Perginya Rania, dan Devan, turut membawa pandangan seorang Dion-yang terus mengikuti langkah kaki Rania dan Devan, sampai sosok pasangan suami-istri itu, benar-benar menghilang dari pandangannya. Mendesahkan napasnya panjang, Dion meraup oksigen sebanyak mungkin, saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, sebisa mungkin pria itu menahan gemuruh hebat di dalam dada. "Aku akan tetap berusaha mendapatkan Rania. Aku sangat yakin, sampai kapan pun-Darma Wajaya tidak akan membiarkan cucunya, bersama Rania. Dia hanya mau keturunannya, menikah dengan orahg yang sederajat!" gumam Dion. Setelah merasa suasana hatinya sudah jauh lebih tenang, Dion memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Melangkah dalam keheningan, menyusuri jalan yang terlihat sepi. Namun, alunan langkah kaki itu Dion hentikan saat tiba-tiba ada yang menyeruhkan dirinya. "Dion---." Berpaling pada asal suara, sempat lama bekerja pada keluarga Wijaya-tentunya Dion sangat
Beberapa hari kemudian, Indonesia. Suasana tegang begitu menyelimuti di dalam ruangan--kakek Darma dan Devan, saat ini tengah terlibat pertengkaran. Baru saja cucunya tiba di Indonesia--kakek Darma yang sudah menahan kemarahannya sejak mengetahui kalau Devan ternyata masih menjalin hubungan dengan Rania, bahkan mengajak wanita itu turut serta ke Korea, benar-benar membuat lelaki tua itu berada dipuncak kesabarannya. "Tinggalkan-Rania!" Kakek Darma bersuara dengan tegas, wajahnya mengeras--sorot mata yang dia lemparkan pada Devan, seperti ingin menguliti cucunya hidup-hidup. Napasnya pun terasa berat, amarah benar-benar sudah membunca di dalam diri. Devan beranjak dari duduknya, menatap tajam kakek Darma--tak terlihat ketakutan sama sekali di wajah pria bertubuh jangkung itu. Devan seperti tengah menabuh genderang perang untuk Kakeknya sendiri. "Dan, mengulangi kisah yang sama lama lagi? Cukup hanya kedua orang tuaku yang mengalaminya, kakek! Hidup dalam sebuah rumah tangga
Dia begitu mencintai--namun, dia tidak memaksakan dirinya untuk bersama pria itu lagi. Rania, tidak mau egois. Kebersaannya dengan Devan, akan menghancurkan orang-orang yang dia sayangi. Berkali-kali Rania menarik napasnya dalam-dalam, dia berusaha untuk tetap kuat."Dev, maafkan aku. Tapi, percayalah. Aku benar-benar terpaksa,melakukannya," ujar Riana dengan suaranya yang parau, air mata yang sudah mengering--kini kembali ada, jatuh--membasahi kedua pipinya. Suara ketukkan membuat Rania tercengang. Punggung tangan wanita itu segera mengusap jejak basah pada kedua pipinya, dan bersuara."Siapa----?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, sebab saat ini pemilik senyum manis itu sedang memiliki janji dengan kedua pria sekaligus. "Ini, aku-Deni, Rania!" sahut Deni, dengan nada yang sama dengan Rania. Sesak kembali menyelimuti di dalam dada Rania, menatap langit-langit kamar, Rania berusaha menahan airmatanya agar tidak jatuh, "Oh, Tuhan---, maafkan hambamu, ini," gumam Rania dengan li
Semua yang terjadi sangat begitu membingungkan. Rania yang menciumnya dengan gairah, dan meminta bercerai. Seolah melupakan rasa sakit pada wajahnya, Dion segera mencecar Rania dengan pertanyaan. "Katakan. Apakah, ini karena Darma Wijaya?" tanya Dion menuntut, dia menatap Rania dengan lekat. Kembali disadarkan akan luka di hati, Rania kembali terisak. Tangis yang terdengar pilu, dan sungguh menyayat di hati, "Apa, yang bisa aku lakukan, Dion---? Dia mengancam akan menghancurkan keluargaku, bahkan membunuh mereka, jika aku masih berhubungan dengan Devan. Aku tidak mau, hanya karena keegoisanku, yang tetap ingin bersama Devan, menghancurkan orang-orang yang aku sayang," lirih Rania, dalam isak tangisnya. "Dan, kau memanfaatkan, ku?!" skak Dion, diakhir ucapannya pria itu tersenyum getir, sempat menikmati ciuman maut dari Rania--namun, dia harus kembali disadarkan oleh keadaan, kalau semua itu hanya untuk membuat Devan pergi dari hidup wanita yang dia cintai. "Maaf," gumam Rani
"Kenapa, tidak Rania? Aku rasa kau sudah mengetahui perasaanku. Aku memang awalnya ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada keluarga Wijaya. Tapi, itu dulu. Aku benar-benar mencintaimu, dan serius, ingin menjadi ayah dari bayi yang kau kandung!"Rania dapat melihat kesungguhan ucapan Dion, lewat manik hitam pria itu. Namun, sayangnya--cinta itu hanya untuk Devan seorang, hatinya benar-benar telah tertaut pada pria itu. Tidak, perduli Devan yang mungkin akan menikah lagi-nantinya. Rania memutuskan untuk menjanda--membesarkan buah cintanya dan Devan seorang diri."Maaf," Rania bersuara dengan lirih, rasa bersalah semakin menyelimuti wajah cantik Rania--sebab setelah dirinya bercerai dari Devan, ekonomi Rania benar-benar jatuh, dan tak jarang Dion membantunya, "Maafkan, aku. Tapi, aku tidak bisa," ujar Rania parau, ,menunduk--mendung semakin menyelimuti wajah wanita itu. Dion menarik napasnya tegas, berusaha untuk mengontrol diri. Menyadarkan diri Rania yang tengah mengandung, dan baru s
"Dev---." Suara panggilan memalingkan wajah tampan Devan, juga menjeda langkah kakinya. Berbalik dan mendapati kedatangan Sarah. Dia memutar bola matanya malas, kedatangan Sarah membuat moodnya semakin buruk. Senyum terus terukir di wajah Sarah, saat membawa langkah kaki itu menghampiri Devan. Wanita itu nampak sangat bahagia. "Hai, Dev," sapa Sarah, saat telah berada didekat Devan--Desicner cantik itu memasang senyumnya semanis mungkin. "Kakek ku, sedang berada di dalam ruang kerjanya!" ujar Devan datar, dengan menampilkan wajah dinginnya. Dan, kalimat yang baru saja mengalir dari mulut Devan mampu menghapus senyuman di wajah Sarah. Dia nampak kecewa.Devan berbalik dan bersiap melangkah. Namun, gagal--saat Sarah mencekal tangannya. Dengan terpaksa, pria itu berbalik, "Aku datang ke sini, untuk-mu, Dev--," ujar Sarah dengan lirih, mendung dan juga kecewa berbalut menyelimuti wajah cantiknya. Devan terkekeh tertahan, apa yang baru saja katakan telah menimbulkan percikan api di dala
Pertemuan nya tidak sengaja dengan Santi saja sudah membuat Rania cukup kaget, dan sekarang wanita itu melayangkan pertanyaan seputar kehamilannya. Mimik wajah Rania berubah, sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap tenang, dan tidak panik, tentu semua itu hanya untuk menutupi kenyataan. "Tidak! Aku, sedang tidak hamil!" sahutnya cepat, Rania menelan ludahnya susah payah. Pucat, dan juga gugup, begitu nyata pada wajah wanita berlesung pipi itu. "Kenapa, aku bisa sampai melupakan susu hamil milik-ku?" gerutu Rania dalam hati. Pias, dan juga gugup yang menyelimuti wajah Rania-mampu tertangkap oleh Santi. Wanita yang berprofesi sebagai model itu, memicingkan mata penuh curiga, "Kau, sedang tidak berbohong pada'ku, kan?" Rania menelan ludahnya susah payah, dadanya berdebar-akan tatapan dan juga, pertanyaan yang Santi layangkan, " Tentu saja tidak!" sahutnya. Dan, kembali bersuara, "Susu hamil itu-milik temanku, dia meminta aku membelikannya!" tambah Rania, diakhir ucapannya dia
"Saya datang untuk menjenguk ibu, saya." Wajah papa Akio mendadak kaku, sorot mata itu semakin tajam menatap Deni-ada keterjutan di dalam diri setelah mendengar jawaban dari pria itu. "Ibu?" ujar papa Akio, namun seperti sebuah pertanyaan. Deni tersenyum sesaat--bagaimana pria itu mendapati reaksi papa Akio, "Iya, Ibu. Ibu Ani adalah ibu saya," sahut Deni, pria itu menyimpulkan senyuman kecil di wajah. JEDAAR! Bagai tersambar petir di siang bolong-betapa kagetnya papa Akio saat ini. Bukan hanya kaget saja, namun pria berkebangsaan Jepang itu shyok berat. Deni, yang dia tahu adalah salah satu orang kepercayaan dari keluarga Wijaya ternyata adalah anak dari wanita yang pernah berada dimasa lalunya. Berbagai tanda tanya kini memenuhi isi kepala papa Akio. Apakah, Ani mengandung setelah dia meninggalkan wanita itu? Apakah, Deni adalah anaknya? Apakah, Ani menikah lagi setelah keduanya bercerai? Memikirkan semua prasangkah yang ada di dalam isi kepalanya--membuat tatapan papa Aki
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j