko perhiasan milik Sarah," jelas kakek Darma, dan Devan yang mendengarkan penjelasan kakek Darma hanya bisa mendesahkan napasnya berat. Dadanya bergemuruh dengan hebat. Devan bergeming-mimik wajah pria itu sangat sulit dijabarkan saat ini. Begitu membenci Sarah--wanita yang sudah menorehkan luka begitu dalam untuknya. Namun, dengan menjalin kerja sama dengan wanita itu tentunya mereka akan sering bertemu, dan menghabiskan waktu bersama. "Aku begitu membencinya--namun, bagaimana pun aku harus tetap berprofesional dalam bekerja," gumam Devan dalam hati, pria itu mengusap wajahnya kasar--Devan nampak frustasi. Tak sengaja melemparkan pandangannya pada sembara
Bulan dan bintang telah bersinar terang di atas sana. Cahaya nya yang menyilaukan mampu menciptakan keindahan pada langit yang kini sudah berubah gelap. Duduk di atas ranjang-sembari memeluk kedua kakinya dengan erat--dan wajah yang dia timpahkan di atasnya. Pikiran Rania saat ini tengah berkelana begitu jauh--wanita yang akan menginjak usia 26 tahun itu saat ini tengah memikirkan rumah tangganya dan Devan, yang tak seperti rumah tangga yang dijalani pasangan suami-istri lainnya. Sejenak, Rania kembali mengingat kedatangan kakek Darma waktu itu. "Bagaimana reaksi Darma Wijaya, saat mengetahui kalau aku ternyata tidak mendengarkan peringatannya, dia pasti akan sangat marah besar," gumam Rania dengan lirih, awan hitam semakin menyelimuti wanita berlesung pipi itu. Larut dalam apa yang menjadi beban pikirannya, membuat Rania semakin tenggelam dalam dunianya sendiri, dan itu membawanya kembali mengigat kata-kata kakek Darma saat laki-laki tua itu mendatangi kos-nya yang lama. "Kamu tida
"Mungkin karena terjadinya pernikahan anda dan Tuan Devan, membuatnya malu mengakuinya. Namun, saya begitu yakin--kalau Tuan Devan begitu mencintai anda, Nona. Bahkan dia masih berani menjalin hubungan dengan anda, padahal Tuan besar sudah mengancam, bahkan sampai memaksa anda dan Tuan Devan untuk berpisah, jadi saya mohon--tolong, jangan biarkan Tuan Devan berjuang sendiri di sini. Dia pernah kehilangan orang-orang yang dia cintai, termasuk Sarah yang pergi dari hidupnya--saat Tuan Devan sudah menaruh harapan besar padanya. Jadi, saya mohon jangan buat Tuan Devan merasakan kehilangan lagi," jelas Deni, nada suaranya penuh harap, dia menatap Rania dengan memohon, dan permintaan pria itu mampu membuat tubuh Rania meremang. Beberapa jam kemudianBumi kian diselimuti kesunyian, bintang-bintang kecil yang memancarkan kemilaunya pada langit gelap kini meredup, sebab waktu telah berada dipenghujung tengah malam.Sulit sekali untuk Rania dapat menjemput alam mimpinya. Ntah, apa yang wanita i
"Salahkan dirimu, Rania! Kau membuatku tidak bisa tidur--hingga berani datang untuk menemuimu!" Devan bersuara dengan datar, ada lengkungan kecil dikedua sudut bibir pria itu. Sorot matanya yang dalam, dan tajam mampu melumpuhkan semua saraf-saraf Rania seketika. Rania mematung. Dunianya seperti berhenti berputar, Rania seperti berada di dimensi yang berbeda. Masih saling menatap, perlahan menimbulkan gelenyar aneh di dalam diri-hingga menembus ke tulang sum-sum. Rania merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, dia merasa gerah--jantungnya pun memompa dalam tempo yang lebih cepat. Dia tidak sakit. Tapi, kenapa Rania merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya? Memutuskan kontak mata itu, Rania memutuskan untuk ke kamar mandi. "A---aku ingin ke kamar mandi!" ujar Rania dengan suara pata-pata, kegugupan dan juga pias nyata terlihat di wajah wanita berlesung pipi itu. Rania segera berlalu pergi meninggalkan Devan yang kini menatapnya dengan aneh. Wajah Devan berkerut. Keaneh
Apa yang dirasakan oleh Rania, mungkin tak ada beda jauhnya dengan Sarah. Wanita itu nampak resah, berkali-kali dia menggerutu tidak jelas meluapkan rasa kesal yang bercokol di dalam dada sedari tadi. "Ahh, sebel!" gerutu Sarah dengan nada penuh emosi. Wanita itu meremas lembaran kertas putih dengan sangat kuat, hingga membentuk sebuah bulatan; dan membuangnya pada tempat sampah yang berada di dekat meja dengan kasar. Larut, dalam rasa kesalnya--tiba-tiba mimik Sarah berubah saat pikirannya terhantar pada sosok istri dari mantan kekasihnya-Devan. Dengan segera Sarah mengambil gawainya yang tersimpan di atas meja samping kiri dan berselancar dalam dunia maya. Dia ingin melihat sosok Rania. Namun, Sarah harus menelan kekecewan sebab tak ada satu pun foto-foto Rania yang dia temui. "Sepertinya sengaja sudah dihapus, deh. Sebab yang aku dengar foto-foto wanita itu dan Devan tersebar didunia maya, dan hal itu yang membuat pernikahan mereka terbongkar dan kakek Darma sangat marah besar