Jangan lupa tinggalkan komentar, dan follow akun IG aku @popy--yanni untuk melihat visual Rania dan Devan.
Rania mendadak kaku--wanita itu seolah kehilangan kata-kata untuk menjawab Santi yang semakin menjauh dari pandangannya. Masih setia memandang Santi, mimik wajah Rania terlihat suram seperti ada yang membebaninya kini. "Rania---." Ada orang yang menyeruhkan namanya--membuat Rania berpaling pada sumber suara. Wanita berlesung pipi itu membola kedua matanya lebar-lebar, memandang tidak percaya kalau sosok yang saat ini tengah tersenyum manis, dan melangkah menuju padanya adalah Dion. "Dion,"gumam Rania tanpa sadar, dengan pandangan tak terputus sama sekali pada Dion yang kini melangkah menuju padanya. "Hai, Rania," sapa Dion, pria itu tersenyum lebar. "Kau, berada di sini?" tanya Rania pelan, lidahnya mendadak keluh-akibat masih shyok. "Iya. Aku sedang melakukan liburan. Dan, sama sekali tidak menyangkah kalau akan bertemu denganmu-di sini. Kau, sedang berlibur bersama Devan?" tanya Dion berbasa-basi, padahal keberadaannya di sana karena faktor kesengajaan. Dion mengetahui D
"Itu bukan urusanm, Sarah! Sebab, semuanya sudah berakhir sejak kepergianmu!" tegas Devan, pria itu beranjak dari duduknya, dan melangkah pergi begitu saja. Berlalunya Devan dari dalam restorant--turut membawa pandangan Sarah yang terus mengkiuti langkah kaki Devan, sampai sosok itu benar-benar menghilang dari pandangannya. Api amarah benar-benar membarah di dalam diri Sarah, dia merasa harga dirinya begitu terinjak. Devan yang dulu begitu mencintai, Devan yang dulu memuja, dan menyanjungi dirinya, kini sikap pria itu berubah 180 derajat, dan itu tidak bisa diterima oleh Sarah. Apa lagi pesona seorang Devan kian terpancar, sejak dia menduduki posisi penting di Wijaya Group, dan itu semakin menambah keinginan Sarah untuk dapat kembali bersama mantan kekasihnya. "Kita, lihat saja. Cepat, atau lambat, kau pasti akan kembali bersamaku!" gerutu Sarah, ada lengkungan kecil disudut kiri mulut wanita itu. *** *** Devan telah kembali berada di hotel. Suasana hatinya yang sedang tidak ba
Kalimat yang mengalir dari mulut Dion--menyalahkan api yang sudah ada di dalam diri Devan-semakin saja membara. Jelas dia tidak terima--dengan terang-terangan pria itu mengatakan kalau dia menyukai, bukan hanya sekedar suka namun-juga mencintai istrinya. Amarah telah meletus, Devan lepas kontrol. Kembali dia akan melayangkan sebuah bogeman di wajah Dion. Namun, baru saja akan mendarat kepalan tangan itu-ada sebuah tangan kekar yang menahannya. Gagal. "Jangan, lakukan ini-Tuan. Ini bisa merusak citra, anda. Saat ini ada banyak orang yang tengah memperhatikan anda!" ujar Deni memperingati, namun wajahnya mengkerut--sebab dia mengerahkan semua tenaga dalam diri, karena Devan tetap memaksa bungkusan tangannya agar mendarat di wajah Dion. "Aku-tidak perduli! Dia benar-benar, sudah melatih kesabaranku!" geram Devan, pria itu kian menambah tenaganya--agar pukulan itu bisa mencapai sasaran. "Tuan, pikirkan Nona Rania! Lihatlah, dia begitu sedih!" ujar Deni, mendapati Rania yang menat
Marah, shyok, itulah gambaran dari wajah Papa Hendra, Rasty, dan juga mama Anita saat ini. Mereka sangat kaget--setelah mendengar kalimat bernada ancaman dari mulut kakek Darma, dan ternyata musibah itu disebabkan karena Rania. Amarah telah menyeruak dari dalam diri Mama Anita, dan Rasty. Pasangan ibu dan anak itu, sudah terbakar oleh emosinya. "Jadi, semua ini karena anak sialan, itu?!" cecar Mama Anita, dadanya kembang-kempis, wajahnya mengeras akan emosinya yang teramat sangat, "Rasty!" panggil mama Anita kemudian, masih dengan nada yang sama. "Telepone, Rania! Bagaimanapun, dia harus mengetahui hal ini!" Masih dengan nada suara yang penuh dengan emosi, Mama Anita memerintah Rasty. "Sudahlah, Maa," gumam papa Hendra dengan lirih, mendapati emosi sang istri pada Rania- dia nampak sedih. "Sudah, bagaimana?! Semua kekacauan ini karena dia. Dan, bagaimana pun anak itu harus mengetahuinya-kalau tidak Darma Wijaya akan datang lagi, dan menghancurkan dagangan kita. Memang papa mau,
Tak ada yang mengetahui kesedihan yang dia rasakan, sebab saat ini dirinya hanya seorang diri. Devan. Pria itu sedang tidak berada di hotel, dia tengah pergi bersama Deni--menghadiri sebuah acara amal. Gunda yang melanda, Rania memutuskan menghabiskan waktunya dipinggir pantai. Duduk-dengan kedua kaki yang dia tekukkan, menopang ujung dagunya di atas sana--menatap keindahan pantai dimalam hari, dengan gulungan ombak yang cukup besar. Suasana sunyi yang menyelimuti, kian menarik Rania--hanyut dalam duka laranya. Airmata yang sudah mengering, kini kembali tumpa membanjiri kedua pipi. Rania sesegukan, tangisnya terdengar pilu dan sungguh--menyayat di hati. "Rania---." Suara bariton yang mendengung di-indera pendengarannya memaksa Rania untuk berpaling. Wanita berlesung pipi itu tercengang, begitu mendapati adanya Dion. Mengingat pesan Devan, yang tidak menginginkan dirinya dekat dengan mantan anak buahnya itu, Rania beranjak dari duduknya-menghapus jejak basah yang masih ada
Perginya Rania, dan Devan, turut membawa pandangan seorang Dion-yang terus mengikuti langkah kaki Rania dan Devan, sampai sosok pasangan suami-istri itu, benar-benar menghilang dari pandangannya. Mendesahkan napasnya panjang, Dion meraup oksigen sebanyak mungkin, saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, sebisa mungkin pria itu menahan gemuruh hebat di dalam dada. "Aku akan tetap berusaha mendapatkan Rania. Aku sangat yakin, sampai kapan pun-Darma Wajaya tidak akan membiarkan cucunya, bersama Rania. Dia hanya mau keturunannya, menikah dengan orahg yang sederajat!" gumam Dion. Setelah merasa suasana hatinya sudah jauh lebih tenang, Dion memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Melangkah dalam keheningan, menyusuri jalan yang terlihat sepi. Namun, alunan langkah kaki itu Dion hentikan saat tiba-tiba ada yang menyeruhkan dirinya. "Dion---." Berpaling pada asal suara, sempat lama bekerja pada keluarga Wijaya-tentunya Dion sangat
Beberapa hari kemudian, Indonesia. Suasana tegang begitu menyelimuti di dalam ruangan--kakek Darma dan Devan, saat ini tengah terlibat pertengkaran. Baru saja cucunya tiba di Indonesia--kakek Darma yang sudah menahan kemarahannya sejak mengetahui kalau Devan ternyata masih menjalin hubungan dengan Rania, bahkan mengajak wanita itu turut serta ke Korea, benar-benar membuat lelaki tua itu berada dipuncak kesabarannya. "Tinggalkan-Rania!" Kakek Darma bersuara dengan tegas, wajahnya mengeras--sorot mata yang dia lemparkan pada Devan, seperti ingin menguliti cucunya hidup-hidup. Napasnya pun terasa berat, amarah benar-benar sudah membunca di dalam diri. Devan beranjak dari duduknya, menatap tajam kakek Darma--tak terlihat ketakutan sama sekali di wajah pria bertubuh jangkung itu. Devan seperti tengah menabuh genderang perang untuk Kakeknya sendiri. "Dan, mengulangi kisah yang sama lama lagi? Cukup hanya kedua orang tuaku yang mengalaminya, kakek! Hidup dalam sebuah rumah tangga
Dia begitu mencintai--namun, dia tidak memaksakan dirinya untuk bersama pria itu lagi. Rania, tidak mau egois. Kebersaannya dengan Devan, akan menghancurkan orang-orang yang dia sayangi. Berkali-kali Rania menarik napasnya dalam-dalam, dia berusaha untuk tetap kuat."Dev, maafkan aku. Tapi, percayalah. Aku benar-benar terpaksa,melakukannya," ujar Riana dengan suaranya yang parau, air mata yang sudah mengering--kini kembali ada, jatuh--membasahi kedua pipinya. Suara ketukkan membuat Rania tercengang. Punggung tangan wanita itu segera mengusap jejak basah pada kedua pipinya, dan bersuara."Siapa----?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, sebab saat ini pemilik senyum manis itu sedang memiliki janji dengan kedua pria sekaligus. "Ini, aku-Deni, Rania!" sahut Deni, dengan nada yang sama dengan Rania. Sesak kembali menyelimuti di dalam dada Rania, menatap langit-langit kamar, Rania berusaha menahan airmatanya agar tidak jatuh, "Oh, Tuhan---, maafkan hambamu, ini," gumam Rania dengan li