Desi meyakini ada hal serius yang terjadi pada sahabat baiknya, gadis itu segera mempercepat alunan langkah kakinya. "Dion, apa yang terjadi dengan Rania?" tanya Desi panik, bukan hanya panik saja--namun juga perasaan khawatir yang teramat sangat. "Aku menemukan dia di kamar mandi dalam kondisi pingsan, dan aku akan membawanya ke rumah sakit!" ujar Dion tergesa-gesa. "Aku ikut!" ujar Desi, dan dia pun mengekori Dion dari belakang yang sudah kembali melanjutkan langkah kakinya. Setengah jam kemudian. Dion melangkahkan kakinya dengan gontai, akan membawa dirinya ke luar dari dalam kamar rawat. Namun, suara Desi berhasil menghentikan alunan langkah kaki pria itu. "Kamu, mau ke mana?" "Aku akan duduk di depan," jawab Dion, dan kembali melanjutkan langkah kakinya. Dion menghempaskan tubuhnya pada kursi panjang yang berada di depan kamar, pria itu meraup oksigen sebanyak mungkin--sedari tadi berada dalam kondisi tegang membuatnya tak mampu bernapas dengan baik. Duduk termangu, D
Apa yang diucapkan Desi mampu membuat pikiran seorang Rania berkelana sangat jauh. Ntah, apa-yang ada dalam pikiran wanita itu hanya dia seorang'lah yang tahu. Namun, wajah itu telah diselimuti mendung. Dan, Desi yang melihat bagaimana Rania kini-hanya bisa menatap tanpa melakukan apa pun, dia sengaja membiarkan Rania merenung. Hening menyelimuti Rania dan Desi, masing-masing gadis itu larut dalam dunianya. Hingga, suara gadu kecil yang terdengar membuat lamunan mereka membelah. Memalingkan wajah pada asal suara dan mendapati Dion yang baru saja bangun. Wajah bantal, dengan rambutnya yang kusut namun mempunyai daya tarik tersendiri. "Pagi Kak Dion---." Sapaan dari Desi semakin cepat mengumpulkan nyawa Dion yang tercerai berai, dia memalingkan wajah. "Rania, kau sudah sadar?" tanya Dion yang tak mampu menyembunyikan keterjutannya, namun terselip kebahagiaan di dalamnya. "Iya. Dan, terima kasih karena kau sudah menolongku," imbuh Rania, wajah itu kembali terlihat murung. "D
Rania sudah berusaha menolak saat papa Akio berniat membayar susu hamil yang akan dia beli. Namun, pria paruh baya itu tetap memaksakan keinginannya, dan kini berakhir kini susu hamil itu dalam genggaman Rania. Dengan menyeretkan langkah kakinya berat, Rania mengekori papa Akio yang melangkah ke luar. "Sekali lagi terima kasih, Om--," ujar Rania dengan kikuk, saat dia dan papa Akio telah berada di depan mimi market yang mereka kunjungi."Sama-sama," ujar papa Akio, dan pada akhir ucapannya pria itu tersenyum lebar, "Dan kalau begitu saya pamit!" lanjutnya, dan disambut oleh Rania dengan sebuah anggukan yang kecil. Papa Akio melangkah menuju sebuah mobil bewarna hitam metalik yang terparkir, sementara Rania, wanita itu melangkah menuju bibir jalan raya, guna menunggu transportasi yang lewat. Dan, itu ternyata tak luput dari pandangan papa Akio yang sedari tadi diam-diam memperhatikannya. "Berhenti di depan wanita itu!" ujar papa Akio pada sopir pribadinya, dan walaupun merasa aneh de
Kedatangan papa Akio kembali di peternakanan sungguh mengejutkan untuk mama Ani. Berharap ayah dari anaknya itu tidak pernah akan kembali menampakkan batang hidungnya--namun, justru sebaliknya. Kini papa Akio kembali berada di depannya. "Sudah aku bilang! Jangan mengganggu hidupku, lagi Akio! Kau-itu sudah berkeluarga, dan memiliki anak!" hardik mama Ani dengan nada penuh emosi, dan setelah mengatakan itu mama Ani melangkah menjauh--mengambil rumput hijau dan memasukkan nya lewat celah-celah untuk memberi makan sapi yang ada dalam kandang. "Katakan. Di mana, anakku?" tanya papa Akio dengan menuntut, dan pertanyaan yang papa Akio layangkan membuat mama Ani membeku, perasaannya mulai tidak enak, dia kini telah diselimuti perasaan was-was. Tangan yang akan memasukkan rumput dia hentikan, mama Ani berbalik menatap papa Akio yang tengah menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. "Anakmu?" sahut mama Ani setelah sekian detik lamanya, dia menatap pria di depannya dengan lekat. "Ya!" jawa
Beberapa detik setelahnya ke luarlah sosok Deni--pria itu memutari mobil dan membuka pintu belakang. Sepatu pantofel begitu mengkilat dengan warna hitam pekat mendarat pada permukaan badan aspal, satu kaki itu dalam balutan celana panjang berwarna senada. Sedikit lama memijak, akhirnya ke luarlah sosok sang pemiliknya. Dalam balutan stelan jas bewarna hitam, seorang Devan Wijaya terlihat begitu memukau- dan mempesona. Apa lagi pantulan cahaya mentari yang mengenainya, membuat ketampanan Devan kian berlipat-lipat terpancar. Devan tak langsung mengambil langkahnya menghampiri kedua sosok yang sangat di bencinya itu. Masih setia memijakkan kedua kakinya di sana, dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam kantong celana--dan dengan gayanya yang angkuh Devan melemparkan tatapan meremehkan pada Rania dan Dion. Lama menatap, membuat bara kian meletup, saat membayangkan pengkhianatan yang sudah dilakukan oleh kedua sosok itu di belakangnya. "Dasar pengkhianat! Kau memang wanita murahan
Emosi yang sudah memuncak tak sanggup Devan tahan lagi. Setelah berada di dalam ruang kerjanya pria itu menghancurkan apa saja yang berada di depannya."Tuan. Saya mohon tenanglah. Walaupun anda melakukan hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah!" tegur Deni panik, juga khawatir, bagaimana dia mendapati keadaan Tuannya saat inil.Teriakkan dari Deni mampu membuat Devan menghentikan kegiatan gilanya-itu. Napasnya memburu, bolamatanya menggelap akan amarah yang begitu meletup-letup. Sekuat mungkin pria itu menahan amarah yang begitu membakar di dalam diri. Saat sudah merasa jauh lebih baik Devan menghempaskan tubuhnya pada sebuah sofa panjang, sembari memijat pelipisnya yang terasa berdenyut."Aku sama sekali tidak menyangkah--Rania akan melakukan hal ini padaku, Deni. Apa salahku, sampai dia begitu tega," lirih Devan setelah sekian detik lamanya, ada kabut juga luka yang terpampang nyata di wajah tampan pria itu.Deni mendesahkan napasnya berat, keluh kesah dari Devan serasa men
Bagai tersambar petir disiang bolong papa Akio begitu kaget luar biasa. Hampir saja pria paruh baya itu tumbang, kalau dia tidak cepat-cepat memegang dinding ruangan. Dan, Frans kembali mengatakan hal yang lebih mengejutkan, dan membuat perasaannya sebagai seorang ayah begitu hancur, kalau perpisahan Rania dan Devan, semua akibat ulah Darma Wijaya. Tanpa sadar, air mata telah meluncur bebas dari kedua pelupuk matanya. Bara telah membakar di dalam diri papa Akio. Semua ini begitu mengejutkan untuknya. Sarah putrinya--bertunangan kembali dengan mantan suami dari Rania, yang merupakan anak perempuannya juga. Papa Akio terkekeh tertahan, perasaannya saat ini tengah campur aduk. Bagaimana, semuanya bisa terjadi secara kebetulan seperti ini? Malam ini dia harus menyelesaikan semuanya, dan mengungkapkan kebenaran kalau Rania adalah putrinya juga-dan tidak serendah itu. "Terima kasih-Frans dengan infomasi yang kau berikan. Dan, kalau begitu kau boleh pergi sekarang," ujar papa Akio, nada
"Rania dan Dion, sama sekali tidak memiliki hubungan apa pun dan kamu bisa menanyakan kebenarannya pada Kakekmu!" jawab papa Akio, dan segera melangkah ke luar. Kekecewaannya pada Darma Wijaya, membuatnya enggan berlama-lama bersama pria itu. Semua yang berada di dalam masih teramat shyok dengan kebenaran yang baru saja mereka ketahui hari ini. Mama Winda, tak henti-hentinya meneteskan air mata itu--hatinya bagai dihujani ribuan jarum mendapati kenyataan yang begitu menyakitkan, kalau sang suami ternyata memiliki anak dengan mantan istrinya--Ani. Sementara Sarah, hanya membeo. Semua kenyataan yang dia ketahui hari ini--sungguh mengguncangkan dunia nya. Selama ini dia mengetahui hanya dia lah satu-satunya anak dari seorang Akio Haruto, dan ibu kandungnya merupakan satu-satunya wanita yang dinikahi. Namun, ternyata ada wanita lain--bagaimana mungkin, dia tidak mengetahui rahasia masa lalu orang tuanya? Dan, harus menerima kenyataan yang sulit untuk dia terima, kalau wanita yang sangat
5 bulan kemudian Oeek---- Oeek---- Suara tangisan bayi menggema di dalam ruangan operasi, dan suara tangisan bayi yang terdengar, membuat sosok-sosok dewasa itu seketika mengucapkan rasa syukur. "Selamat ya, Deni, akhir nya kamu sudah menjadi ayah," ujar Devan, menghampiri Deni dan memeluk sebentar pria itu. "Terima kasih Tuan," ujar Deni, dengan senyum lepas di wajah--kebahagiaan nyata terlihat di wajah pria itu, di mana binar bahagia nyata terlihat di bola mata nya. "Deni----," panggil Rania beberapa menit kemudian. Datang nya sosok Rania, mengembangkan senyum di wajah Deni, namun ada nya air mata yang dia temukan pada kelopak mata kakak angkat nya, membuat Deni pun tak mampu membendung kesedihan itu lagi. Bagi Deni, Rania adalah sosok kakak yang baik untuk nya. Melangkah menghampiri, Deni segera memeluk tubuh wanita itu saat sudah berada dekat dengan nya. "Kau, sudah menjadi seorang, ayah, Deni, selamat!" ujar Rania dengan lirih, sudah ada butir kristal yang mene
Kaget, dengan bola mata yang membeliak penuh. Namun, menyadari bagaimana sambutan nya dengan segera Rania, mengembalikan mimik wajah nya. "Maaf," ujar Rania dengan kikuk, wanita itu nampak salah tingkah merasa tidak enak hati pada Sarah. Sarah yang menunduk, seketika mendongak--iris hitam nya, begitu dalam dan tajam, menatap manik hitam Rania. Masih menatap, Sarah akhir nya bersuara. "Apakah, kau tidak akan memaafkan aku?" tanya Sarah dengan lirih, ada mendung yang sudah menyelimuti wajah cantik wanita itu bagaimana mendapati sambutan Rania akan permintaan maaf dari nya. Wajah Rania mendadak kaku, terperangah--sebab merasa Sarah sudah salah sangkah pada nya," Oh, bukan begitu maksudku, kau salah sangkah! Aku, sudah memaafkan mu, sejak kau mengijinkan Papa, dan Mamaku untuk kembali bersatu " jelas Rania. "Benarkah?" ujar Sarah dengan senyum yang mengembang di wajah, wanita yang sedang mengandung 4 bulan itu terlihat sumringah, bola mata nya pun berbinar bahagia. "Yaa!"
Dua Minggu kemudian Duduk berdampingan, namun walaupun duduk bersama, Sarah, maupun Deni tak ada yang saling berbicara. Ntah, apa yang ada dalam pikiran kedua nya, namun kedua sosok itu lebih memilih untuk diam. Suasana canggung begitu terasa. Ingin berbicara, namun--Deni bingung harus memulai nya dari mana. Sarah terus saja mendiam kan nya. Alhasil, Deni tetap dengan diam nya--dengan sesekali melirik kan pandangan nya pada Sarah. Mendapati Sarah yang meremas jari-jari nya, pria itu hanya bisa mendesahkan napas nya berat. "Aku seperti melihat orang lain. Padahal Sarah yang aku kenal, adalah sosok yang arogant, dan suka, banyak bicara!" gumam Deni dalam hati, dengan diam-diam menatap pada Sarah. Hening--- Hening--- Sampai kapan--mereka saling, diam? Setidak nya itu lah yang ada di dalam pikiran Deni saat ini. Tak, mampu menahan diri itu lagi--Deni memilih untuk bersuara terlebih dahulu. "Kenapa, kau tidak memberitahukan padaku--kalau kau, sedang mengandung?" ujar Deni
Malam hari "Rania----." Suara panggilan membuat lamunan panjang Rania membelah, wanita berambut indah itu seketika memindai pandangan nya pada asal suara. "Dev---,"gumam nya, saat mendapati kedatangan sang suami. Sebagai seseorang yang sangat mengenal baik Rania, tentu Devan tahu-seperti apa istri nya itu. Air muka yang Rania tunjukkan saat ini, Devan yakin ada sesuatu yang begitu membebani istri nya itu saat ini. "Kamu, baik-baik saja'kan?" tanya Devan. Menutup pintu ruangan, pria itu menyeretkan langkah berat nya menuju Rania. Rania tak langsung menyambut pertanyaan yang Devan layangkan. Pertanyaan yang pria itu berikan, kembali menyadarkan Rania atas kenyataan yang dia ketahui hari ini. Diam, iris hitam Rania begitu lekat, dan dalam, menatap manik hitam Devan. "Tidak! Aku tidak boleh memberitahukan hal ini pada Devan." Rania bermonolog dalam hati, wanita itu sedang berperang dengan suara hati nya sendiri. "Aku baik-baik saja!" sahut Rania, memutuskan pandangan-ber
Sarah telah kembali berada di dalam mobil. Namun, bukan nya langsung pergi meninggalkan area depan restorant, Desicner perhiasan itu justru masih setia tetap berada di sana. Begitu malu saat Rania melihat tanda merah di leher nya, membuat Sarah menenggelamkan wajah nya sedalam mungkin di antara bundaran setir, dengan tak henti-henti nya menggerutu. "Sebel! Sebel! Bagaimana, bisa aku seceroboh ini?!" gerutu Sarah, sembari memukul-mukul kuat bundaran setir. Puas meluapkan kekesalan nya, Sarah mendongak, dan wanita itu mendapati Rania yang melintasi depan mobil nya. Mendapati Rania yang tersenyum--Sarah yakin kalau saudara tiri nya itu tengah menertawakan diri nya. Masih setia memandang Rania, hingga berakhir diri nya mendapati Ibu satu anak itu yang berlalu dengan sebuah mobil mewah. Lama memandang, Sarah memutuskan pandangan setelah teringat rencana nya yang akan berziarah ke makam sang Bunda. Menghidupkan mesin mobil, dan berlalu pergi meninggalkan depan restorant. **** *****
Beberapa hari ini Devan merasa ada yang berbeda dengan Deni. Orang kepercayaan, juga adik ipar nya. Menurut Devan sedang tidak baik-baik saja. Deni yang selalu smart, dan selalu terlihat gentle, akhir-akhir ini nampak tidak bersemangat. Terus memandang, Devan yang selama ini memendam rasa penasaran nya akhir nya bertanya. "Bolehkah, aku bertanya sesuatu?" tanya Devan, dengan nada suara yang terdengar ragu. Deni yang tengah memandang wajah ponsel, seketika menengadah--pria itu menatap Devan dengan lekat-lekat. Devan tak langsung melontarkan pertanyaan. Di tatap nya wajah Deni lamat-lamat, lingkaran hitam pada kelopak mata, wajah yang kusut, seperti nya pria itu akhir-akhir ini kurang beristirahat. "Apakah, kau sedang ada masalah? Sebab yang aku perhatikan beberapa hari ini kau nampak murung. Mata mu pun nampak menghitam. Bukankah, aku jarang memberikan kau pekerjaan yang membuat kau lembur. Atau jangan-jangan, kau sering menghabiskan waktu di Klup malam bersama para wani
Beberapa menit kemudian "Apa, menginap di sini?!" sahut Deni. Bola mata nya membeliak, kaget juga sedikit shyok setelah mendengar keinginan Sarah barusan. "I-ya," sahut Sarah dengan ragu, sambutan Deni menciptakan mimik wajah yang berubah pada wanita itu. Sarah nampak menahan malu. "Nggak!" Deni menolak dengan tegas, dan penolakan keras dari pria itu menciptakan kekecewaan, juga sedih di wajah Sarah. Namun, hanya sesaat saja. Seketika wanita cantik berdarah Jepang Indonesia itu, kembali memohon pada Deni. Memegang tangan pria itu dengan erat-erat, dan menatap nya dengan memohon. "Den, aku mohon-kali ini saja. Aku sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk berkeluh kesah. Kematian Mama, dan hubungan ku dan Papa yang merenggang, membuat aku merasakan rumahku seperti di neraka," pinta Sarah. Memasang wajah memelas nya, Sarah menatap Deni dengan bola mata berair. "Bukankah, kau memiliki teman? Jika kau tidak nyaman berada di rumah mu, kau bisa pergi menginap di rumah mer
Waktu telah berada di pukul 11 malam. Di saat banyak penghuni bumi sudah menjemput alam mimpi nya, hal serupa tak berlaku bagi Sarah. Walaupun telah dilanda rasa kantuk yang teramat sangat--namun Desicner cantik itu tak kunjung dapat tidur. Bangkit dari tidur nya, Sarah mengacak-ngacak rambut nya frustasi. "Kenapa, aku terus memikirkan omongan Rania, terus-sih?!" gerutu Sarah, dengan wajah frustasi nya. Karena tak dapat kunjung tidur, berakhir Sarah memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia akan mengambil beberapa cemilan ringan, dan juga minuman soda, guna untuk menemani nya menonton film. Kedua kaki Sarah telah memijak di lantai dasar. Akan melangkah menuju arah dapur, namun hal itu Sarah urungkan saat dari jauh lebih tak sengaja wanita berkulit putih itu mendapati keberadaan papa Akio. "Papa," gumam Sarah, dengan pandangan tak terputus dari papa Akio, di mana pria paruh baya itu tengah berdiri di depan jendela kaca besar, sembari melemparkan pandangan nya ke arah luar. Lama me
Beberapa menit menempuh perjalanan dengan kendaraan roda empat nya Sarah akhir nya kembali tiba di rumah nya. Namun, saat mobil milik nya telah terparkir wanita cantik itu tak langsung berlalu dari dalam mobil. Masih setia berada di kursi nya, dengan pandangan yang menerawang begitu jauh. Seperti ada sesuatu yang begitu membebani pikiran nya. Sekian detik berada di sana, Sarah akhir nya berlalu dari dalam mobil. Menyeretkan langkah kaki nya ke dalam rumah, Sarah mendapati suasana rumah yang dalam keadaan lengang. Menelusuri setiap sudut ruangan, Sarah nampak seperti tengah mencari sesuatu. Hingga, terdengar suara langkah kaki, dan dia mendapati kedatangan salah satu pelayan rumah. "Bibi----," panggil Sarah dengan setengah teriakkan, dan itu membuat pelayan tua itu menghentikan langkah kaki nya, dan menghampiri nya. "Nona," ujar nya dengan sopan. "Di mana, Papa?" tanya Sarah dengan nada suara nya yang terdengar menuntut. "Tuan Besar sedang berada di taman samping rumah," j