Jangan lupa tinggalkan komentar, dan juga follow akun IG aku @popy-yanni untuk melihat visual Rania dan Devan.
"Dev---." Suara panggilan memalingkan wajah tampan Devan, juga menjeda langkah kakinya. Berbalik dan mendapati kedatangan Sarah. Dia memutar bola matanya malas, kedatangan Sarah membuat moodnya semakin buruk. Senyum terus terukir di wajah Sarah, saat membawa langkah kaki itu menghampiri Devan. Wanita itu nampak sangat bahagia. "Hai, Dev," sapa Sarah, saat telah berada didekat Devan--Desicner cantik itu memasang senyumnya semanis mungkin. "Kakek ku, sedang berada di dalam ruang kerjanya!" ujar Devan datar, dengan menampilkan wajah dinginnya. Dan, kalimat yang baru saja mengalir dari mulut Devan mampu menghapus senyuman di wajah Sarah. Dia nampak kecewa.Devan berbalik dan bersiap melangkah. Namun, gagal--saat Sarah mencekal tangannya. Dengan terpaksa, pria itu berbalik, "Aku datang ke sini, untuk-mu, Dev--," ujar Sarah dengan lirih, mendung dan juga kecewa berbalut menyelimuti wajah cantiknya. Devan terkekeh tertahan, apa yang baru saja katakan telah menimbulkan percikan api di dala
Pertemuan nya tidak sengaja dengan Santi saja sudah membuat Rania cukup kaget, dan sekarang wanita itu melayangkan pertanyaan seputar kehamilannya. Mimik wajah Rania berubah, sebisa mungkin dia berusaha untuk tetap tenang, dan tidak panik, tentu semua itu hanya untuk menutupi kenyataan. "Tidak! Aku, sedang tidak hamil!" sahutnya cepat, Rania menelan ludahnya susah payah. Pucat, dan juga gugup, begitu nyata pada wajah wanita berlesung pipi itu. "Kenapa, aku bisa sampai melupakan susu hamil milik-ku?" gerutu Rania dalam hati. Pias, dan juga gugup yang menyelimuti wajah Rania-mampu tertangkap oleh Santi. Wanita yang berprofesi sebagai model itu, memicingkan mata penuh curiga, "Kau, sedang tidak berbohong pada'ku, kan?" Rania menelan ludahnya susah payah, dadanya berdebar-akan tatapan dan juga, pertanyaan yang Santi layangkan, " Tentu saja tidak!" sahutnya. Dan, kembali bersuara, "Susu hamil itu-milik temanku, dia meminta aku membelikannya!" tambah Rania, diakhir ucapannya dia
"Saya datang untuk menjenguk ibu, saya." Wajah papa Akio mendadak kaku, sorot mata itu semakin tajam menatap Deni-ada keterjutan di dalam diri setelah mendengar jawaban dari pria itu. "Ibu?" ujar papa Akio, namun seperti sebuah pertanyaan. Deni tersenyum sesaat--bagaimana pria itu mendapati reaksi papa Akio, "Iya, Ibu. Ibu Ani adalah ibu saya," sahut Deni, pria itu menyimpulkan senyuman kecil di wajah. JEDAAR! Bagai tersambar petir di siang bolong-betapa kagetnya papa Akio saat ini. Bukan hanya kaget saja, namun pria berkebangsaan Jepang itu shyok berat. Deni, yang dia tahu adalah salah satu orang kepercayaan dari keluarga Wijaya ternyata adalah anak dari wanita yang pernah berada dimasa lalunya. Berbagai tanda tanya kini memenuhi isi kepala papa Akio. Apakah, Ani mengandung setelah dia meninggalkan wanita itu? Apakah, Deni adalah anaknya? Apakah, Ani menikah lagi setelah keduanya bercerai? Memikirkan semua prasangkah yang ada di dalam isi kepalanya--membuat tatapan papa Aki
Papa Akio dan Mama Ani, sama-sama memalingkan wajah mereka pada asal suara. Pasangan yang pernah menikah itu, terperangah dan juga nampak gugup, begitu mendapati kedatangan Deni. Terutama mama Ani, wajah wanita paruh baya itu sangat pias. "Deni," gumam mama Ani tanpa sadar, wanita paruh baya itu seperti seseorang yang tertangkap tangan saat mencuri. Deni telah berada diantara papa Akio dan mama Ani. Menatap bergantian pada kedua sosok paruh baya itu, dengan tatapan tak biasa. Dalam diri Deni telah diselimuti berbagai tanda tanya. "Ibu dan Tuan Akio, saling mengenal?" tanya Deni, setelah sekian detik lamanya. Mama Ani mendadak kaku, pucat dan juga gugup, semakin terlihat nyata di wajahnya. Menelan ludahnya susah payah, tenggorokannya mama Ani mendadak kering. "Buu, Tuan Akio---," ujar Deni lagi, saat mama Ani maupun papa Akio tak kunjung menjawab pertanyaan dari nya. "Ka---." Namun, papa Akio tak kunjung menyelesaikan ucapannya saat mama Ani menyelah lebih cepat. "Tuan
Desi meyakini ada hal serius yang terjadi pada sahabat baiknya, gadis itu segera mempercepat alunan langkah kakinya. "Dion, apa yang terjadi dengan Rania?" tanya Desi panik, bukan hanya panik saja--namun juga perasaan khawatir yang teramat sangat. "Aku menemukan dia di kamar mandi dalam kondisi pingsan, dan aku akan membawanya ke rumah sakit!" ujar Dion tergesa-gesa. "Aku ikut!" ujar Desi, dan dia pun mengekori Dion dari belakang yang sudah kembali melanjutkan langkah kakinya. Setengah jam kemudian. Dion melangkahkan kakinya dengan gontai, akan membawa dirinya ke luar dari dalam kamar rawat. Namun, suara Desi berhasil menghentikan alunan langkah kaki pria itu. "Kamu, mau ke mana?" "Aku akan duduk di depan," jawab Dion, dan kembali melanjutkan langkah kakinya. Dion menghempaskan tubuhnya pada kursi panjang yang berada di depan kamar, pria itu meraup oksigen sebanyak mungkin--sedari tadi berada dalam kondisi tegang membuatnya tak mampu bernapas dengan baik. Duduk termangu, D
Apa yang diucapkan Desi mampu membuat pikiran seorang Rania berkelana sangat jauh. Ntah, apa-yang ada dalam pikiran wanita itu hanya dia seorang'lah yang tahu. Namun, wajah itu telah diselimuti mendung. Dan, Desi yang melihat bagaimana Rania kini-hanya bisa menatap tanpa melakukan apa pun, dia sengaja membiarkan Rania merenung. Hening menyelimuti Rania dan Desi, masing-masing gadis itu larut dalam dunianya. Hingga, suara gadu kecil yang terdengar membuat lamunan mereka membelah. Memalingkan wajah pada asal suara dan mendapati Dion yang baru saja bangun. Wajah bantal, dengan rambutnya yang kusut namun mempunyai daya tarik tersendiri. "Pagi Kak Dion---." Sapaan dari Desi semakin cepat mengumpulkan nyawa Dion yang tercerai berai, dia memalingkan wajah. "Rania, kau sudah sadar?" tanya Dion yang tak mampu menyembunyikan keterjutannya, namun terselip kebahagiaan di dalamnya. "Iya. Dan, terima kasih karena kau sudah menolongku," imbuh Rania, wajah itu kembali terlihat murung. "D
Rania sudah berusaha menolak saat papa Akio berniat membayar susu hamil yang akan dia beli. Namun, pria paruh baya itu tetap memaksakan keinginannya, dan kini berakhir kini susu hamil itu dalam genggaman Rania. Dengan menyeretkan langkah kakinya berat, Rania mengekori papa Akio yang melangkah ke luar. "Sekali lagi terima kasih, Om--," ujar Rania dengan kikuk, saat dia dan papa Akio telah berada di depan mimi market yang mereka kunjungi."Sama-sama," ujar papa Akio, dan pada akhir ucapannya pria itu tersenyum lebar, "Dan kalau begitu saya pamit!" lanjutnya, dan disambut oleh Rania dengan sebuah anggukan yang kecil. Papa Akio melangkah menuju sebuah mobil bewarna hitam metalik yang terparkir, sementara Rania, wanita itu melangkah menuju bibir jalan raya, guna menunggu transportasi yang lewat. Dan, itu ternyata tak luput dari pandangan papa Akio yang sedari tadi diam-diam memperhatikannya. "Berhenti di depan wanita itu!" ujar papa Akio pada sopir pribadinya, dan walaupun merasa aneh de
Kedatangan papa Akio kembali di peternakanan sungguh mengejutkan untuk mama Ani. Berharap ayah dari anaknya itu tidak pernah akan kembali menampakkan batang hidungnya--namun, justru sebaliknya. Kini papa Akio kembali berada di depannya. "Sudah aku bilang! Jangan mengganggu hidupku, lagi Akio! Kau-itu sudah berkeluarga, dan memiliki anak!" hardik mama Ani dengan nada penuh emosi, dan setelah mengatakan itu mama Ani melangkah menjauh--mengambil rumput hijau dan memasukkan nya lewat celah-celah untuk memberi makan sapi yang ada dalam kandang. "Katakan. Di mana, anakku?" tanya papa Akio dengan menuntut, dan pertanyaan yang papa Akio layangkan membuat mama Ani membeku, perasaannya mulai tidak enak, dia kini telah diselimuti perasaan was-was. Tangan yang akan memasukkan rumput dia hentikan, mama Ani berbalik menatap papa Akio yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Anakmu?" sahut mama Ani setelah sekian detik lamanya, dia menatap pria di depannya dengan lekat. "Ya!" jawa