Jangan lupa tinggalkan komentar, dan juga follow akun Ig aku, @popy-yanni untuk melihat visual Rania dan Devan
"Salahkan dirimu, Rania! Kau membuatku tidak bisa tidur--hingga berani datang untuk menemuimu!" Devan bersuara dengan datar, ada lengkungan kecil dikedua sudut bibir pria itu. Sorot matanya yang dalam, dan tajam mampu melumpuhkan semua saraf-saraf Rania seketika. Rania mematung. Dunianya seperti berhenti berputar, Rania seperti berada di dimensi yang berbeda. Masih saling menatap, perlahan menimbulkan gelenyar aneh di dalam diri-hingga menembus ke tulang sum-sum. Rania merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, dia merasa gerah--jantungnya pun memompa dalam tempo yang lebih cepat. Dia tidak sakit. Tapi, kenapa Rania merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya? Memutuskan kontak mata itu, Rania memutuskan untuk ke kamar mandi. "A---aku ingin ke kamar mandi!" ujar Rania dengan suara pata-pata, kegugupan dan juga pias nyata terlihat di wajah wanita berlesung pipi itu. Rania segera berlalu pergi meninggalkan Devan yang kini menatapnya dengan aneh. Wajah Devan berkerut. Keaneh
Apa yang dirasakan oleh Rania, mungkin tak ada beda jauhnya dengan Sarah. Wanita itu nampak resah, berkali-kali dia menggerutu tidak jelas meluapkan rasa kesal yang bercokol di dalam dada sedari tadi. "Ahh, sebel!" gerutu Sarah dengan nada penuh emosi. Wanita itu meremas lembaran kertas putih dengan sangat kuat, hingga membentuk sebuah bulatan; dan membuangnya pada tempat sampah yang berada di dekat meja dengan kasar. Larut, dalam rasa kesalnya--tiba-tiba mimik Sarah berubah saat pikirannya terhantar pada sosok istri dari mantan kekasihnya-Devan. Dengan segera Sarah mengambil gawainya yang tersimpan di atas meja samping kiri dan berselancar dalam dunia maya. Dia ingin melihat sosok Rania. Namun, Sarah harus menelan kekecewan sebab tak ada satu pun foto-foto Rania yang dia temui. "Sepertinya sengaja sudah dihapus, deh. Sebab yang aku dengar foto-foto wanita itu dan Devan tersebar didunia maya, dan hal itu yang membuat pernikahan mereka terbongkar dan kakek Darma sangat marah besar
Devan mematung. Lidahnya mendadak keluh, pria itu menatap lurus kakek Darma--Devan terlihat shyok. Dia sama sekali tidak menyangkah sang kakek akan memintanya sampai melakukan hal itu. Dan, akibat shyok itu mampu membuat Devan melupakan lelah di tubuh yang begitu menggorogoti."Apakah, aku tidak salah dengar?" tanya Devan dengan nada suaranya yang datar, pria itu memicingkan kedua mata menatap kakeknya itu dengan tatapan tidak suka. "Ya. Sebab pernikahan kalian sudah terlanjur tersebar, dan orang mengetahui kalau sampai saat ini kau masih berstatus suami dari wanita itu. Jadi, walaupun kalian berdua sudah berpisah namun tetap saja kau masih suami-darinya. Jadi, kakek ingin kau segera menceraikannya!" Kakek Darma bersuara dengan tegas, sorot mata nya begitu tajam menatap Devan.Ada lengkungan kecil di kedua sudut bibir Devan, setelah mendengarkan apa yang baru saja terucap dari mulut kakek Darma. Pria itu nampak semakin marah, Devan bersuara setelah beberapa detik kemudian."Aku sudah
"Kamu pikir aku juga sudi memakai perhiasan hasil rancanganmu, aku juga tidak sudi. Kalau bukan karena Devan yang memintanya, aku juga tidak sudi memakai hasil rancanganmu yang kampungan itu!" Santi bersuara dengan nada tinggi. Wanita itu benar-benar terbakar oleh emosinya, pada Sarah. Sarah membungkam-wanita itu diam seribu bahasa. Bukan perkataan dari Santi yang membuatnya sakit, namun Devan yang nampak tak memperdulikan dan lebih berpihak pada Santi. Devan tak menganggap dirinya sama sekali, hatinya benar-benar perih. Sarah merasa tak punya muka lagi--dia benar-benar malu saat ini. Dari pada semakin malu nantinya--Sarah memilih untuk pergi. Sepertinya kedatangannya kali ini sangat tidak tepat. Mengambil tas miliknya yang tersimpan di atas meja, dan menggantung ke pundaknya. Sarah segera beranjak dari duduknya, dan bersuara--sebisa mungkin wanita itu menahan gemuruh hebat di dalam dada. "Sebaiknya aku pergi, dan senang bertemu denganmu-hari ini, Dev!" pamit Sarah dengan suaranya y
Awan telah berubah gelap. Pesona semakin memanjakan mata dengan bulan yang bersinar dan bintang-bintang kecil yang memancarkan kemilaunya. Berdiri di bibir balkon--netra gelapnya menerawang jauh--hingfga menembus kegelapan malam. Angin bertiup dengan kencang. Kedua sisi cardigan dia satukan, guna menghalau udara dingin yang mampu menembus. Sarah begitu menikmati kesendiriannya. Gunda yang melanda, membuatnya melupakan malam yang semakin merangkak naik. "Apa yang kamu pikirkan?" Suara bariton yang mendengung di indera pendengaranya, memaksa sosok Sarah untuk berbalik. Sekilas menatap Papa Akio, dan kembali melemparkan pandangannya pada langit malam. Sepertinya kedatangan Papa Akio sama sekali tak berpengaruh untuk pengusaha, dan perancang perhiasan itu. "Aku tidak memikirkan apa-apa," dusta Sarah, nada suaranya begitu datar--namun air muka wanita itu nampak jelas mendung. Sarah tak mampu dengan baik menyembunyikan kesedihannya. "Apa ini, karena Devan? Papa dengar dia sudah menikah
Malam hari Devan saat ini tengah memasukkan pakaiannya di dalam koper--sebab besok pagi dia dan rombongannya sudah akan bertolak ke Korea. Senyum terus menghiasi wajah tampan Devan, membayangkan dirinya yang akan menghabiskan waktu beberapa hari dinegara yang terkenal dengan operasi bedah plastiknya itu, dengan sang istri-Rania. Anggap saja sekalian bulan madu, itulah yang ada di dalam pikiran pria bertubuh jangkung itu. "Kira-kira Deni sudah mengirimkan baju-baju itu-belum, yaa?" gumam Devan bertanya pada dirinya sendiri, sejenak pria itu menghentikan kegiatannya saat pikirannya tertuju pada bulan madu. Sebab tadi Devan meminta pada Deni agar mengantar dua buah lingeria pada istrinya itu. Terdengar suara pintu terbuka--Devan memutuskan untuk meninggalkan kegiatannya, dan melangkah ke luar dari walk in closet. Tepat sekali, Deni datang ke kamarnya--disaat dia sedang membutuhkan pria itu. Akan berbicara--namun Devan terpaksa harus mengurungkan niatnya setelah mendapati Deni yang mas
Hembusan angin malam bertiup dengan kencang---dahan pohon-pohon besar yang tumbuh disekitarnya tertiup terbawa oleh arah mata angin. Dia melangkah dengan pelan. Udara dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum, tak mengurungkan niat Mama Ani--menyusuri rumput kecil membawa tubuhnya menuju taman. Kedua tangan Mama Ani merapatkan dua sisi cardigan, kala angin kembali berhembus kencang--membuat tubuh itu sedikit menggigil. Mendaratkan tubuhnya pada sebuah kursi panjang, manik hitam legamnya menerawang jauh menikmati keindahan rembulan--yang bersinar begitu terang, dengan bintang-bintang kecil yang berada disekitarnya. Larut dalam suasana, membawa ingatan wanita paruh baya itu pada sosok kecil yang dia tinggalkan pada beberapa tahun lalu. "Kamu--pasti sekarang sudah dewasa-Nak. Dan, maafkan mama yang sudah meninggalkanmu. Mama yakin, Pa Hendra pasti memperlakukanmu dengan baik," lirihnya, sudah ada genangan air mata pada kedua sudut mata itu, punggung tangan Mama Ani mengusapnya.
Tak berkedip sama sekali kedua mata Rania--setelah berada di dalam kamar hotel. Bak--berada di surganya dunia, Rania begitu terpukau menatap megahnya kamar hotelnya dan Devan, yang cukup luas dengan berbagai fasilitas di dalamnya. "Apa, aku sedang berada ditempat lain?" gumam Rania tanpa sadar, sepasang pupil matanya tak berkedip sama sekali. Bahkan, dirinya sampai mengabaikan keberadaan porter yang membawa barang-barang milikmya dan Devan. "Mau, sampai kapan kau terus berada di sana?!" Suara bariton yang khas memecahkan lamunan panjang Rania, wanita berkulit putih itu segera memalingkan pandangannya pada asal suara--dan mendapati Devan yang sudah berbaring santai sembari kedua tangan pria itu dia tautkan ke belakang sebagai tumpuan kepala. Seulas senyum terbit di wajah Devan, pria itu menatap Rania dengan penuh arti--sembari memainkan ekornya-melemparkan pada sisinya yang masih kosong. Devan, seperti memberikan sebuah kode pada istrinya itu. "Aku lelah, Dev--," ujar Rania dengan
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j