Jangan lupa tinggalkan komentar, dan follow akun IG @popy-yanni untuk melihat visual Rania dan Devan.
Suara jeritan membuat Sarah tersentak. Wanita itu langsung bangkit dari tidurnya, napas Sarah memburuh--keringat pun bercucuran membasahi dahinya. Sejenak, Sarah nampak seperti seseorang yang baru saja melakukan olah raga. Kembali mengingat pada masa lalunya yang kelam, seketika Sarah dipeluk oleh perasaan takut, "Tidak! Bagaimana pun, Devan tidak boleh mengetahui kalau aku pernah mengandung, dan menggugurkan anak dari pria lain!" gumam Sarah, wajahnya menegang--ketakutan begitu nyata di wajah Desicner perhiasan itu. Seperti baru saja terjadi--Sarah begitu hanyut dalam apa yang menjadi beban pikirannya-hingga suara ketukkan pintu kamar yang menyapa tiba-tiba cukup membuat wanita itu tertegun. Dengan segera Sarah membawa pandangannya pada pintu kamar, sisa-sisa ketakutan itu masih ada. "Siapa----?" tanya Sarah dengan setengah teriakkan, wanita itu merasa dirinya dejafu. "Ini aku-Santi!" Suara ketus yang menyambut pertanyaan itu, dan suara dari Santi berhasil membawa Sarah kembali
"Aku rasa semuanya tadi sudah jelas. Jadi, kalau ada yang perlu dibicarakan, lagi aku rasa besok saja. Aku harus kembali ke kamarku!" ujar Devan dengan datar, pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Namun, alunan langkah itu berhenti seketika---saat Sarah memeluknya. Dan, apa yang Sarah lakukan cukup membuat Devan terkejut.Devan memberontakkan tubuhnya--agar Sarah dapat melepaskan tautan kedua tangan yang melingkar di pinggang. Namun, bukannya melepaskan--Sarah justru kian mengeratkan pelukan itu, "Lepaskan Sarah!" Devan kembali memberontak, sembari menghardik mantan kekasihnya itu. Namun, bukannya melepaskan--Sarah justru makin menambah eratnya pelukan itu. Dan, beberapa detik setelahnya Sarah terisak. Dan, itu mendadak membuat Devan meremang--kemarahan pun tak terlihat lagi. "Jangan pergi dariku, Dev---hiks---hiks, kau tahu aku begitu hancur saat mengetahui kalau kau telah menikah. Aku masih begitu mencintai, mu, Dev---masih sangat mencintaimu," lirih Sarah dalam isak tang
"Deni, bisakah kau membantuku--untuk masuk ke dalam hotel? Kakiku sangat sakit, dan aku tidak bisa bangun,"pinta Rania dengan memohon, dan apa yang diinginkan oleh wanita itu membuat Devan dan Deni sama-sama kaget. Apa lagi Devan yang nampak tidak terima. Wajah pria itu telah berubah tegang. Melayangkan tatapan nyalangnya pada Deni, dan Deni yang ditatap seperti itu hanya membeku, wajahnya pucat pasih. Dan, tanpa meminta persetujuan dari Rania--Devan memaksa menggendong istrinya, dan membawanya ke dalam. Sepanjang perjalanan mereka menuju kembali ke kamar hotel--Rania terus saja memberontakkan tubuhnya kecil. Bukan, karena masih kesal dengan apa yang terjadi tadi--namun, sebab kini dia dan Devan menjadi pusat perhatian orang-orang. "Dev, turunkan aku!" pinta Rania berbisik pelan di telinga suaminya, namun nada suaranya penuh penekanan di dalamnya. "Dan, membiarkanmu--digendong oleh Deni?!" sentaknya, dan kalimat itu mampu membuat Rania membungkam. Masih menjadi pusat perhatian
"Jangan katakan kalau kau--masih meminta orang untuk mencari Ani Lestari!" Suara lantang--yang cukup memekikkan di telinga membuat pandangan papa Akio teralihkan pada asal suara. Air mukanya berubah keruh setelah mendapati kedatangan sang istri--Winda. Moodnya berubah buruk. "Aku baru saja selesai melakukan panggilan telepone dengan Sarah!" Suara papa Akio terdengar berat. Tuduhan tidak benar yang sang istri layangkan, membuatnya jengah. Mama Anita tertawa renyah. Wajahnya kian menegang, amarah--bercampur kecewa melebur jadi satu memenuhi diri wanita paruh baya itu. Sebab, dia tahu dengan jelas sang suami-masih mencintai masa lalunya,"Semoga saja itu-benar. Sebab, walaupun sudah ada Sarah diantara kita, tapi kau masih belum mampu bisa melupakan wanita itu. Tidak, bisa dibayangkan bagaimana perasaan putri kita, jika mengetahui kalau pria yang dia bangga-banggakan, ternyata masih mencintai wanita masa lalunya," ujar mama Winda dengan lirih. Suara wanita paruh baya itu telah berubah pa
"Dev----." Suara panggilan membuat Devan yang sedang menikmati hijaunya taman samping restorant seketika menolehkan wajahnya pada asal suara, dan mendapati kedatangan Rania. Wanita itu tersenyum lebar, namun walaupun telah menutupinya dengan senyuman--Devan dapat melihat dengan jelas guratan kesedihan di sana. Yakin--ada sesuatu yang terjadi pada sang istri, Devan melemparkan pandangannya pada Deni--yang berada di belakang Rania, dan pria itu menyambutnya dengan sebuah anggukan yang pelan. Menghela napasnya dalam, air muka Devan telah berubah keruh. Dan, sedetik kemudian Deni segera melangkah pergi. "Kau, bahkan tidak membangunkanku!" Suara bariton Devan memecahkan keheningan yang melanda keduanya, ada kemarahan yang terselip dalam nada biacaranya walaupun suara pria itu terkesan biasa. "Maaf,"ujar Rania dengan kikuknya, dirinya memaksakan wajah itu untuk menerbitkan senyuman. Sungguh. Dia belum dapat melupakan kata-kata Sarah tadi. Apa lagi kembali mengingat kemesraan Devan da
Ternyata Devan sedang melakukan panggilan telepone. Begitu melihat kedatangan Deni, pria itu memutuskan untuk menyudahinya."Tuan. Ada yang ingin saya tunjukkan pada anda," ujar Deni segera, setelah dirinya telah berada didekat Devan. Devan yang sebelumnya akan melayangkan pertanyaan-- memilih untuk mengurungkan niatnya, sebab rasa penasaran telah menyelimuti diri setelah mendengar apa yang baru saja Deni sampaikan."Apa, itu?" tanya Devan menuntut, manik hitam legamnya begitu tajam--dan dalam menatap anak buahnya itu. Bukannya menyambut pertanyan yang Devan layangkan, Deni justru merogo saku celana dan mengeluarkan benda pipih miliknya, dan menyerahkannya pada Devan, Menatap Deni dengan lekat-lekat, dengan gerakan tangan yang ragu Devan mengambil gawai dalam genggaman Deni. Sepasang mata Devan membelalak lebar, pria itu seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Rania, istrinya--berdebat dengan Santi. Seketika, senyum mengembang di wajah Devan--pria itu nampak bangga."Ambi
Rania mendadak kaku--wanita itu seolah kehilangan kata-kata untuk menjawab Santi yang semakin menjauh dari pandangannya. Masih setia memandang Santi, mimik wajah Rania terlihat suram seperti ada yang membebaninya kini. "Rania---." Ada orang yang menyeruhkan namanya--membuat Rania berpaling pada sumber suara. Wanita berlesung pipi itu membola kedua matanya lebar-lebar, memandang tidak percaya kalau sosok yang saat ini tengah tersenyum manis, dan melangkah menuju padanya adalah Dion. "Dion,"gumam Rania tanpa sadar, dengan pandangan tak terputus sama sekali pada Dion yang kini melangkah menuju padanya. "Hai, Rania," sapa Dion, pria itu tersenyum lebar. "Kau, berada di sini?" tanya Rania pelan, lidahnya mendadak keluh-akibat masih shyok. "Iya. Aku sedang melakukan liburan. Dan, sama sekali tidak menyangkah kalau akan bertemu denganmu-di sini. Kau, sedang berlibur bersama Devan?" tanya Dion berbasa-basi, padahal keberadaannya di sana karena faktor kesengajaan. Dion mengetahui D
"Itu bukan urusanm, Sarah! Sebab, semuanya sudah berakhir sejak kepergianmu!" tegas Devan, pria itu beranjak dari duduknya, dan melangkah pergi begitu saja. Berlalunya Devan dari dalam restorant--turut membawa pandangan Sarah yang terus mengkiuti langkah kaki Devan, sampai sosok itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Api amarah benar-benar membarah di dalam diri Sarah, dia merasa harga dirinya begitu terinjak. Devan yang dulu begitu mencintai, Devan yang dulu memuja, dan menyanjungi dirinya, kini sikap pria itu berubah 180 derajat, dan itu tidak bisa diterima oleh Sarah. Apa lagi pesona seorang Devan kian terpancar, sejak dia menduduki posisi penting di Wijaya Group, dan itu semakin menambah keinginan Sarah untuk dapat kembali bersama mantan kekasihnya. "Kita, lihat saja. Cepat, atau lambat, kau pasti akan kembali bersamaku!" gerutu Sarah, ada lengkungan kecil disudut kiri mulut wanita itu. *** *** Devan telah kembali berada di hotel. Suasana hatinya yang sedang tidak ba
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j