Tak ada yang mengetahui kesedihan yang dia rasakan, sebab saat ini dirinya hanya seorang diri. Devan. Pria itu sedang tidak berada di hotel, dia tengah pergi bersama Deni--menghadiri sebuah acara amal. Gunda yang melanda, Rania memutuskan menghabiskan waktunya dipinggir pantai. Duduk-dengan kedua kaki yang dia tekukkan, menopang ujung dagunya di atas sana--menatap keindahan pantai dimalam hari, dengan gulungan ombak yang cukup besar. Suasana sunyi yang menyelimuti, kian menarik Rania--hanyut dalam duka laranya. Airmata yang sudah mengering, kini kembali tumpa membanjiri kedua pipi. Rania sesegukan, tangisnya terdengar pilu dan sungguh--menyayat di hati. "Rania---." Suara bariton yang mendengung di-indera pendengarannya memaksa Rania untuk berpaling. Wanita berlesung pipi itu tercengang, begitu mendapati adanya Dion. Mengingat pesan Devan, yang tidak menginginkan dirinya dekat dengan mantan anak buahnya itu, Rania beranjak dari duduknya-menghapus jejak basah yang masih ada
Perginya Rania, dan Devan, turut membawa pandangan seorang Dion-yang terus mengikuti langkah kaki Rania dan Devan, sampai sosok pasangan suami-istri itu, benar-benar menghilang dari pandangannya. Mendesahkan napasnya panjang, Dion meraup oksigen sebanyak mungkin, saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, sebisa mungkin pria itu menahan gemuruh hebat di dalam dada. "Aku akan tetap berusaha mendapatkan Rania. Aku sangat yakin, sampai kapan pun-Darma Wajaya tidak akan membiarkan cucunya, bersama Rania. Dia hanya mau keturunannya, menikah dengan orahg yang sederajat!" gumam Dion. Setelah merasa suasana hatinya sudah jauh lebih tenang, Dion memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Melangkah dalam keheningan, menyusuri jalan yang terlihat sepi. Namun, alunan langkah kaki itu Dion hentikan saat tiba-tiba ada yang menyeruhkan dirinya. "Dion---." Berpaling pada asal suara, sempat lama bekerja pada keluarga Wijaya-tentunya Dion sangat
Beberapa hari kemudian, Indonesia. Suasana tegang begitu menyelimuti di dalam ruangan--kakek Darma dan Devan, saat ini tengah terlibat pertengkaran. Baru saja cucunya tiba di Indonesia--kakek Darma yang sudah menahan kemarahannya sejak mengetahui kalau Devan ternyata masih menjalin hubungan dengan Rania, bahkan mengajak wanita itu turut serta ke Korea, benar-benar membuat lelaki tua itu berada dipuncak kesabarannya. "Tinggalkan-Rania!" Kakek Darma bersuara dengan tegas, wajahnya mengeras--sorot mata yang dia lemparkan pada Devan, seperti ingin menguliti cucunya hidup-hidup. Napasnya pun terasa berat, amarah benar-benar sudah membunca di dalam diri. Devan beranjak dari duduknya, menatap tajam kakek Darma--tak terlihat ketakutan sama sekali di wajah pria bertubuh jangkung itu. Devan seperti tengah menabuh genderang perang untuk Kakeknya sendiri. "Dan, mengulangi kisah yang sama lama lagi? Cukup hanya kedua orang tuaku yang mengalaminya, kakek! Hidup dalam sebuah rumah tangga
Dia begitu mencintai--namun, dia tidak memaksakan dirinya untuk bersama pria itu lagi. Rania, tidak mau egois. Kebersaannya dengan Devan, akan menghancurkan orang-orang yang dia sayangi. Berkali-kali Rania menarik napasnya dalam-dalam, dia berusaha untuk tetap kuat."Dev, maafkan aku. Tapi, percayalah. Aku benar-benar terpaksa,melakukannya," ujar Riana dengan suaranya yang parau, air mata yang sudah mengering--kini kembali ada, jatuh--membasahi kedua pipinya. Suara ketukkan membuat Rania tercengang. Punggung tangan wanita itu segera mengusap jejak basah pada kedua pipinya, dan bersuara."Siapa----?" tanya Rania dengan setengah teriakkan, sebab saat ini pemilik senyum manis itu sedang memiliki janji dengan kedua pria sekaligus. "Ini, aku-Deni, Rania!" sahut Deni, dengan nada yang sama dengan Rania. Sesak kembali menyelimuti di dalam dada Rania, menatap langit-langit kamar, Rania berusaha menahan airmatanya agar tidak jatuh, "Oh, Tuhan---, maafkan hambamu, ini," gumam Rania dengan li
Semua yang terjadi sangat begitu membingungkan. Rania yang menciumnya dengan gairah, dan meminta bercerai. Seolah melupakan rasa sakit pada wajahnya, Dion segera mencecar Rania dengan pertanyaan. "Katakan. Apakah, ini karena Darma Wijaya?" tanya Dion menuntut, dia menatap Rania dengan lekat. Kembali disadarkan akan luka di hati, Rania kembali terisak. Tangis yang terdengar pilu, dan sungguh menyayat di hati, "Apa, yang bisa aku lakukan, Dion---? Dia mengancam akan menghancurkan keluargaku, bahkan membunuh mereka, jika aku masih berhubungan dengan Devan. Aku tidak mau, hanya karena keegoisanku, yang tetap ingin bersama Devan, menghancurkan orang-orang yang aku sayang," lirih Rania, dalam isak tangisnya. "Dan, kau memanfaatkan, ku?!" skak Dion, diakhir ucapannya pria itu tersenyum getir, sempat menikmati ciuman maut dari Rania--namun, dia harus kembali disadarkan oleh keadaan, kalau semua itu hanya untuk membuat Devan pergi dari hidup wanita yang dia cintai. "Maaf," gumam Rani
"Kenapa, tidak Rania? Aku rasa kau sudah mengetahui perasaanku. Aku memang awalnya ingin membalaskan rasa sakit hatiku pada keluarga Wijaya. Tapi, itu dulu. Aku benar-benar mencintaimu, dan serius, ingin menjadi ayah dari bayi yang kau kandung!"Rania dapat melihat kesungguhan ucapan Dion, lewat manik hitam pria itu. Namun, sayangnya--cinta itu hanya untuk Devan seorang, hatinya benar-benar telah tertaut pada pria itu. Tidak, perduli Devan yang mungkin akan menikah lagi-nantinya. Rania memutuskan untuk menjanda--membesarkan buah cintanya dan Devan seorang diri."Maaf," Rania bersuara dengan lirih, rasa bersalah semakin menyelimuti wajah cantik Rania--sebab setelah dirinya bercerai dari Devan, ekonomi Rania benar-benar jatuh, dan tak jarang Dion membantunya, "Maafkan, aku. Tapi, aku tidak bisa," ujar Rania parau, ,menunduk--mendung semakin menyelimuti wajah wanita itu. Dion menarik napasnya tegas, berusaha untuk mengontrol diri. Menyadarkan diri Rania yang tengah mengandung, dan baru s
"Dev---." Suara panggilan memalingkan wajah tampan Devan, juga menjeda langkah kakinya. Berbalik dan mendapati kedatangan Sarah. Dia memutar bola matanya malas, kedatangan Sarah membuat moodnya semakin buruk. Senyum terus terukir di wajah Sarah, saat membawa langkah kaki itu menghampiri Devan. Wanita itu nampak sangat bahagia. "Hai, Dev," sapa Sarah, saat telah berada didekat Devan--Desicner cantik itu memasang senyumnya semanis mungkin. "Kakek ku, sedang berada di dalam ruang kerjanya!" ujar Devan datar, dengan menampilkan wajah dinginnya. Dan, kalimat yang baru saja mengalir dari mulut Devan mampu menghapus senyuman di wajah Sarah. Dia nampak kecewa.Devan berbalik dan bersiap melangkah. Namun, gagal--saat Sarah mencekal tangannya. Dengan terpaksa, pria itu berbalik, "Aku datang ke sini, untuk-mu, Dev--," ujar Sarah dengan lirih, mendung dan juga kecewa berbalut menyelimuti wajah cantiknya. Devan terkekeh tertahan, apa yang baru saja katakan telah menimbulkan percikan api di dala
Pertemuan nya tidak sengaja dengan Santi saja sudah membuat Rania cukup kaget, dan sekarang wanita itu melayangkan pertanyaan seputar kehamilannya. Mimik wajah Rania berubah, sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap tenang, dan tidak panik, tentu semua itu hanya untuk menutupi kenyataan. "Tidak! Aku, sedang tidak hamil!" sahutnya cepat, Rania menelan ludahnya susah payah. Pucat, dan juga gugup, begitu nyata pada wajah wanita berlesung pipi itu. "Kenapa, aku bisa sampai melupakan susu hamil milik-ku?" gerutu Rania dalam hati. Pias, dan juga gugup yang menyelimuti wajah Rania-mampu tertangkap oleh Santi. Wanita yang berprofesi sebagai model itu, memicingkan mata penuh curiga, "Kau, sedang tidak berbohong pada'ku, kan?" Rania menelan ludahnya susah payah, dadanya berdebar-akan tatapan dan juga, pertanyaan yang Santi layangkan, " Tentu saja tidak!" sahutnya. Dan, kembali bersuara, "Susu hamil itu-milik temanku, dia meminta aku membelikannya!" tambah Rania, diakhir ucapannya dia